IMAM MUKTI |
Beberapa usaha untuk memahami peran dan tanggung jawab yang
tepat warga negara dapat ditemukan kembali pada filosofi Yunani kuno.
Teoretikus politik yang bernama J.G.A. Pocock pada kenyataannya menunjukkan bahwa
sejarah konsep kewarganegaraan dalam pemikiran politik Barat dapat dipandang sebagai
“dialog yang belum selesai” antara yang ideal dan yang riil dan antara orang
dan benda (Pocock, 1995, 42). Menurut Pocock, penjelasan klasik mengenai
kewarganegaraan. Yang mengekspresikan “yang ideal”, pertama kali dikembangkan dalam
Politics Aristotle. Menurut pandangan
ini, warga negara turut serta dalam penelitian polis sebab individu bisa mencapai humanitas terpenuhnya (bagi
Aristotle, ini hanya adalah “his/nya”).
Karena manusia adalah orang yang aktif, sosial dan bermoral, yang berhubungan dengan
tujuan hidup, mereka berusaha untuk mencapai tujuan tinggi dan harus terlibat dalam
determinasi-diri. “Oleh karena itu, warga negara mengatur dan diatur; warga
negara bergabung satu sama lain dalam membuat keputusan di mana masing-masing
pengambil keputusan menghormati otoritas lainnya dan semuanya bergabung dalam
mematuhi beberapa keputusan yang mereka buat” (Pocock, 1995, 31). Warga negara
lebih berhubungan dengan “tujuan” yang dicapai dalam kehidupan sosial; mereka
kurang memperhatikan “alat” industri atau produksi. Kewarganegaraan dipandang
sebagai aktivitas instrumental (cara untuk mencapai tujuan). Agar aktif, warga
negara harus menjadi tujuan itu sendiri. Ini dinilai karena kebebasan yang
diperoleh dengan berpartisipasi dalam pekerjaan pemerintahan.
Terdapat pandangan alternatif, pandangan yang Pocock lacak pada
ahli hukum Roma yang bernama Gaius, yang bergerak dari sebuah konsep warga
negara sebagai keberadaan political
ke warga negara sebagai keberadaan legal,
yang eksis dalam dunia orang, tindakan, dan sesuatu/benda. Konsep “sesuatu” adalah
konsep yang membuat sebuah perbedaan. Warga negara Aristotle tentu saja,
berkaitan dengan sesuatu (seperti tanah atau perdagangan), namun mereka tidak
bertindak melalui medium sesuatu. Yang
sangat bertentangan, “warga negara Aristotle adalah orang-orang yang bertindak
satu sama lain, sehingga kehidupan aktifnya adalah bersifat moral” (Pocock,
1995, 34).
Bagi Gaius, orang-orang pada dasarnya bertindak karena ada
sesuatu, dan sebagian besar tindakannya terfokus pada pengambilan dan pertahanan
kepemilikan sesuatu. Perselisihan yang dihasilkan atas sesuatu adalah apa yang
menimbulkan kebutuhan terhadap regulasi. Individu sebagai warga negara lebih
dahulu terkait dengan kepemilikan sesuatu dan kedua dengan tindakan-tindakan
legal yang diambil dengan menghubungkan sesuatu itu – otorisasi, alat pembawa,
litigasi, dan lain sebagainya. Menurut pandangan ini, dunia sesuatu menjadi
suatu realitas, medium di mana manusia menghidupi kehidupannya, dan tentu saja mendefinisikan
kehidupannya. Kewarganegaraan menjadi sebuah status legal, status yang terkait dengan
“hak-hak” khusus, khususnya hak-hak properti, namun bukan menjadi status moral
atau politik. “warga negara Yunani melangkah di luar dunia sesuatu ke dalam
dunia interaksi personal, dunia perbuatan dan perkataan, pembicaraan dan
peperangan. Warga negara Roma, yang bergantung pada hukum dan rajanya, tetap
diperingatkan oleh formula Gaian bahwa ia tinggal dalam dunia sesuatu, dan juga dunia orang dan
tindakan.” (Pocock, 1995, 40).
Jean-Jacques Rousseau, yang mengikuti tradisi Aristotelian,
pada dasarnya mendefinisikan warga
negara sebagai seseorang yang bertindak demi kebaikan komunitas.
Kewarganegaraan adalah pola hidup yang meliputi sebuah komitmen terhadap
komunitas dan terhadap anggota-anggotanya, sebuah level keterlibatan signifikan
dalam urusan publik, dan keinginan berkala untuk menempatkan kepentingan diri
seseorang di bawah kepentingan masyarakat luas, apa yang Alexis de Tocqueville
sebut sebagai “kepentingan diri yang dipahami dengan benar” (Tocqueville, 1969,
526-27). Lainnya, seperti John Start Mill, juga memimpikan partisipasi warga
negara sebagai sebuah komponen yang diperlukan pemerintah demokratis. Sebagaimana
yang Mill nyatakan, “pemerintah yang baik bergantung pada kualitas manusia yang
terdiri dari masyarakat di mana pemerintahan diselenggarakan” (Mill 1862, II,
2).
Tradisi legal, yang kerap kali bersifat skeptis terhadap
partisipasi publik, dipertahankan dalam tulisan Konstitusi Amerika Serikat. Sesuai
dengan tradisi legalisme dan yurisprudensi, ayah pendiri menciptakan pemerintah
dengan perhatian teliti terhadap keseimbangan,atau seseorang bisa mengatakan dilusi kekuasaan , supaya bisa memproteksi publik dari tirani pemerintah. Pada waktu
yang bersamaan, para pembuat Konstitusi merasa sangat curiga dengan peraturan yang
dibuat oleh massa atau rakyat. Untuk alasan ini, hak pilih sangat dibatasi. Konsep
“warga negara” hanya dimiliki oleh pemilik tanah pria, yang dipercaya bisa
memiliki pengetahuan yang cukup untuk berpartisipasi melalui pemilihan dan
layanan publik.
James Madison sangat memperhatikan gagasan tindakan warga
negara. Beliau percaya bahwa di antara “ketidakberuntungan terbesar” Republik
baru adalah “ketidakstabilan dan ketidakadilan yang spirit ternodai oleh
administrasi publik kami” (Madison, 1787/1987, #10, 1). Bagi Madison, beberapa
golongan adalah “beberapa warga negara, baik yang mayoritas maupun minoritas keseluruhan,
yang bersatu dan digerakkan oleh beberapa impuls keinginan bersama, atau kepentingan
komunitas yang berlawanan” (#10, 1). Thomas di sisi lain, Jefferson sangat mempertahankan
keterlibatan warga negara dalam memimpin pemerintah, yang menulis Declaration
of Independence bahwa “Pemerintah dilembagakan di antara manusia, memperoleh
kekuasaan dari persetujuan yang diperintah” (Declaration of Indeendence
1776/1970). Dan perdebatan itu tetap saja berlangsung.
Selama sistem konstitusional Amerika Serikat tidak benar-benar
mendukung keidealan demokratis, yang memiliki fokus legalistik yang didesain untuk
memproteksi pemerintah dari gangguan berlebihan dari warga negara, terdapat
komitmen informal yang kuat terhadap cita-cita demokratis. Sebagai nilai
abstrak, konsep partisipasi warga negara diterima sebagai kebaikan yang
sempurna. Arahan Lincoln di Gettysburg Address mempengaruhi sentimen dalam
frase terkenal “pemerintah rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Jadi, terdapat
nilai yang kuat dan eksplisit yang ditempatkan pada peran warga negara dalam
ideologi Amerika.
Lebih lanjut, orang Amerika memiliki tradsi yang kuat untuk
bertindak sesuai dengan cita-cita kewarganegaraan demokratis. Dengan meringkas
sejarah keterlibatan sipil dalam abad ini, Terry Cooper menulis, “Dari
tradisi-kovenantal komunal Puritan awal dengan bentuk-bentuk pemerintahan
partisipatif; pertemuan kota Inggris; pengalaman pembentukan asosiasi, yang mempengaruhi
perhatian Tocqueville; pemikiran anti-federalis; dan penetapan kooperatif
daerah perbatasan, terdapat serangkaian nilai, adat istiadat, kepercayaan,
prinsip,dan teori yang memberikan substansi terhadap kewarganegaraan etis”
(1991, 10). Tradisi yang kuat ini atas kewarganegaraan etis ini bertentangan dengan
pendekatan-pendekatan legal yang lebih formal, dan memberikan basis untuk
kewarganegaraan yang aktif dan terlibat dalam negara ini.
Sejak awal kami telah memperlihatkan sebuah perbedaan antara
sebuah perspektif tentang penyelenggaraan pemerintahan di mana warga negara
melihat melebihi kepentingan-diri ke kepentingan publik yang lebih besar, dan
penyelenggaraan pemerintahan yang pemerintahnya eksis untuk memastikan bahwa
warga negara dapat membuat beberapa pilihan yang konsisten dengan
kepetingan-dirinya dengan menjamin prosedur-prosedur khusus dan hak-hak
individuil. Apa yang sekarang menjadi
jelas yakni beberapa teori kewarganegaraan adalah berbeda dalam hal yang sama. Cita-cita
demokratis dari orang-orang yang terlibat aktif dalam pekerjaan komunitas atau negara,
yang memberikan keuntungan kepada masyarakat dan dirinya sendiri selama mereka menjadi
manusia yang lebih sempurna melalui keterlibatannya dalam sistem politik, bertentangan
dengan dunia yurisprudensi dan hak-hak legal, baik yang terbentuk untuk
memproteksi kepentingan kami terhadap sesuatu maupun kepemilikan kami. Dalam Bab
ini, kami berargumen bahwa pandangan yang berlaku dalam politik dan administrasi
terkait dengan kepentingan-diri, namun kemunculan spirit demokratis mungkin
memiliki keuntungan besar bagi masyarakat dan bagi anggota-anggotanya.
0 komentar:
Post a Comment