Kebohongan dari para elite penyelenggara
negara sudah merupakan konsumsi rutin dan masuk dalam sendi-sendi kehidupan
masyarakat, sekaligus secara fundamental merusak atau mencemari moralitas
rakyat yang semula menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Bahkan, pada
tingkat tertentu, akan sangat jarang para penyelenggara negara ini bisa tampil
dan eksis kalau tidak terlebih dahulu menipu atau menebar kebohongan.
Cobalah, misalnya, pelajari janji-janji
politik saat kampanye para calon pejabat publik (mulai dari presiden, para
anggota parlemen, sampai pada kepala daerah), dan kemudian bandingkan dengan
realisasi atau kebijakannya setelah menjabat. Pastilah umunya akan menyimpang.
Dan, jangan heran kalau untuk menghindar dari kebohongannya, maka para pemimpin
(elite politik) itu akan dengan canggih mengungkapkan keberhasilan dengan
berbagai data dan argumen kebohongan yang direkayasa secara canggih. Parahnya
lagi, walaupun masyarakat sudah mengetahui pemimpinnya berbohong, toh tetap
dimaafkan. Inilah barangkali sebagai bagian dari konsekwensi masyarakat kita
yang sering terjebak pada sifat dan sikap permisif.
Kondisi seperti itulah, barangkali, yang
hendak diperjuangkan oleh para tokoh agama di negeri ini dengan mencoba
melontarkan kritik tajam terhadap pemerintahan sekarang ini, dengan istilah
kasar “melakukan kebohongan” – sebuah upaya untuk mengembalikan sistem nilai
kejujuran sebagai panduan moral dalam mengelola bangsa ini. Sebab seharusnya
kita menyadari bahwa tanpa desakan dan campur tangan para figur yang menjunjung
tinggi nilai-nilai moral agama itu untuk mengingatkan para penyelenggara
negara, maka bangsa ini akan semakin mengalami demoralisasi publik sebagai konsekwensi
dari jebakan kekuasaan politik yang sangat mapan.
Namun persoalannya, mungkin lantaran tidak
semua tokoh agama di negeri ini bisa bebas dari kepentingan politik,
sehingga pemerintah agak enggan (bahkan resisten) untuk menerimanya secara
tulus dan lapang dada.
0 komentar:
Post a Comment