Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Tuesday, July 3, 2012

Keadilan dan Praktek Korupsi

Hukum hanya menghamba pada kepentingan mereka yang kuat, selentingan kalimat terlontar dari Trasymachus saat berdebat dengan Socrates tentang keadilan.
Pernyataan Trasymachus adalah realitas yang tengah menggerogoti Indonesia. Disaat masih berada diaras kekuasaan sulit bagi hukum untuk menyentuh mereka. Kecuali sudah meninggalkan gelanggang kekuasaan dan menjadi rakyat biasa. Mantan presiden Filipina Joseph Estrada, saat berkuasa, adalah masa-masa jayanya, sulit baginya untuk digiring ke rana hukum, tapi setelah tak berkuasa, malah ia divonis seumur hidup dengan tuduhan menjarah uang negara. Ferdinand Marcos, pendekar Filipina juga demikian nasibnya, dihukum dan akhirnya mati ditempat pengasingan setelah ia tak bertahta diaras kekuasaan. Feliks Fernandes, Bupati Flores Timur era lalu, seorang superior, digdaya dan mampu penjarakan siapa saja yang menyebrang pendapat dengannya, tubuhnya seolah haram disentuh hukum, setelah tak lagi menjadi Bupati malah duduk sebagai terdakwa dalam kasus penjarahan uang negara.
Fakta empiris, membuktikan premis yang diajukan Trasymachus. Tapi setelah tak berkuasa, harus duduk sebagai terdakwa dikursi pesakitan. Mengapa orang korup dan masih berkuasa sulit diadili? Filsafat hukum dan sosiologi hukum Indonesia mengatakan; semakin besar nilai korupnya dan semakin tinggi status sosial seseorang, mereka semakin sulit diadili.
Pembobol century bank, keluarga Liem Sio Liong pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), pembalak hutan Sukanto Tanoto, penggelap pajak Gunawan Jusuf, jobber, pabrik es, jebolnya APBD dst di tanah Lembata juga lain-lain, mereka itu seolah orang suci, bukan maling seperti yang dituduhkan.
Sebaliknya, semakin rendah tingkat kejahatan dan status sosial seseorang, maka penegak hukum bertindak tegas dan lebih cepat kepada mereka. Pencuri ayam, orang miskin lainnya yang melakukan pelanggaran/kejahatan sesegera ditangkap dan diadili.
Keadilan memang tak berlaku bagi orang lemah dan miskin, keadilan bagai fatamorgana, jauh dari mereka yang lemah, miskin dan berdaya di desa-desa. Hukum tidak berada diruang hampa, hukum dibentuk dan dijalankan oleh kekuasaan. Hukum memiliki posisi yang khas yakni kekuasaan.
Sekalipun demikian cita rasa harus terbangun secara partisipatif oleh warga. Oleh Satjipto Rahardjo, dalam kehidupan nyata, kita mengenal "hukum jalanan" dan "hukum gedongan". Penegak hukum jalanan adalah polisi, sedangkan jaksa, advokat, hakim sebagai penegak hukum gedongan. Karena posisi itu, hukum dapat memberikan dampak bagi lingkungan di sekitarnya. Bahkan menjadi sugesti moral, terutama bagi dinamisasi kehidupan warga, antara hukum dan warga, penjahat dan pejabat, orang baik dan jahat, atasan dan bawahan, sesungguhnya tidak ada tirai pembatas. Oleh karenanya, hukum itu bersifat dogmatis dan universal, berlaku adil untuk semuanya, semua orang sama di depan hukum.
Dalam realitas itu, maka hukum harus dengan cepat masuk dan beradaptasi ke dalam iklim itu, agar tidak terasa asing bagi warga. Jika telah tercipta keterasingan maka akan dibayar dengan menurunnya citra penegakan hukum di mata warga. Sebagai konsekwensi dari realitas itu, maka diperlukan hukum yang selalu berorientasi atas masalah yang selalu berubah dengan berbagai kualitas modusnya. Hukum bukan sebatas unsur tekstual belaka, yang dipandang dari konteks normatif. Tapi hukum juga terkandung unsur kontekstual, yang terlihat dari prespektif yang lebih luas terhadap realitas keadilan pada warga.
Dengan demikian, polisi, jaksa, hakim dan pengacara adalah aktor vital yang menentukan  apakah hukum dapat memberi keadilan atau justru menjadi pembuat kekonyolan-kekonyolan yuridis, juga hukum positif, baik prosedur maupun substansinya, bukanlah mekanisme yang sempurna untuk mencari keadilan. Adalah benar hakim, jaksa, advokat, polisi bukan dewa yang turun dari langit, olehnya itu butuh partisipasi aktif warga dalam menegakkan hukum disegala ruang. Strategi yang konvensional selama ini dipandang tidak efektif dan bahkan gagal dalam membuat hukum kita menjadi lebih baik.
Taverna, ahli hukum asal Belanda mengatakan; “Beri aku hakim dan jaksa, maka dengan Undang-undang yang buruk sekalipun, aku bisa membuat putusan itu menjadi baik”. Perkataan Taverna ini menjadi permenungan kita semua, jika kita benar-benar menjadikan korupsi sebagai musuh bersama dan pelakunya dikenai hukuman mati sebagai efek jera, olehnya warga harus berpartisipasi.
Orang yang berdiam diri tidak memberantas setiap kejahatan/korup adalah kejahatan. Dan apabila kita melihatnya dan tidak pula menegur maka kita adalah penjahat. Dan penjahat adalah orang-orang yang melanggar hukum baik secara prosedur maupun substansinya termasuk kita yang berdiam diri. Maka korupsi harus dijadikan public enemy tanpa memandang kelas dan status sosial siapapun mereka. Karena korupsi adalah salah satu penyebab kemerosotan kelompok miskin di negeri ini, dan olehnya korupsi harus dijadikan musuh bangsa.

Keadilan dan Praktek Korupsi Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment