Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Thursday, February 9, 2012

Wakil Rakyat Tanpa Mandat dan Perbaikan Sistemik

Pemilu legislatif 2009 lalu boleh dikatakan telah menoreh sejarah baru dalam prinsip keterwakilan suara pemilih.  Penggunaan metode suara terbanyak telah menggeser mekanisme proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka.  Dalam sistem ini nomor urut tidak lagi menjadi variabel penentu.  Caleg dengan perolehan suara terbanyak adalah yang memiliki hak untuk mendapat sebuah kursi.
Prosedur yang lebih demokratis, sayangnya tidak selalu menjamin kualitas yang lebih baik.  Pada perjalanannya, tingkat kepercayaan pemilih pada wakilnya juga ditentukan oleh variabel pencapaian kinerja.  Terbukti dari terus merosotnya tingkat kepercayaan publik dalam survei-survei  persepsi publik.
Hal ini bisa dibaca dalam phone survey persepsi publik yang dilakukan oleh Charta Politika Indonesia pada bulan September lalu di 8 kota besar.  Hanya 24,8% responden yang setuju bahwa DPR sekarang lebih baik dibanding dengan DPR sebelumnya.  Berbanding terbalik dengan mayoritas 55,8% responden yang menyatakan anggota DPR sekarang lebih dikenal dibanding dengan DPR sebelumnya.
Hasil ini berbanding terbalik dengan pepatah yang mengatakan “tak kenal maka tak sayang”.  Ternyata tingkat pengenalan masyarakat terhadap anggota DPR ini tidak langsung berkorelasi dengan persepsi yang baik.  Masyarakat cenderung lebih menilai dari apa yang telah dicapai oleh DPR baik secara individu ataupun lembaga.
Secara lebih spesifik, responden juga menilai negatif usulan-usulan yang diajukan oleh DPR periode ini.  80, 5% responden menyatakan tidak setuju terhadap pembangunan gedung baru yang direncanakan.  Begitu pula dalam hal kunjungan studi banding ke luar negeri, 61,7% menyatakan program ini tidak perlu dijalankan.
Yang paling menyedihkan adalah rendahnya apresiasi dari responden terhadap kinerja DPR dalam menjalankan tiga fungsinya.  Hanya 22,4% responden yang menyatakan bahwa DPR sudah menjalankan fungsi legislasi dengan baik.  Sementara untuk fungsi anggaran dan pengawasan masing-masing hanya diapresiasi secara baik oleh 22,8% dan 29% responden.
Secara umum hasil ini berbanding lurus dengan hasil survei Lembaga Survei Indonesia pada bulan mei 2010.  Dalam survei ini, responden menempatkan DPR jauh dibawah lembaga eksekutif dalam konteks penilaian kinerja lembaga negara.  Sebuah kenyataan yang seharusnya mengundang sebuah pertanyaan: “apakah anggota DPR masih memiliki mandat dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat?”
Berkaca pada situasi ini, perbaikan secara sistemik sepertinya menjadi keharusan yang tidak bisa ditawar lagi.  Sistemik bukan hanya terbatas pada DPR secara kelembagaan, akan tetapi juga aktor-aktor yang berkaitan dengannya.  Dalam hal ini tentu saja berkaitan dengan sistem pemilu dan kepartaian yang menentukan kualitas siapa yang duduk di DPR tersebut.
Yang pertama tentu saja perlunya reformasi kelembagaan DPR secara internal.  Salah satunya adalah penguatan badan legislasi (Baleg) yang selama ini sering disorot kinerjanya.  Alangkah baiknya kalau anggota Baleg tidak merangkap sebagai anggota komisi-komisi.  Terlalu banyaknya jumlah anggota komisi juga selama ini malah berbuah tidak efektif dalam pelaksanaan kerjanya.
Proses reformasi juga harus terjadi di Sekretariat Jenderal  (Setjen).  Selama ini tenaga di Setjen ini lebih banyak diisi orang-orang yang mengurus administrasi.  Akan lebih optimal apabila Setjen diisi oleh tenaga profesional yang berhubungan dengan tiga fungsi DPR.
 Yang tidak kalah penting tentu saja penguatan Badan Kehormatan (BK)untuk menjaga kredibilitas dari anggota dan lembaga tersebut.  Selama ini BK cenderung “mandul” dalam melakukan penindakan terhadap laporan-laporan yang masuk.  Penguatan bisa dilakukan dengan melakukan perekrutan orang luar baik secara permanen ataupun dalam proses penanganan laporan.
 Kedua berkaitan dengan sistem pemilu.  Satu hal yang terpenting adalah variabel ParliamentaryThreshold (PT).  Angka PT yang lebih besar (saat ini 2,5 %) diharapkan dapat memperkecil jumlah  fraksi di dalam parlemen.  Jumlah fraksi yang lebih sedikit ini diharapkan bisa mempersempit ruang gerak konstelasi liar politik di dalam tubuh DPR.  Kondisi ini diharapkan juga berpengaruh bagi proses kinerja semua alat kelengkapan.
 Selain itu proses penentuan dapil dan besaran kursi didalamnya tentu saja akan memiliki arti tersendiri.  Diperlukan sebuah rumusan yang akan memperkecil jarak antara anggota legislatif terpilih dengan basis pemilih di daerah tersebut.
Yang terakhir berkaitan dengan reformasi internal partai. Dua masalah utama yang harus diperbaiki diantaranya adalah; proses penyusunan daftar caleg dan mekanisme recall.  Hal ini bisa diselesaikan dengan satu variabel yang dikenal dalam ilmu manajemen; penggunaan sistem Key Performance Indicator (KPI). 
 Dalam penentuan caleg, penggunaan KPI akan berfungsi sebagai seleksi objektif dari calon sekaligus instrumen transparansi kepada publik.  Seorang calon akan dinilai berdasarkan pencapaian kontribusi terhadap darah pemilihan yang disasar. Dengan standar ini, kualitas seorang calon di mata pemilih akan menjadi variabel yang paling utama.
 Sementara itu, mekanisme recall juga harus dimanfaatkan sebagai alat kontrol dari kinerja anggota yang sudah duduk di parlemen.  Hal ini minimal akan efektif menghalangi anggota DPR melakukan tindakan kontroversial seperti bolos kerja ataupun kunjungan ke luar negeri. 
 Agar efektif, ide-ide normatif ini tentu saja tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus berdialektika dengan political will para pembuat keputusan. Sebuah dialektika yang bisa membantah “pesimisme” yang pernah dilontarkan oleh seorang Giovanni Sartori: ” ….the problems of presidentialism are not in the executive arena but in the legislative arena.” Semoga!

Wakil Rakyat Tanpa Mandat dan Perbaikan Sistemik Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment