Teori Penegakan
Hukum (Law Enforcement)
Dalam hubungan dengan efektifitas peraturan
perundang-undangan dan penegakan hukum (law
enforcement) baik ilmuan dari luar maupun dari dalam negeri telah
mengemukakan berbagai teori hukum.
Pada kenyataan kehidupan sehari-hari,
keinginan atau ide-ide hukum itu dilakukan atau dilaksanakan oleh manusia.
Dengan demikian itu maka manusia yang menjalankan pelaksanaan atau penegakan
hukum itu benar-benar menempati kedudukan yang
signifikan dan menentukan dalam proses
ini. Semua yang ditatapkan oleh
hukum, pada akhirnya menjadi kenyataan melalui manusia dalam hidup bermasyarakat. Oleh
karena itu penegakan hukum selalu melibatkan manusia di dalamnya dan dengan
demikian akan melibatkan perilaku atau tingkah laku manusia. Hukum tidak bisa
melaksanakan diri sendiri (cannot do something) karena hukum itu benda
mati, artinya ia tidak mampu mewujudkan sendiri ide-ide hukum tersebut serta
kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum itu.
Menurut Satjipto Rahardjo (2003:15),
istilah atau kata “penegakan hukum” yang merupakan kata Indonesia untuk law
enforcement. la adalah istilah yang juga dikenal dan digunakan oleh
masyarakat luas. Disamping itu menurut secara sosiologis dikenal istilah yang
lain, yaitu “penggunaan hukum” (the use of law)”. Penegakan hukum dan
penggunaan hukum adalah dua hal yang
berbeda. Orang dapat menegakkan hukum untuk memberikan keadilan, tetapi orang
juga dapat menegakkan hukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau
kepentingan lain. Maka menegakkan hukum tidak persis sama dengan menggunakan
hukum.
Masalah yang timbul pelaksanaan hukum atau
penegakan hukum pada prinsipnya merupakan kesenjangan antara hukum secara
normatif (Law in books) dan hukum secara sosiologis (law in
proses), atau kesenjangan antara perilaku hukum masyarakat yang seharusnya
dengan perilaku hukum masyarakat pada kenyataannya.
Menurut Satjipto Rahardjo (1980:15),
masalah pelaksanaan atau penegakan hukum, sesungguhnya berbicara mengenai pelaksanaan
atau implementasi ide-ide serta konsep-konsep yang nota bene adalah abstrak sehingga pelalksanaan atau penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide inilah yang merupakan hakikat
dari penegakan hukum.
Dengan demikian, maka pelaksanaan atau
penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi
kenyataan. Keinginan-keinginan hukum tersebut tidak lain adalah pikiran-pikiran
atau keinginan para badan pembuat undang-undang (DPR dan pemerintah) yang dirumuskan dalam
peraturan-perundang-undangan. Dalam hal ini, perumusan pikiran pembuat hukum
yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana pelaksanaan
atau penegakan hukum itu dijalankan. Dalam kenyataannya, maka proses
pelaksanaan atau penegakan hukum itu bermuara pada pelaksanaannya oleh para
pejabat hukum (legal structure) itu sendiri.
Satjipto
Rahardjo (1999:24) menegaskan bahwa, terlaksana
tidaknya dengan baik
suatu peraturan perundang-undangan juga akan tergantung pada pelaksanaannya
oleh aparat pejabat hukum.
Menurut Satjipto Rahardjo (2003:5), hukum dibuat untuk dilaksanakan. Oleh
karena itu, tidak mengherankan
apabila orang mengatakan, bahwa hukum tidak bisa lagi disebut sebagai hukum,
manakala ia tidak pernah di laksanakan. Sedangkan hukum itu sendiri terutama dapat
dilihat dari bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan secara eksplisit.
Di dalam kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum itulah terkandung
tindakan-tindakan yang harus dilaksanakan, yang tidak lain berupa penegakan
hukum.
Hal tersebut sangat penting dalam hubungan pengaturan
serta pelaksanaan hukum baik hukum materil maupun hukum formil, karena
merupakan hal yang sangat signifikan. Disadari bahwa apabila suatu ketentuan
tidak dilaksanakan sesuai maksud dan jiwa ketentuan tersebut, maka ia akan
menjadi kaidah mati (“dode regel”).
Dalam hal efektivitasi pelaksanaan aturan hukum menjadi
sangat penting dan utama. Seorang ahli hukum terkenal yakni Roscoe Pound, (dalam Raharjo, S. 1986:266) menegaskankan bahwa :
“Kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya”. Selanjutnya Selo Semarjan,
(1965:26) menguraikan bahwa terdapat 3 (tiga faktor yang sangat
berkaitan erat dengan efektivitas hukum (pelaksanaan hukum) sebagai berikut : 1). Usaha-usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat, yaitu
penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode agar warga-warga
masyarakat mengetahui, meng-hargai, mengakui dan mentaati hukum. 2). Reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai-nilai
yang berlaku. Artinya, masyarakat mungkin menolak atau menentang atau mungkin
mematuhi hukum karena com-pliance, identification, internalization atau
kepentingan-kepentingan mereka terjamin pemenuhannya. 3). Jangka waktu penanaman hukum yaitu panjang atau pendek
jangka waktu dimana usaha-usaha menanamkan itu dilakukan dan diharapkan
memberikan hasil.
Di samping itu Soerjono Soekanto,
(1989:57) mengemukakan bahwa agar hukum atau peraturan (tertulis) benar-benar
berfungsi dalam arti dapat ditegakkan, senantiasa dikembalikan pada paling
sedikit 4 faktor yaitu : 1).
hukum atau peraturan itu sendiri, 2). petugas yang menegakkannya, 3). fasilitas yang diharapkan mendukung pelaksanaan hukum, 4). masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.
Dalam hubungan dengan penegakan hukum, Soerjono Soekanto, (1982:243) menegaskan pula bahwa
paling sedikit dua faktor yang penting dalam penegakan hukum yaitu teladan dari pejabat hukum dan
taraf kesempurnaan mekanisme pengawasan terlaksananya peraturan yang mencakup
sarana komunikasi hukum dan pelembagaan peraturan. Faktor pentingnya teladan
pejabat itu dapat dikembalikan pada pola-pola pendidikan informal tradisional
di Indonesia dimana kepada anak-anak pada umumnya diajarkan untuk mematuhi
orang tua maupun orang-orang yang lebih tua, karena wibawa dan
pengalaman-pengalaman yang lebih matang.
Selanjutnya Lon L. Fuller, (dalam Satijpto Raharjo, 1986 :77) menegaskankan bahwa terdapat
delapan nilai yang harus diwujudkan hukum yang oleh beliau dinamakan
prinsip-prinsip legalitas yang berhubungan dengan penegakan hukum yaitu, harus
ada:
1). Peraturan-peraturan terlebih dahulu. 2). Peraturan-peraturan itu harus diumumkan secara layak. 4). Peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut. 5). Perumusan peraturan itu harus jelas dan terperinci. 6). Tidak boleh meminta dijalankan hal-hal yang tidak
mungkin, 7).
Diantara sesama peraturan tidak boleh terdapat
pertentangan satu sama lain. 8). Peraturan-peraturan
itu harus tetap, tidak boleh sering diubah. 9). Harus terdapat kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan
peraturan yang telah dibuat.
Purnadi Purbacaraka (Sumbayak,1985:30) menegaskan bahwa “secara filosofis makna
dan arti penegakan hukum itu adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan di dalam kaidah hukum atau pandangan yang menilai secara
mantap dan mengejahwantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran
nilai tahap akhir, yaitu menciptakan (sebagai social engineering), memelihara,
dan mempertahankan (sebagai social
control) kedamaian pergaulan hidup manusia”.
