MENCETAK calon pemimpin bangsa tidak
bisa lepas dari peran dan fungsi pendidikan. Siapa saja yang kini telah menjadi
orang-orang sukses adalah berkat hasil dari produk pendidikan yang bisa
diandalkan. Praktik korupsi yang dilakukan oleh beberapa oknum penguasa adalah
cermin dari buram dan minimnya produk pendidikan kita. Pendidikan bukan hanya
berupa transfer ilmu (pengetahuan) dari satu orang ke satu (beberapa) orang
lain, tapi juga mentrasformasikan nilai-nilai (bukan nilai hitam di atas kertas
putih) ke dalam jiwa, kepribadiaan, dan struktur kesadaran manusia itu. Hasil
cetak kepribadian manusia adalah hasil dari proses transformasi pengetahuan dan
pendidikan yang dilakukan secara humanis.
Tapi, selama ini kita hanya melihat
pendidikan hanya sebagai momen “ritualisasi”. Makna baru yang dirasakan
cenderung tidak begitu signifikan. Apalagi, menghasilkan insan-insan pendidikan
yang memiliki karakter manusiawi. Pendidikan kita sangat miskin dari sarat
keilmuan yang meniscayakan jaminan atas perbaikan kondisi sosial yang ada.
Pendidikan hanya menjadi “barang dagangan” yang dibeli oleh siapa saja yang
sanggup memperolehnya. Akhirnya, pendidikan belum menjadi bagian utuh dan integral
yang menyatu dalam pikiran masyarakat keseluruhan.
Ivan Illich, kritikus pendidikan yang
banyak melakukan gugatan atas konsep sekolah dan kapitalisasi pendidikan,
mengatakan bahwa kita harus mengenali keterasingan manusia dari belajarnya
sendiri ketika pengetahuan menjadi produk sebuah profesi jasa (guru) dan murid
menjadi konsumennya. Kapitalisme pengetahuan pada sejumlah besar konsumen
pengetahuan, yakni orang-orang yang membeli banyak persediaan pengetahuan dari
sekolah akan mampu menikmati keistimewaan hidup, punya penghasilan tinggi, dan
punya akses ke alat-alat produksi yang hebat. Pendidikan kemudian
dikomersialkan. Sehingga tidak ada kepedulian seluruh elemen pendidikan untuk
lebih memperhatikan nasib pendidikan bagi kaum tertindas.
Implikasi atas kapitalisasi pendidikan
itu maka masyarakat kita akan susah mendapatkan akses yang lebih luas untuk
memperoleh pengetahuan. Yang mampu mengakses adalah mereka yang memang
mempunyai banyak uang karena pendidikan adalah barang dagangan yang mewah. Hal
ini nampak dalam kondisi pendidikan bangsa kita. Akhirnya, kita semua terpaksa
harus membayar mahal demi memperoleh pendidikan. Padahal, belum tentu kualitas
yang dihasilkannya akan menjamin atas pembentukan kepribadian yang memiliki
kesadaran atas kemanusiaan.
Sistem pendidikan nasional yang ada
selama ini mengandung banyak kelemahan. Dari soal buruknya manajemen pendidikan
sampai pada soal mengenai minimnya dana untuk pengembangan pendidikan. Ahli
pendidikan, HAR Tilaar, seperti dikutip Qodri Azizi, menyebut ada beberapa
kelemahan dalam sistem pendidikan nasional. Pertama, sistem pendidikan itu kaku
dam sentralistik. Pola uniformitas dalam tubuh persekolahan, misalnya dalam
pembuatan kurikulum yang tidak dipahami menurut kebutuhan masing-masing
penyelenggara pendidikan. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak pernah
mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Di sini masyarakat hanya
dianggap sebagai obyek saja. Masyarakat tidak pernah diperlakukan atau
diposisikan sebagai subyek dalam pendidikan. Ketiga, dua problem di atas
didukung oleh sistem birokrasi kaku yang dijadikan alat kekuasaan atau alat
politik penguasa.2
Di saat bangsa kita sedang mengalami
devaluasi nilai dan moralitas maka sangat diperlukan wacana mengenai pendidikan
yang memberdayakan. Nilai-nilai kemanusiaan perlu dimasukkan ke dalam karakter
pendidikan sehingga akan menghasilkan kualitas manusia yang berwawasan dan
berorientasi kemanusiaan. Pendidikan yang humanis adalah harapan besar kita.
Mengaitkan antara kurikulum dengan realitas sosial adalah strategi untuk menciptakan model pendidikan yang berorientasi kemanusiaan. Kurikulum sengaja dibentuk untuk membaca realitas sosial. Kurikulum adalah “alat baca” dan panduan strategis bagi peserta didik untuk meneropong dunia sekitarnya. Sehingga, manakala mereka sudah selesai dari bangku sekolah formal, dengan hasil didikan yang diperolehnya selama ini maka itu bisa difungsikan untuk membaca realitas sekitarnya.
Lantas, bagaimana upaya kita dalam
proses membangun kurikulum yang berbasis kemasyarakatan? Langkah awal yang bisa
ditempuh adalah dengan merombak pola pikir dan kognisi para pendidik selama
ini. Mereka adalah para pembuat kurikulum yang harus bertanggung jawab atas
kualitas dan mutu pendidikan yang dikonsepkannya. Saya merasa, para pendidik
dan pembuat kurikulum tidak mempunyai keseriusan dalam membuat konsep dan gagasan
yang lebih serius dalam upaya membangun masyarakat yang cerdas. Di sini cerdas
tidak dimaknai sebagai bentuk penguatan kognisi saja, tapi juga penguatan pada
aspek emosi, kepribadian, dan kesadaran diri si terdidik.
Mau tidak mau, si terdidik harus punya
kesadaran kritis dalam meneropong atau menyoroti realitas yang dihadapinya.
Obyek yang diamati akan sangat banyak, beragam, dan kompleks sekali. Sehingga,
diperlukan perangkat analisis yang amat jitu dan tepat sasaran. Kemungkinan
karakter pendidikan semacam ini perlu dibarengi dengan pengkondisian atas
situasi proses belajar-mengajar yang elegan, egaliter, demokratis, dan
manusiawi. Tanpa itu akan sangat mustahil bisa diharapkan.
Kembali pada soal kasus radikalisme
agama dan moderatisme beragama. Seperti telah disebut terdahulu bahwa
pendidikan humanis adalah solusi paradigmatik atas kehidupan berbangsa,
bermasyarakat, dan beragama kita yang pernah mengalami anomali akibat kekerasan
yang merebak dalam kehidupan sosial kita, terutamanya yang dikaitkan dengan
problem agama. Sikap anti-kemanusiaan yang ditimbul karena padangan sempit ini
disebabkan karena beberapa kelompok Islam radikal gagap dalam membaca realitas
sosial. Apapun wujud yang ada di muka bumi dianggap sebagai bentuk kekafiran
dan kekufuran maka mereka harus “memberantasnya” sampai ke akar-akarnya, tanpa
melihatnya secara lebih terbuka dan memahami kompleksitas obyek realitas yang
dibacanya. Akhirnya, kekerasan kemudian yang berbicara.
Perilaku kekerasan yang dihinggapi oleh
rasa emosi yang mendalam selamanya tidak akan memecahkan persoalan. Hanya
dengan keterbukaan dan moderasi (tawassuth) maka kita akan bisa melihat
realitas secara obyektif. Pembacaan demikian adalah tugas penting pendidikan.
Sejauhmana pendidikan itu mampu membangun kepribadian manusia yang berkarakter
terbuka, manusiawi, dan memiliki kesadaran yang tinggi ketika harus menghadapi
realitas yang diliputi bertumpuk persoalan pelik. Hanya dengan kedewasaan yang
tinggi, manusia terdidik akan mampu menghadapi persoalan yang tengah
dihadapinya. Sesulit apapun, segala persoalan akan terselesaikan dengan baik.
Pendidikan yang mengajarkan
anti-kekerasan alias yang berwajahkan humanis adalah cita-cita dan harapan kita
semua. Kita sangat berharap mudah-mudahan para pengambil kebijakan pendidikan
di negeri ini mau dan sudi memikirkan hakikat pendidikan yang diterapkan dalam
kurikulum di berbagai sekolah dan perguruan tinggi. Dan harus ada ketegasan
dalam membuat suatu jaminan bahwa pendidikan sangat jauh dari jiwa
kapitalisasi. Pendidikan adalah wilayah kultural yang tidak bsia dipolitisasi
dan dikapitalisasi.
Pendidikan yang humanis akankah hanya
menjadi ilusi atau justru kenyataan bagi kehidupan kita? Mudah-mudahan yang
terbaiklah yang akan kita rasakan nanti di kemudian hari
0 komentar:
Post a Comment