Isu demokrasi
telah mendunia. Ideologi produk Barat ini (baca: orang-orang kafir) lantas
dipaksakan atas negara-negara lain, termasuk pada komunitas kaum muslimin.
Opini yang dihembuskan, bahwa kesengsaraan dan penderitaan rakyat suatu negara
berpangkal pada hilangnya ruh demokratis di tengah mereka. Ketika suasana
demokratis telah menaungi sebuah negara, maka rakyat akan hidup dalam
kemakmuran yang merata (?!).
Faktanya,
justru, wajah demokrasi melahirkan masalah-masalah baru yang tidak bisa
dianggap sepele oleh umat Islam. Berikut ini sedikit tentang
pelanggaran-pelanggaran ideologi demokrasi secara ringkas, baik ditinjau dari
hukum asalnya, atau mekanisme-mekanisme penyelenggaraan negara dalam negara
berdemokrasi (dimanapun) ditinjau dari sudut pandang Islam.
PELANGGARAN TERHADAP AKIDAH ISLAM
Pelanggaran
dalam aspek akidah ini, lantaran ideologi demokrasi memutuskan hukum
berdasarkan suara mayoritas. Apapun hasilnya, pilihan suara mayoritas itu akan
diputuskan sebagai peraturan yang mengikat. Suara terbanyak dikultuskan, dan
penetapan hukum-hukum hanya berada di tangan sekelompok orang saja.
Demokrasi yang
bertumpu pada ketaatan pada suara mayoritas telah mengakibatkan terjadinya
syirkuth-thâ'ah (menyekutukan sesuatu dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala pada
aspek ketaatan dengan mutlak). Simaklah ayat berikut: "Apakah mereka
mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah? [asy-Syûra/42:21]
Hukum Allah
itulah yang mestinya (wajib) diterapkan dalam seluruh bidang kehidupan sosial
kemasyarakatan. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala al-Khaaliq (Dzat Yang Maha
Menciptakan) dan Maha Tahu apa yang paling bermanfaat dan mengandung maslahat
sebesar-besarnya bagi makhluk-Nya.
Allah Subhanahu
wa Ta'ala berfirman : "Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahu" [Yûsuf/12:40].
MEMICU KEMUNAFIKAN
Calon-calon
legislatif atau eksekutif berusaha menampilkan citra dirinya sebagai figur yang
baik. Tak kurang, misalnya dalam soal nama, disematkanlah label Haji (H) dan
Hajjah (Hj). Penyematan gelar-gelar seperti ini atau yang sejenisnya, seolah
menjadi "wajib". Ucapan-ucapan manis dan janji-janji menarik
menghiasi bibir-bibirnya. Semuanya menjanjikan perbaikan keadaan dan
meningkatkan kemakmuran rakyat.
Namun, begitu
usai dan berhasil menggenggam jabatan, ternyata kepentingan pribadi, partai
atau golongan berbalik menjadi tujuan utamanya. Janji-janji yang pernah
diucapkan hanyalah isapan jempol. Itulah sebuah kedustaan. Padahal Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman : "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar"
[at-Taubah/9:119].
Juga disebutkan
riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: "Tanda-tanda kemunafikan ada tiga. Jika berbicara,
ia dusta. (2) Jika berjanji, ia mengingkari. (3) dan jika dipercaya, ia
berkhianat" [HR al-Bukhâri, no. 32, dan Muslim, no. 89]
MENYUBURKAN BUDAYA SUAP
Politik uang
tidak bisa lepas dari alam demokrasi. Misalnya dengan pembagian sembako,
hadiah, atau bantuan lain. Ini dilakukan oleh calon-calon pencari kekuasaan
untuk menarik simpati kalangan bawah. Apapun bentuknya, ketika materi
berbicara, itulah esensi dari politik uang. Dalam terminologi fiqih sebagai
risywah (suap) yang diharamkan Islam.