Selanjutnya Lili Rasjidi dan Putra (1993:114)
menyatakan dengan tegas bahwa “hakikat penerapan hukum (sebagai istilah
lain penegakan hukum), tidak lain adalah penyelenggaraan pengaturan hubungan
hukum setiap kesatuan hukum dalam suatu masyarakat hukum. Pengaturan itu,
menurutnya, meliputi aspek pencegahan pelanggaran hukum (regulation aspect)
dan penyelesaian sengketa hukum (settlement
of dispute) termasuk pemulihan kondisi atas kerugian akibat pelanggaran itu
(reparation or conpensation)”.
Dalam hubungan ini Satjipto Rahardjo (1991:181) menegaskan bahwa “ dengan usainya proses pembuatan hukum, maka baru satu tahap
saja proses perjalanan panjang untuk mengatur masyarakat terselesaikan. Tahap
pembuatan hukum itu harus disusul lagi oleh pelaksanaannya secara konkret
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, itulah
yang dimaksud dengan penegakan hukum. Uraian sejumlah pakar tentang
makna dan hakikat penegakan hukum di atas, setidaknya sudah dapat menjadi
pedoman awal dalam memahami lebih jauh bahasan pengertian penegakan hukum ”.
Dalam rangka penegakan hukum, tentunya tidak
terlepas dari sistem hukum secara keseluruhan. Lawrence Meier Friedman (2001:7-8) membagi unsur sistem hukum tersebut menjadi
tiga, yaitu:
1). struktur (structure), 2). substansi
(substance). 3). kultur hukum (legal culture).
Menurut Friedman dalamn Achmad Ali (2002:8-9)
struktur adalah kerangka atau rangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang
memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.
Menurut
Achmad Ali (2002:8-9). yang dimaksud dengan substansi, yaitu aturan atau
kaidah atau norma yang berada dalam
sistem hukum itu. Substansi hukum adalah aturan, norma dan pola prilaku nyata
manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan
oleh orang yang berada di dalam sistem
hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, peraturan-peraturan yang
dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melaksanakan perbuatan serta hubungan
hukumnya. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan
bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law in books.
Sedangkan pemahaman tentang kultur hukum
adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
harapannya. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya
proses hukum. Jadi dengan kata lain, kultur hukum adalah suasana pikiran sosial
dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau
disalahgunakan. Tanpa kultur hukum, maka sistem hukum itu sendiri tidak
berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang dan bukan seperti ikan
hidup yang berenang di laut.
Kultur hukum adalah suasana pikiran sosial
dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau
disalahgunakan. Tanpa kultur hukum, maka sistem hukum itu sendiri tidak
berdaya. Kultur hukum juga berbicara tentang sikap-sikap, kebiasaan-kebiasaan,
ideal-ideal masyarakat dalam berbagai situasi dalam kehidupan sehari-hari
Menurut
Satjipto Rahardjo (2003:168) bahwa hukum modern memiliki
berbagai kelebihan dibanding dengan hukum tradisional, tetapi keunggulannya juga
terbatas. Salah satu keterbatasannya adalah keterkaitannya yang kuat kepada
prosedur serta format-format. Dalam konteks arsitektur yang demikian itu, maka
keadilan menjadi susah didapat, oleh karena hukum modern sudah semakin menjadi
teknologi belaka. Sebagai teknologi, maka prestasi dan kinerja hukum akan
banyak ditentukan oleh manusia yang mengoperasikan teknologi itu. Di sini letak
tragedi hukum modern. Ketika masyarakat mendambakan kehadirannya sebagai
lembaga yang memberikan keadilan, masyarakat sepertinya hanya melihat
operator-operator hukum yang sibuk saja.
Selanjutnya beliau menekankan bahwa budaya
hukum suatu bangsa ditentukan oleh nilai-nilai tertentu yang menjadi acuan
dalam mempraktekkan hukumnya. Oleh karena itu, problema yang dihadapi oleh
bangsa-bangsa diluar
Eropa adalah bahwa nilai-nilai yang dalam hukum yang mereka pakai, yaitu hukum
modern, tidak persis sama dengan yang ada dalam masyarakat. Perilaku substantif
mereka resapi dan dituntun oleh sistem nilai yang berbeda.
Lawrence Meier Friedman (2001:362) menyatakan bahwa perubahan sosial yang besar berasal dari luar
hukum, maksudnya berasal dari masyarakat. Sistem hukum tidak sepenuhnya otonom, bukan bidang yang berdiri sendiri
dan hukum tidak bebas dari pengaruh luar. Hukum mengikuti perubahan sosial dan
menyesuaikan dengan perubahan itu. Namun demikian sistem hukum juga membentuk
dan menyalurkan perubahan sosial.
Dari ketiga unsur dalam sistem hukum ini
kemudian sangat berhubungan dengan kesadaran dan ketaatan hukum. Kenyataan,
kesadaran hukum dan ketaatan hukum sering dicampuradukkan, padahal menurut Achmad Ali (1998:191) kedua hal tersebut berbeda meskipun sangat
erat hubungannya. Kedua unsur ini pulalah yang sangat menentukan efektif atau
tidaknya penegakan hukum di dalam masyarakat.
Soerjono Soekanto (1982:279) mengemukakan empat unsur kesadaran hukum
yaitu:
a).
Pengetahuan tentang hukum; b). Pemahaman tentang isi hukum; c). Sikap hukum; d). Pola perilaku
hukum.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa kesadaran hukum belum menjadi
suatu jaminan bahwa warga masyarakat tersebut akan menaati suatu peraturan hukum atau
perundang-undangan. Ketaatan masyarakat pada hukum menurut H.C
Kelman dalam Achmad Ali (1998:193) terbagi atas tiga, yaitu: a). Ketaatan yang bersifat compliance yaitu jika seorang
taat terhadap suatu aturan hanya karena ia takut terkena sanksi; b). Ketaatan yang
bersifat identification yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan
hanya karena takut hubungan baiknya dengan seseorang menjadi rusak; c). Ketaatan yang bersifat internalization yaitu jika
seseorang tat terhadap suatu aturan benar-benar karena ia merasa aturan
tersebut sesuai dengan nilai-nilai instrinsik yang dianutnya.
Menurut Krabbe (Achmad Ali, 1998:192) kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau
nilai-nilai yang terdapat didalam diri manusia tentang hukum yang ada atau
diharapkan ada.
Menurt Achmad Ali (1998:192), definisi Krabbe tersebut di atas sudah cukup menjelaskan apa yang
dimaksud kesadaran hukum. Namun pengertian itu akan lebih lengkap lagi jika
ditambahkan unsur nilai-nilai masyarakat tentang fungsi apa yang hendaknya
dijalankan oleh hukum dalam masyarakat. Jadi kesadaran hukum yang dimiliki
warga masyarakat belum menjamin bahwa warga masyarakat tersebut akan menaati
suatu peraturan hukum atau perundang-undangan. Kesadaran seseorang bahwa
mencuri itu salah dan jahat, belum tentu menyebabkan orang itu melakukan
pencurian, jika pada saat dimana ada tuntutan mendesak, misalnya kalau ia tidak
mencuri maka anak satu-satunya yang ia sayang yang dalam keadaan sakit keras
akan meninggal dunia, karena tak ada biaya pengobatan.
Apabila dihubungkan dengan penegakan atau pelaksanaan ataupun
keefektifan suatu undang-undang, maka suatu undang-undang dikatakan demikian apabila sebagian besar
masyarakatnya mentaati aturan tersebut.
Demikian
pula halnya dengan realisasi pelaksanaan peraturan
perundang-undangan Republik Indonesia
mengenai pembagian urusan pemerintahan khusus bidang pertanahan di Indonesia, perlu mendapat
perhatian khusus dalam upaya implementasinya demi tercapainya maksud dan tujuan
peraturan tersebut.
boleh minta softcopy-nya? tolong kirim ke yuukwahyu@gmail.com
ReplyDelete