Dari Adiy bin
Amirah Al-Kindi Radhiyallahu ‘anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Barangsiapa di antara kalian yang kami
tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami
sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (harta korupsi) yang
akan dia bawa pada hari kiamat”
(Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seolah-olah aku melihatnya, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan”.
(Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seolah-olah aku melihatnya, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan”.
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya : “Ada gerangan?”
Dia menjawab, “Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan diatas, pent)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh”.
Dia menjawab, “Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan diatas, pent)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh”.
TAKHRIJ HADITS
1)
Hadits
ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab Al-Imarah, bab Tahrim
Hadaya Al-Ummal, hadits no. 3415
2)
Abu
Dawud dalam Sunan-nya dalam kitab Al-Aqdhiyah, bab Fi Hadaya Al-Ummal, hadits
no. 3110
3)
Imam
Ahmad dalam Musnad-nya, 17264 dan 17270, dari jalur Ismail bin Abu Khalid, dari
Qais bin Abu Hazim, dari Sahabat Adiy bin Amirah Al-Kindi Radhiyallahu ‘anhu di
atas. Adapun lafadz hadits di atas dibawakan oleh Muslim.
BIOGRAFI SINGKAT ADIY BIN AMIRAH
RADHIYALLAHU ‘ANHU
Beliau merupakan
sahabat mulia, dengan nama lengkapnya Adiy bin Amirah bin Farwah bin Zurarah
bin Al-Arqam, Abu Zurarah Al-Kindu. Beliau hanya sedikit meriwayatkan hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya adalah hadits ini. Beliau
wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu. Ada pula yang
berpendapat selain itu. [1] Wallahu a’lam bish shawab.
MUFRADAT (KOSA KATA)
Kata ghululan
dalam lafadz Muslim, atau ghullan dalam lafadz Abu Dawud, keduanya dengan huruf
ghain berharakat dhammah. Ini mengandung beberapa pengertian, di antaranya bermakna
belenggu besi, atau berasal dari kata kerja ghalla yang berarti khianat. [2]
Ibnul Atsir menerangkan, kata al-ghulul, pada asalnya bermakna khianat dalam
urusan harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta rampasan perang
sebelum dibagikan. [3]. Kemudian, kata ini digunakan untuk setiap perbuatan
khianat dalam suatu urusan secara sembunyi-sembunyi.[4]
Jadi, kata
ghulul di atas, secara umum digunakan untuk setiap pengambilan harta oleh
seseorang secara khianat, atau tidak dibenarkan dalam tugas yang diamanahkan
kepadanya (tanpa seizin pemimpinnya atau orang yang menugaskannya). Dalam
bahasa kita sekarang, perbuatan ini disebut korupsi, seperti tersebut dalam
hadits yang sedang kita bahas ini.
MAKNA HADITS
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang yang
ditugaskan untuk menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu
dari hasil pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan atau
orang yang menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun
hanya sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar tersebut
akan menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia lakukan
ini merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia akan
dimintai pertanggungjawabannya nanti pada hari Kiamat.
Ketika kata-kata
ancaman tersebut didengar oleh salah seorang dari kaum Anshar, yang orang ini
merupakan satu diantara para petugas yang ditunjuk oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, serta merta dia merasa takut. Dia meminta kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melepaskan jabatannya. Maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, agar setiap orang yang diberi tugas
dengan suatu pekerjaan, hendaknya membawa hasil dari pekerjaannya secara
keseluruhan, sedikit maupun banyak kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian mengenai pembagiannya, akan dilakukan sendiri oleh beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Apa yang diberikan, berarti boleh mereka ambil. Sedangkan
yang ditahan oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka tidak boleh
mengambilnya.
SYARAH HADITS
Hadits di atas
intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu mengambil harta di luar
hak yang telah ditetapkan, tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya.
Seperti ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah Radhiyallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam besabda
“Barangsiapa
yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji)
untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)”
[5]
Asy-Syaukani
menjelaskan, dalam hadits ini terdapat dalil tidak halalnya (haram) bagi
pekerja (petugas) mengambil tambahan di luar imbalan (upah) yang telah ditetapkan
oleh orang yang menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu adalah
ghulul (korupsi). [6]
Dalam hadits
tersebut maupun di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan
secara global bentuk pekerjaan atau tugas yang dimaksud. Ini dumaksudkan untuk
menunjukkan bahwa peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada dalam setiap
pekerjaan dan tugas, terutama pekerjaan dan tugas yang menghasilkan harta atau
yang berurusan dengannya. Misalnya, tugas mengumpulkan zakat harta, yang bisa
jadi bila petugas tersebut tidak jujur, dia dapat menyembunyikan sebagian yang
telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan tidak menyerahkan kepada
pimpinan yang menugaskannya.
HUKUM SYARI’AT TENTANG KORUPSI
Sangat jelas,
perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam Kitabullah (Al-Qur’an)
maupun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Di
dalam Kitabullah, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Tidak mungkin
seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa yang
berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatinya itu ..” [Ali-Imran : 161]
Dalam ayat
tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi
Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang.
Menurut
penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ayat ini diturunkan pada saat
(setelah) perang Badar, orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil
rampasan perang. Lalu sebagian mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa
mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengambilnya. Maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbebas dari tuduhan tersebut.
Ibnu Katsir
menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari segala bentuk khianat dalam penunaian
amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya. [7] Hal itu, karena
berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allah
ma’shum (terjaga) dari perbuatan seperti itu.
