Hukum hanya
menghamba pada kepentingan mereka yang kuat, selentingan kalimat terlontar dari
Trasymachus saat berdebat dengan Socrates tentang keadilan.
Pernyataan
Trasymachus adalah realitas yang tengah menggerogoti Indonesia. Disaat masih
berada diaras kekuasaan sulit bagi hukum untuk menyentuh mereka. Kecuali sudah
meninggalkan gelanggang kekuasaan dan menjadi rakyat biasa. Mantan presiden
Filipina Joseph Estrada, saat berkuasa, adalah masa-masa jayanya, sulit baginya
untuk digiring ke rana hukum, tapi setelah tak berkuasa, malah ia divonis
seumur hidup dengan tuduhan menjarah uang negara. Ferdinand Marcos, pendekar
Filipina juga demikian nasibnya, dihukum dan akhirnya mati ditempat pengasingan
setelah ia tak bertahta diaras kekuasaan. Feliks Fernandes, Bupati Flores Timur
era lalu, seorang superior, digdaya dan mampu penjarakan siapa saja yang
menyebrang pendapat dengannya, tubuhnya seolah haram disentuh hukum, setelah
tak lagi menjadi Bupati malah duduk sebagai terdakwa dalam kasus penjarahan
uang negara.
Fakta empiris,
membuktikan premis yang diajukan Trasymachus. Tapi setelah tak berkuasa, harus
duduk sebagai terdakwa dikursi pesakitan. Mengapa orang korup dan masih
berkuasa sulit diadili? Filsafat hukum dan sosiologi hukum Indonesia
mengatakan; semakin besar nilai korupnya dan semakin tinggi status sosial
seseorang, mereka semakin sulit diadili.
Pembobol century
bank, keluarga Liem Sio Liong pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI), pembalak hutan Sukanto Tanoto, penggelap pajak Gunawan Jusuf, jobber,
pabrik es, jebolnya APBD dst di tanah Lembata juga lain-lain, mereka itu seolah
orang suci, bukan maling seperti yang dituduhkan.
Sebaliknya,
semakin rendah tingkat kejahatan dan status sosial seseorang, maka penegak
hukum bertindak tegas dan lebih cepat kepada mereka. Pencuri ayam, orang miskin
lainnya yang melakukan pelanggaran/kejahatan sesegera ditangkap dan diadili.
Keadilan memang tak
berlaku bagi orang lemah dan miskin, keadilan bagai fatamorgana, jauh dari
mereka yang lemah, miskin dan berdaya di desa-desa. Hukum tidak berada diruang
hampa, hukum dibentuk dan dijalankan oleh kekuasaan. Hukum memiliki posisi yang
khas yakni kekuasaan.
Sekalipun
demikian cita rasa harus terbangun secara partisipatif oleh warga. Oleh
Satjipto Rahardjo, dalam kehidupan nyata, kita mengenal "hukum
jalanan" dan "hukum gedongan". Penegak hukum jalanan adalah
polisi, sedangkan jaksa, advokat, hakim sebagai penegak hukum gedongan. Karena
posisi itu, hukum dapat memberikan dampak bagi lingkungan di sekitarnya. Bahkan
menjadi sugesti moral, terutama bagi dinamisasi kehidupan warga, antara hukum
dan warga, penjahat dan pejabat, orang baik dan jahat, atasan dan bawahan,
sesungguhnya tidak ada tirai pembatas. Oleh karenanya, hukum itu bersifat
dogmatis dan universal, berlaku adil untuk semuanya, semua orang sama di depan
hukum.
Dalam realitas
itu, maka hukum harus dengan cepat masuk dan beradaptasi ke dalam iklim itu,
agar tidak terasa asing bagi warga. Jika telah tercipta keterasingan maka akan
dibayar dengan menurunnya citra penegakan hukum di mata warga. Sebagai
konsekwensi dari realitas itu, maka diperlukan hukum yang selalu berorientasi
atas masalah yang selalu berubah dengan berbagai kualitas modusnya. Hukum bukan
sebatas unsur tekstual belaka, yang dipandang dari konteks normatif. Tapi hukum
juga terkandung unsur kontekstual, yang terlihat dari prespektif yang lebih
luas terhadap realitas keadilan pada warga.
Dengan demikian,
polisi, jaksa, hakim dan pengacara adalah aktor vital yang menentukan
apakah hukum dapat memberi keadilan atau justru menjadi pembuat
kekonyolan-kekonyolan yuridis, juga hukum positif, baik prosedur maupun
substansinya, bukanlah mekanisme yang sempurna untuk mencari keadilan. Adalah
benar hakim, jaksa, advokat, polisi bukan dewa yang turun dari langit, olehnya
itu butuh partisipasi aktif warga dalam menegakkan hukum disegala ruang.
Strategi yang konvensional selama ini dipandang tidak efektif dan bahkan gagal
dalam membuat hukum kita menjadi lebih baik.
Taverna, ahli
hukum asal Belanda mengatakan; “Beri aku hakim dan jaksa, maka dengan
Undang-undang yang buruk sekalipun, aku bisa membuat putusan itu menjadi baik”.
Perkataan Taverna ini menjadi permenungan kita semua, jika kita benar-benar
menjadikan korupsi sebagai musuh bersama dan pelakunya dikenai hukuman mati
sebagai efek jera, olehnya warga harus berpartisipasi.
Orang yang
berdiam diri tidak memberantas setiap kejahatan/korup adalah kejahatan. Dan
apabila kita melihatnya dan tidak pula menegur maka kita adalah penjahat. Dan
penjahat adalah orang-orang yang melanggar hukum baik secara prosedur maupun
substansinya termasuk kita yang berdiam diri. Maka korupsi harus dijadikan public
enemy tanpa memandang kelas dan status sosial siapapun mereka. Karena
korupsi adalah salah satu penyebab kemerosotan kelompok miskin di negeri ini,
dan olehnya korupsi harus dijadikan musuh bangsa.
0 komentar:
Post a Comment