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Allah melaknat penyuap dan
orang yang disuap". [HR at-Tirmidzi dan Ibnu Maajah dan dishahîhkan oleh
Syaikh al-Albâni, Shahîh at-Targhib wat-Tarhib, 2/261].
PUJIAN BAGI DIRI SENDIRI
Dalam alam
demokarsi, sebagian calon-calon eksekutif maupun legislatif senang memuji diri
sendiri. Saat kampanye sering menyatakan sebagai pihak yang paling pantas
mengemban amanah rakyat. Pujian-pujian dan sanjungan-sanjungan juga dipaksakan
oleh tim suksesnya demi kemenangan calon-calonnya. Bisa disaksikan,
baliho-baliho, spanduk-spanduk maupun iklan-iklan dijejali dengan
ungkapan-ungkapan pujian, gambar-gambar bagaimana orang-orang yang mencalonkan
diri (atau dicalonkan) berempati kepada rakyat kecil, rela berkotor-kotor
keluar masuk pasar tradisional (yang sebelumnya tidak pernah dilakukan) guna mendulang
simpati lebih besar. Bila mreka tidak berhak dipuji, berarti telah terjadi
penipuan dan kedustaan. Jika sepertinya pantas memperoleh pujian, ini pun tidak
perlu dilakukan.
Hal ini karena
pada asalnya, memuji diri sendiri tidak boleh (haram). Seseorang dituntut agar
rendah hati, tidak menonjolkan diri, atau membanggakan diri. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman: "Maka, janganlah kamu mengatakan dirimu suci.
Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa".
[an-Najm/53:32].
SIAPAPUN BISA TERPILIH, MESKI
ORANG PALING ZHALIM DAN TERBEJAT SEKALIPUN
Proses
pencapaian kursi kekuasaan dalam ideologi demokrasi melalui mekanisme
kepartaian. Masing-masing partai mendelegasikan orang pilihannya. Lantas,
masyarakat menentukan pilihan pada siapa saja yang mereka kehendaki, tanpa
memandang baik buruknya individu tersebut. Dalam penghitungan suara, para wakil
yang memperoleh suara terbanyak akan memperoleh tempat. Demikian pula, pemegang
kekuasaan (eksekutif) berdasarkan suara terbanyak, bagaimanapun buruk sifat dan
karakter mereka.
DEMOKRASI MEMECAH PERSATUAN UMAT
Ideologi
demokrasi melahirkan pembentukan partai-partai yang sangat berpotensi
menimbulkan perpecahan dan fanatisme buta terhadap golongan. Secara tidak
langsung juga menumbuhkan bahaya laten konflik antar simpatisan. Bahkan untuk
membela golongannya rela mempertaruhkan kematinya. Sedangkan Islam mengutamakan
persatuan dan mencela perpecahan.
ADANYA UNSUR PERJUDIAN DALAM
PESTA DEMOKRASI
Terjadinya
persaingan dalam meraih kekuasaan, telah menginspirasikan berbagai cara
ditempuh untuk memenangkan suara. Bagi yang kalah, ia akan mengalami banyak
kerugian. Inilah hasil yang akan didapat pihak pecundang. Sebaliknya, pihak
yang memenangkan, ia akan memperoleh keuntungan. Meskipun pada hakikatnya,
semua pihak mengalami kerugian dalam pesta yang menelan anggaran, baik negara
maupun individu yang sangat besar ini. Dikatakan oleh Syaikh ‘Abdul-Muhsin
–hafizhahullah- realita ini mirip dengan qimâr (perjudian).
DEMOKRASI MENGAJARKAN KEBEBASAN
MUTLAK
Demokrasi
terbangun di atas asas kebebasan mutlak, meskipun berupa kekufuran atau
kebejatan dan degradasi moral. Setiap orang bebas melontarkan atau bertindak
serta meyakini apa saja, tanpa memperhatikan norma agama maupun norma sosial,
etika. Dalihnya, karena semua orang bebas menentukan pilihan pribadinya tanpa
intervensi orang lain.
0 komentar:
Post a Comment