Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Friday, July 13, 2012

Pendidikan dan Realitas Sosial

MENCETAK calon pemimpin bangsa tidak bisa lepas dari peran dan fungsi pendidikan. Siapa saja yang kini telah menjadi orang-orang sukses adalah berkat hasil dari produk pendidikan yang bisa diandalkan. Praktik korupsi yang dilakukan oleh beberapa oknum penguasa adalah cermin dari buram dan minimnya produk pendidikan kita. Pendidikan bukan hanya berupa transfer ilmu (pengetahuan) dari satu orang ke satu (beberapa) orang lain, tapi juga mentrasformasikan nilai-nilai (bukan nilai hitam di atas kertas putih) ke dalam jiwa, kepribadiaan, dan struktur kesadaran manusia itu. Hasil cetak kepribadian manusia adalah hasil dari proses transformasi pengetahuan dan pendidikan yang dilakukan secara humanis.

Tapi, selama ini kita hanya melihat pendidikan hanya sebagai momen “ritualisasi”. Makna baru yang dirasakan cenderung tidak begitu signifikan. Apalagi, menghasilkan insan-insan pendidikan yang memiliki karakter manusiawi. Pendidikan kita sangat miskin dari sarat keilmuan yang meniscayakan jaminan atas perbaikan kondisi sosial yang ada. Pendidikan hanya menjadi “barang dagangan” yang dibeli oleh siapa saja yang sanggup memperolehnya. Akhirnya, pendidikan belum menjadi bagian utuh dan integral yang menyatu dalam pikiran masyarakat keseluruhan.

Ivan Illich, kritikus pendidikan yang banyak melakukan gugatan atas konsep sekolah dan kapitalisasi pendidikan, mengatakan bahwa kita harus mengenali keterasingan manusia dari belajarnya sendiri ketika pengetahuan menjadi produk sebuah profesi jasa (guru) dan murid menjadi konsumennya. Kapitalisme pengetahuan pada sejumlah besar konsumen pengetahuan, yakni orang-orang yang membeli banyak persediaan pengetahuan dari sekolah akan mampu menikmati keistimewaan hidup, punya penghasilan tinggi, dan punya akses ke alat-alat produksi yang hebat. Pendidikan kemudian dikomersialkan. Sehingga tidak ada kepedulian seluruh elemen pendidikan untuk lebih memperhatikan nasib pendidikan bagi kaum tertindas.

Implikasi atas kapitalisasi pendidikan itu maka masyarakat kita akan susah mendapatkan akses yang lebih luas untuk memperoleh pengetahuan. Yang mampu mengakses adalah mereka yang memang mempunyai banyak uang karena pendidikan adalah barang dagangan yang mewah. Hal ini nampak dalam kondisi pendidikan bangsa kita. Akhirnya, kita semua terpaksa harus membayar mahal demi memperoleh pendidikan. Padahal, belum tentu kualitas yang dihasilkannya akan menjamin atas pembentukan kepribadian yang memiliki kesadaran atas kemanusiaan.

Sistem pendidikan nasional yang ada selama ini mengandung banyak kelemahan. Dari soal buruknya manajemen pendidikan sampai pada soal mengenai minimnya dana untuk pengembangan pendidikan. Ahli pendidikan, HAR Tilaar, seperti dikutip Qodri Azizi, menyebut ada beberapa kelemahan dalam sistem pendidikan nasional. Pertama, sistem pendidikan itu kaku dam sentralistik. Pola uniformitas dalam tubuh persekolahan, misalnya dalam pembuatan kurikulum yang tidak dipahami menurut kebutuhan masing-masing penyelenggara pendidikan. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Di sini masyarakat hanya dianggap sebagai obyek saja. Masyarakat tidak pernah diperlakukan atau diposisikan sebagai subyek dalam pendidikan. Ketiga, dua problem di atas didukung oleh sistem birokrasi kaku yang dijadikan alat kekuasaan atau alat politik penguasa.2

Di saat bangsa kita sedang mengalami devaluasi nilai dan moralitas maka sangat diperlukan wacana mengenai pendidikan yang memberdayakan. Nilai-nilai kemanusiaan perlu dimasukkan ke dalam karakter pendidikan sehingga akan menghasilkan kualitas manusia yang berwawasan dan berorientasi kemanusiaan. Pendidikan yang humanis adalah harapan besar kita.

Mengaitkan antara kurikulum dengan realitas sosial adalah strategi untuk menciptakan model pendidikan yang berorientasi kemanusiaan. Kurikulum sengaja dibentuk untuk membaca realitas sosial. Kurikulum adalah “alat baca” dan panduan strategis bagi peserta didik untuk meneropong dunia sekitarnya. Sehingga, manakala mereka sudah selesai dari bangku sekolah formal, dengan hasil didikan yang diperolehnya selama ini maka itu bisa difungsikan untuk membaca realitas sekitarnya.

Lantas, bagaimana upaya kita dalam proses membangun kurikulum yang berbasis kemasyarakatan? Langkah awal yang bisa ditempuh adalah dengan merombak pola pikir dan kognisi para pendidik selama ini. Mereka adalah para pembuat kurikulum yang harus bertanggung jawab atas kualitas dan mutu pendidikan yang dikonsepkannya. Saya merasa, para pendidik dan pembuat kurikulum tidak mempunyai keseriusan dalam membuat konsep dan gagasan yang lebih serius dalam upaya membangun masyarakat yang cerdas. Di sini cerdas tidak dimaknai sebagai bentuk penguatan kognisi saja, tapi juga penguatan pada aspek emosi, kepribadian, dan kesadaran diri si terdidik.

Mau tidak mau, si terdidik harus punya kesadaran kritis dalam meneropong atau menyoroti realitas yang dihadapinya. Obyek yang diamati akan sangat banyak, beragam, dan kompleks sekali. Sehingga, diperlukan perangkat analisis yang amat jitu dan tepat sasaran. Kemungkinan karakter pendidikan semacam ini perlu dibarengi dengan pengkondisian atas situasi proses belajar-mengajar yang elegan, egaliter, demokratis, dan manusiawi. Tanpa itu akan sangat mustahil bisa diharapkan.

Kembali pada soal kasus radikalisme agama dan moderatisme beragama. Seperti telah disebut terdahulu bahwa pendidikan humanis adalah solusi paradigmatik atas kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan beragama kita yang pernah mengalami anomali akibat kekerasan yang merebak dalam kehidupan sosial kita, terutamanya yang dikaitkan dengan problem agama. Sikap anti-kemanusiaan yang ditimbul karena padangan sempit ini disebabkan karena beberapa kelompok Islam radikal gagap dalam membaca realitas sosial. Apapun wujud yang ada di muka bumi dianggap sebagai bentuk kekafiran dan kekufuran maka mereka harus “memberantasnya” sampai ke akar-akarnya, tanpa melihatnya secara lebih terbuka dan memahami kompleksitas obyek realitas yang dibacanya. Akhirnya, kekerasan kemudian yang berbicara.

Perilaku kekerasan yang dihinggapi oleh rasa emosi yang mendalam selamanya tidak akan memecahkan persoalan. Hanya dengan keterbukaan dan moderasi (tawassuth) maka kita akan bisa melihat realitas secara obyektif. Pembacaan demikian adalah tugas penting pendidikan. Sejauhmana pendidikan itu mampu membangun kepribadian manusia yang berkarakter terbuka, manusiawi, dan memiliki kesadaran yang tinggi ketika harus menghadapi realitas yang diliputi bertumpuk persoalan pelik. Hanya dengan kedewasaan yang tinggi, manusia terdidik akan mampu menghadapi persoalan yang tengah dihadapinya. Sesulit apapun, segala persoalan akan terselesaikan dengan baik.

Pendidikan yang mengajarkan anti-kekerasan alias yang berwajahkan humanis adalah cita-cita dan harapan kita semua. Kita sangat berharap mudah-mudahan para pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini mau dan sudi memikirkan hakikat pendidikan yang diterapkan dalam kurikulum di berbagai sekolah dan perguruan tinggi. Dan harus ada ketegasan dalam membuat suatu jaminan bahwa pendidikan sangat jauh dari jiwa kapitalisasi. Pendidikan adalah wilayah kultural yang tidak bsia dipolitisasi dan dikapitalisasi.

Pendidikan yang humanis akankah hanya menjadi ilusi atau justru kenyataan bagi kehidupan kita? Mudah-mudahan yang terbaiklah yang akan kita rasakan nanti di kemudian hari

Pendidikan dan Realitas Sosial Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment