Saya
akan melengkapi pembahasan mengenai demokrasi sebagai sistem dengan urgensi
membangun budaya politik. Lebih jauh lagi, saya mengusulkan masalah perubahan
budaya sebagai agenda perubahan dan perbaikan politik Indonesia ke depan.
Perubahan
politik tidak boleh berhenti hanya dalam dimensi perubahan struktur politik,
apalagi semata perubahan elit. Perubahan struktur, apalagi dalam tataran
formal, adalah perubahan yang dapat dengan cepat dilakukan. Perubahan elit juga
memiliki dimensi waktu yang dapat diprediksi. Namun, tanpa perubahan budaya,
kurva belajar perpolitikan Indonesia akan mandek.
Dalam
literatur ilmu politik, istilah "budaya politik" terutama mengacu
pada: orientasi politik, sikap terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya,
serta sikap terhadap peranan individu (diri kita sendiri) dalam sistem
tersebut. Pengertian budaya politik juga mengacu pada dua tingkat orientasi politik,
yaitu sistem dan individu.
Budaya
politik suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh struktur politik, sedangkan
daya operasional suatu struktur politik sangat ditentukan oleh konteks kultural
tempat struktur itu berada.
Saya
membaca blog teman saya Philips J. Vermonte¸ peneliti CSIS yang sedang menempuh
studi doktoral di Northern Illinois University, AS. Dalam salah satu
posting-nya yang membahas budaya politik Philips menjelaskan betapa dalam
bidang comparative politics, kajian budaya politik memang sempat tertinggal.
Padahal, di masa jaya bidang studi comparative politics tahun 1950-an dan
1960-an, penekanan kajiannya lebih banyak pada budaya politik. Agaknya karena
di masa-masa itu kajian comparative politics amat di dominasi paradigma
modernisasi, dimana persoalan budaya politik dianggap merupakan bagian inheren
dari proyek modernisasi.
Menurut
Philips, kajian budaya politik kemudian ditinggalkan karena beberapa sebab.
Sebab pertama, konsep budaya politik terlalu abstrak. Persoalan yang ditimbulkan
dari abstraknya konsep budaya politik ini antara lain adalah persoalan
menentukan unit analisa. Atribut budaya politik harus diasosiasikan pada level
mana: kultur individu, kelompok atau negara? Jika pada tingkatan individu,
apakah dia bisa digeneralisasi? Jika pada level negara, apakah dia mencerminkan
individu? Apabila diletakkan dalam konteks kelompok (etnis atau religius,
misalnya), bagaimana menjelaskan variasi kultur kelompok yang satu dengan yang
lainnya? Persoalan kedua yang ditimbulkan karena sifatnya yang terlalu abstrak
adalah variabel budaya sering diperlakukan sebagai variabel residu. Artinya,
variabel kultur menjadi the last resort, kalau variabel lain tidak mampu
menjelaskan sebuah fenomena. Alias, jika sudah mentok dan otak sudah malas berpikir,
tinggal bilang: "yah, memang sudah budayanya begitu."
Sebab
kedua ia ditinggalkan adalah karena budaya politik selalu dikaitkan dengan
political correctness. Artinya, budaya politik cenderung dijadikan alat untuk
menyalahkan keadaan. Misalnya, bila sebuah masyarakat gagal membangun
demokrasi, maka budaya dijadikan kambing hitam latar belakang gagalnya
demokrasi itu.
Philips
kemudian menjelaskan bahwa sejak tahun 1990-an, kajian budaya politik kembali
mendapat perhatian dari para comparativists. Ada beberapa penyebabnya,
diantaranya adalah mulai tersedianya data set global mengenai budaya, seperti
data dari World Value Survey. Tersedianya data set ini memungkinkan budaya
politik dikaji secara lebih saintifik dengan dukungan data empirik. Sehingga, kajian
budaya politik tidak lagi menjadi kajian yang vague dan abstrak.
Dari
ranah pembahasan akademik di atas, saya ingin membawanya ke dalam ranah praktis
politik di Indonesia. Pertanyaannya: Mengapa budaya? Dalam
kesempatan ini saya menggunakan sebuah analogi: budaya adalah adalah kotak
perkakas (toolbox) yang dimiliki oleh sebuah masyarakat untuk menyelesaikan
masalah. Jika ingin memasang paku kita menggunakan palu, jika ingin memasang
sekerup kita menggunakan obeng. Semua perkakas itu ada di dalam toolbox kita.
Kesatuan instrumen pemecahan masalah dalam suatu kelompok atau masyarakat
inilah yang saya tempatkan sebagai budaya.
Dalam
konteks politik, kita tentu menginginkan agar kotak itu berisi perkakas yang
sesuai dengan kebutuhan dan kepercayaan kita. Kita ingin agar kotak itu berisi
instrumen yang sejalan dengan nilai-nilai demokrasi. Sebaliknya, kita tidak
menginginkan instrumen tersebut berwujud paternalisme, kekerasan, politik uang,
atau nilai-nilai lain yang tidak sesuai dengan hakikat kemanusiaan dan
demokrasi.
Jika
kita merunut sejarah politik, kita dapat membandingkan isi kotak perkakas
bangsa dalam menyelesaikan permasalahannya. Dulu, pada masa kerajaan nusantara,
paternalisme, atau bahkan feodalisme, adalah perkakas yang efektif, karena
hubungan pemimpin dan rakyat ditundukkan di bawah klaim-klaim irasional,
seperti keturunan hingga wakil Tuhan. Di masa yang lain, kita menyaksikan
koersi dan hegemoni menjadi perangkat politik yang beroperasi dalam menyelesaikan
masalah politik.
Perjalanan
waktu membuktikan bahwa instrumen-instrumen tersebut, dalam contoh ini saya
pilih paternalisme dan kekerasan, bukan saja secara normatif absolut kedua hal
tersebut buruk, karena mensubordinasikan kemanusiaan yang hakiki, namun juga
terbukti tidak mampu menyelesaikan masalah di dalam masyarakat.
Masalah-masalah
yang dihadapi Indonesia kontemporer sudah berkembang menjadi begitu kompleks
dan tidak bisa diselesaikan dengan perkakas-perkakas lama. Masalah keragaman bangsa
kita, misalnya, tidak bisa diselesaikan dengan koersi dan kekerasan, sementara
paternalism dan budaya oligarkis terbukti menghasilkan ketimpangan dan sumbatan
aspirasi.
Seringkali
kita terjebak dalam sikap "taken for granted" ketika berhadapan dengan
budaya politik. Dalam menghadapi korupsi dan ketidakefektifan birokrasi,
misalnya, dengan cepat kita menuding budaya. Persis seperti yang diuraikan
Philips tentang budaya sebagai "variabel residu" ketika menjelaskan
suatu fenomena politik.
Budaya,
yang kita ambil dari kata dalam bahasa Sanskerta, memiliki dua elemen penting,
yaitu "budi" (akal) dan "daya" (kemampuan melakukan
tindakan). Jadi, bisa kita simpulkan bahwa, budaya demokrasi adalah hasil dari
suatu proses dimana setiap manusia memiliki pemikiran dan kemampuan melakukan
tindakan politik yang didasarkan pada penghargaan terhadap persamaan hak,
kebebasan, keteraturan bersama dan keragaman.
Budaya
demokrasi akan memungkinkan semua orang berkontribusi menjaga kelangsungan
hidup sistem. Dalam mengkaji dan mengembangkan budaya demokrasi, kita harus
memasukan unsur kearifan lokal tempat demokrasi tersebut berkembang. Kita
mencatat betapa para bapak bangsa kita, Bung Karno, Bung Hatta, Natsir,
Sjahrir, Tan Malaka, begitu intens mendialogkan narasi-narasi besar universal
dengan kondisi dan konteks lokal. Persentuhan mereka dengan filsafat politik
Barat, dan perenungan atas kondisi bangsa yang terjajah, tidak saja melahirkan
gerakan nasionalisme yang bermuara perjuangan kemerdekaan, namun juga merupakan
manuskrip filsafat politik yang berharga dari sisi intelektual.
Satu
hal yang bisa dibaca dari berbagai studi penelusuran terminologi demokrasi
adalah bahwa ia tumbuh sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat.
Semakin tinggi tingkat kompleksitas masyarakat, maka akan semakin kompleks pula
demokrasi didefinisikan.
Penelusuran
lebih jauh mengenai budaya demokrasi akan membimbing kita untuk menemukan model
demokrasi yang sejalan dengan cara pandang dunia dan kearifan bangsa Indonesia.
Dengan demikian tidak akan ada lagi resistensi atau penolakan terhadap
demokrasi, karena demokrasi dianggap sebagai satu gagasan yang berasal dari
"Barat."
0 komentar:
Post a Comment