Demokrasi
adalah pilihan masyarakat modern untuk menyelenggarakan kehidupan bersama.
Demokrasi merupakan hasil pengalaman berabad-abad berbagai peradaban dalam
mengelola kepentingan dan kesejahteraan masyarakatnya dalam kerangka kontrak
sosial.
Demokrasi
menjadi sistem karena di dalam demokrasilah kepentingan kehidupan bersama
dikelola. Sebagai sistem, demokrasi memiliki tiga elemen utama, yaitu: input,
proses, dan output.
Input
dari demokrasi tentulah aspirasi, partisipasi publik dan, dalam bentuk yang formal,
suara (vote). Input inilah yang diolah dalam proses demokrasi politik yang
berupa agregasi dan kondensasi informasi, pilihan serta preferensi induvidu.
Proses tersebut akan menghasilkan output berupa pengelolaan kehidupan bersama
yang memberi manfaat untuk semua.
Proses
demokrasi ini harus dijaga dari distorsi serta harus dipastikan dapat
menghasilkan output sesuai dengan yang diharapkan. Proses yang terdistorsi atau
proses demokrasi yang gagal dapat berujung pada dua (2) skenario:
1. Tidak
ada output, seperti yang terjadi di jaman Presiden Soekarno, dimana dinamika
politik ideologi gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat;
2.
ada output, tapi tidak baik untuk rakyat;
seperti yang terjadi di jaman Presiden Soeharto, dimana kesejahteraan hanya
dinikmati oleh sebagian orang dan banyak terjadi deteriorisasi kebebasan
politik.
Dengan
kerangka tersebut, saya ingin menggulirkan suatu diskusi tentang demokrasi yang
produktif, sebagai hasil dari pengelolaan input, proses dan output yang
terjaga, baik oleh sistem, maupun oleh etika politik. Demokrasi yang produktif
adalah demokrasi yang mampi memecahkan masalah.
Partai
politik merupakan pilar penting dalam mewujudkan demokrasi yang produktif.
Partai politik menjadi kanal aspirasi publik ke dalam sistem dan saluran
informasi dari sistem politik ke ranah masyarakat.
Partai
politik adalah lini terdepan dari sistem politik yang berhadapan dengan publik.
Sudah waktunya partai politik memberi porsi yang seimbang antara
masalah-masalah nasional dan lokal. Justru partai politik mesti makin tertarik
untuk merespon kebutuhan-kebutuhan lokal. Harusnya ada insentif ketika partai
politik mampu menyelesaikan masalah lokal, tapi sekarang kita kerap menyaksikan
betapa yang mampu menyelesaikan keinginan elitelah yang diberi insentif
Contohnya,
dalam perumusan kebijakan publik. Partai politik seharusnya menjadi kanal
aspirasi publik dan memberikan informasi, bukannya malah menjadi kasino tempat
kebijakan publik dirumuskan di ruang tertutup dan rentan terhadap intervensi
vested interest.
Partai
politik dengan komitmen untuk mengembangkan kemampuan permasalahan lokal akan
memberi ruang bagi tumbuhnya pemimpin-pemimpin politik yang
"berkeringat," berakar dan merintis dari bawah. Dengan kesadaran itu,
partai politik juga akan mengembangkan meritokrasi sebagai pilihan rasional
untuk mewujudkan demokrasi yang produktif.
Beranjak
dari kerangka itu pula, pemimpin politik dalam demokrasi yang produktif harus
memiliki dua (2) klasifikasi, yaitu
1.
kualifikasi politis, ini adalah kualifikasi
dimana seorang pemimpin politik harus akseptabel. Akseptabilitas kepemimpinan
merupakan hasil yang didapat dari integritas, moralitas, kompetensi dan
penerimaan terhadap pluralitas bangsa. Pemimpin politik haruslah memiliki
catatan moralitas yang baik, integritas yang tidak cacat, kompetensi yang dapat
diandalkan, dan-yang tidak kalah penting-kesadaran akan fakta bahwa Indonesia
adalah sebuah negara dengan keragaman dalam hampir seluruh aspek kehidupannya.
Kualifikasi politis ini akan membangun legitimasi politik seorang pemimpin;
2.
Kualifikasi teknis, berkaitan dengan begaimana
kepercayaan publik dikelola dan diwujudkan dalam kinerja nyata kepemimpinan
politik. Kemampuan teknis adalah kapabilitas manajerial untuk menggerakan
sumber daya yang dimilikinya dan dalam bentuknya yang formal, mampu mengelola
organisasi partai hingga pemerintahan. Pengalaman berorganisasi yang melatih
kemampuan seseorang untuk mengomunikasikan visi, menyinergikan kekuatan dan
memediasi konflik sangat relevan di sini.
Dua
kualifikasi di atas tidak terpisahkan dan komplementer. Tanpa kualifikasi
teknis, kualifikasi politis seorang pemimpin akan tergerus karena kegagalan
mewujudkan kinerja yang efektif. Namun, kecakapan memimpin dan mengelola
organisasi tidak bermakna jika pemimpin tersebut tidak menunjukan integritas
dan tidak memiliki akseptabilitas. Tidak mungkin sebuah kepemimpinan politik
berjalan tanpa kepercayaan dari konstituennya.
Pemimpin
dengan dua kualifikasi di atas hanya lahir dari proses yang panjang, bukan
"karbitan." Kematangan kualifikasi politis baru bisa dimiliki setelah
melalui proses pembuktian legitimasi dalam dimensi integritas, moralitas,
kompetensi dan kapabilitas politik.
Kualifikasi
teknis, meski dapat dipelajari, juga tidak bisa diperoleh secara instan.
Kemampunan menata dan mengelola politik tidak hanya mengacu pada aspek
teoretik. Dibutuhkan pengalaman langsung di lapangan untuk menguji kapabilitas
seorang calon pemimpin.
Itulah
kerangka besar dari demokrasi yang modern yang produktif, demokrasi yang mampu
menyelesaikan masalah dan mewujudkan kesejahteraan, yang bersendikan pada
partai politik yang berkomitmen untuk merespon permasalahan lokal yang mampu
melahirkan pemimpin yang berakar dengan kualifikasi teknis dan politis yang
memadai.
0 komentar:
Post a Comment