Mengenai
besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam
ayat di atas, yaitu ketika Allah mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat
(dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang
membawa apa yang dikhianatkannya itu…”
Ibnu Katsir
mengatakan, “Di dalamnya terdapat ancaman yang amat keras” Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini
termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan cara yang batil yang
diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya. “Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” [Al-Baqarah : 188]
Juga firman-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil..’ [An-Nisa : 29]
Adapun larangan
berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka hadits-hadits yang menunjukkan larangan ini sangat banyak, diantaranya
hadits dari Adiy bin Amirah Radhiyallahu ‘anhu dan hadits Buraidah Radhiyallahu
‘anhu diatas.
PINTU-PINTU KORUPSI
Peluang
melakukan korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang
diistilahkan dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus
selalu berhati-hati, manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui
pintu-pintu ini, semoga kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga
nantinya mampu menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab kita.
Berikut adalah di antara pintu-pintu
korupsi.
1. Saat
pengumpulan harta rampasan perang, sebelum harta tersebut dibagikan. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan.
“Ada seorang
nabi berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya : “Tidak boleh mengikutiku
(berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin
menggaulinya, dan ia belum melakukannya ; tidak pula seseorang yang telah
membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya ; tidak pula seseorang
yang telah membeli kambing atau unta betina yang sedang bunting, sementara ia
menunggu (mengharapkan) peranakannya”. Lalu nabi itu berperang dan ketika sudah
dekat negeri (yang akan diperangi) tiba atau hampir tiba shalat Ashar, ia
berkata kepada matahari : “Sesungguhnya kamu diperintah, dan aku pun
diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari ini untuk kami”, maka tertahanlah
matahari itu hingga Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia mengumpulkan
harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya, tetapi api
tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada kaumnya) :
“Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul (mengambil harta
rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang dari setiap
kabilah bersumpah (berba’iat) kepadaku”, kemudian ada tangan seseorang menempel
ke tangannya (berba’iat kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata, “Di
antara kalian ada (yang berbuat) ghulul, maka hendaklah kabilahmu bersumpah
(berba’iat) kepadaku”, kemudian ada tangan dari dua atau tiga orang menempel ke
tangannya (berba’iat kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata, “Di antara
kalian ada (yang berbuat) ghulul”, maka mereka datang membawa emas sebesar
kepala sapi, kemudian mereka meletakkannya, lalu datanglah api dan melahapnya.
Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan perang bagi kita (karena) Allah
melihat kelemahan kita” [9]
2.
Ketika
pengumpulan zakat maal (harta).
Seseorang yang
diberi tugas mengumpulkan zakat maal oleh seorang pemimpin negeri, jika tidak
jujur, sangat mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat maal) yang telah
dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya kepada pemimpin yang menugaskannya.
Atau dia mengaku yang dia ambil adalah sesuatu yang dihadiahkan kepadanya.
Peristiwa semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, dan beliau memperingatkan dengan keras kepada petugas yang mendapat
amanah mengumpulkan zakat maal tersebut dengan mengatakan.
“Tidaklah kamu
duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, apakah kamu akan diberi hadiah
(oleh orang lain) atau tidak?” Kemudian pada malam harinya selepas shalat Isya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berceramah (untuk memperingatkan perbuatan
ghulul kepada khalayak). Di antara isi penjelasan beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan.
“(Maka) Demi
(Allah), yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah seseorang dari
kalian mengambil (korupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia
akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil)
seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka
(sapi itupun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka
(kambing itu pun) bersuara…” [10]
3. Hadiah
untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan izin pemimpin atau yang
menugaskannya.
Dalam hal ini,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda. “Hadiah untuk para petugas
adalah ghulul”. Setiap tugas apapun, terutama yang berurusan dengan harta,
seperti seorang yang mendapat amanah memegang perbendaharaan negara, penjaga
baitul maal atau yang lainnya, terdapat peluang bagi seseorang yang berniat
buruk untuk melakukan ghulul (korupsi), padahal dia sudah memperoleh upah yang
telah ditetapkan untuknya. Telah disebutkan dalam hadits yang telah lalu, yaitu
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Barangsiapa
yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji)
untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)’
[12]
BAHAYA PERBUATAN GHULUL (KORUPSI)
Tidaklah Allah
melarang sesuatu, melainkan dibalik itu terkandung keburukan dan mudharat
(bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak
luput dari keburukan dan mudharat tersebut. Di antaranya.
1.
Pelaku
ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada
hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke -161 surat Ali-Imran dan
hadits Adiy bin Amirah Radhiyallahu ‘anhu di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid
As-Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.“Demi (Allah), yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tidaklah seseorang
mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari
Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta
itu) bersuara. Jika (hang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itupun) bersuara.
Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara.
2.
Perbuatan
korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
Dalam hadits Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “ …(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya” [14]
Dalam hadits Ubadah bin Ash-Shamit Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “ …(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya” [14]
3.
Orang
yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat
jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati)
dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu
kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang”
4.
Allah
tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana
dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Shalat tidak akan diterima
tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)” [16]
5.
Harta
hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat
menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. “Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima
kecuali dari yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang
beriman dengan apa yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman,
“Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”. Dia (Allah) juga
berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang
Kami rizkikan kepada kamu”, kemudian beliau (Rasulullah) Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menceritakan seseorang yang lama bersafar, berpkaian kusut dan berdebu.
Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a) : “Ya Rabb… ya Rabb…”
tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya
dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?”
Demikian yang
kami tuliskan untuk para pembaca seputar masalah korupsi. Mudah-mudahan Allah
menyelamatkan kita dari segala keburukan yang lahir maupun tersembunyi. Dan
semoga uruaian singkat ini bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab.
0 komentar:
Post a Comment