Pemilu legislatif
2009 lalu boleh dikatakan telah menoreh sejarah baru dalam prinsip keterwakilan
suara pemilih. Penggunaan metode suara terbanyak telah menggeser
mekanisme proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka. Dalam
sistem ini nomor urut tidak lagi menjadi variabel penentu. Caleg dengan
perolehan suara terbanyak adalah yang memiliki hak untuk mendapat sebuah kursi.
Prosedur yang lebih
demokratis, sayangnya tidak selalu menjamin kualitas yang lebih baik.
Pada perjalanannya, tingkat kepercayaan pemilih pada wakilnya juga ditentukan
oleh variabel pencapaian kinerja. Terbukti dari terus merosotnya tingkat
kepercayaan publik dalam survei-survei persepsi publik.
Hal ini bisa dibaca
dalam phone survey persepsi publik yang dilakukan oleh
Charta Politika Indonesia pada bulan September lalu di 8 kota besar.
Hanya 24,8% responden yang setuju bahwa DPR sekarang lebih baik dibanding
dengan DPR sebelumnya. Berbanding terbalik dengan mayoritas 55,8%
responden yang menyatakan anggota DPR sekarang lebih dikenal dibanding dengan
DPR sebelumnya.
Hasil ini berbanding
terbalik dengan pepatah yang mengatakan “tak kenal maka tak sayang”.
Ternyata tingkat pengenalan masyarakat terhadap anggota DPR ini tidak langsung
berkorelasi dengan persepsi yang baik. Masyarakat cenderung lebih menilai
dari apa yang telah dicapai oleh DPR baik secara individu ataupun lembaga.
Secara lebih
spesifik, responden juga menilai negatif usulan-usulan yang diajukan oleh DPR
periode ini. 80, 5% responden menyatakan tidak setuju terhadap
pembangunan gedung baru yang direncanakan. Begitu pula dalam hal
kunjungan studi banding ke luar negeri, 61,7% menyatakan program ini tidak
perlu dijalankan.
Yang paling
menyedihkan adalah rendahnya apresiasi dari responden terhadap kinerja DPR
dalam menjalankan tiga fungsinya. Hanya 22,4% responden yang menyatakan
bahwa DPR sudah menjalankan fungsi legislasi dengan baik. Sementara untuk
fungsi anggaran dan pengawasan masing-masing hanya diapresiasi secara baik oleh
22,8% dan 29% responden.
Secara umum hasil
ini berbanding lurus dengan hasil survei Lembaga Survei Indonesia pada bulan
mei 2010. Dalam survei ini, responden menempatkan DPR jauh dibawah
lembaga eksekutif dalam konteks penilaian kinerja lembaga negara. Sebuah
kenyataan yang seharusnya mengundang sebuah pertanyaan: “apakah anggota DPR
masih memiliki mandat dalam menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat?”
Berkaca pada situasi
ini, perbaikan secara sistemik sepertinya menjadi keharusan yang tidak bisa
ditawar lagi. Sistemik bukan hanya terbatas pada DPR secara kelembagaan,
akan tetapi juga aktor-aktor yang berkaitan dengannya. Dalam hal ini
tentu saja berkaitan dengan sistem pemilu dan kepartaian yang menentukan
kualitas siapa yang duduk di DPR tersebut.
Yang pertama tentu
saja perlunya reformasi kelembagaan DPR secara internal. Salah satunya
adalah penguatan badan legislasi (Baleg) yang selama ini sering disorot
kinerjanya. Alangkah baiknya kalau anggota Baleg tidak merangkap sebagai
anggota komisi-komisi. Terlalu banyaknya jumlah anggota komisi juga
selama ini malah berbuah tidak efektif dalam pelaksanaan kerjanya.
Proses reformasi
juga harus terjadi di Sekretariat Jenderal (Setjen). Selama ini
tenaga di Setjen ini lebih banyak diisi orang-orang yang
mengurus administrasi. Akan lebih optimal apabila Setjen diisi oleh
tenaga profesional yang berhubungan dengan tiga fungsi DPR.
Yang tidak
kalah penting tentu saja penguatan Badan Kehormatan (BK)untuk menjaga
kredibilitas dari anggota dan lembaga tersebut. Selama ini BK cenderung
“mandul” dalam melakukan penindakan terhadap laporan-laporan yang masuk.
Penguatan bisa dilakukan dengan melakukan perekrutan orang luar baik secara
permanen ataupun dalam proses penanganan laporan.
Kedua
berkaitan dengan sistem pemilu. Satu hal yang terpenting adalah variabel ParliamentaryThreshold (PT). Angka PT yang lebih besar
(saat ini 2,5 %) diharapkan dapat memperkecil jumlah fraksi di dalam
parlemen. Jumlah fraksi yang lebih sedikit ini diharapkan bisa mempersempit
ruang gerak konstelasi liar politik di dalam tubuh DPR. Kondisi ini
diharapkan juga berpengaruh bagi proses kinerja semua alat kelengkapan.
Selain itu
proses penentuan dapil dan besaran kursi didalamnya tentu saja akan memiliki
arti tersendiri. Diperlukan sebuah rumusan yang akan memperkecil jarak
antara anggota legislatif terpilih dengan basis pemilih di daerah tersebut.
Yang terakhir
berkaitan dengan reformasi internal partai. Dua masalah utama yang harus
diperbaiki diantaranya adalah; proses penyusunan daftar caleg dan mekanisme recall.
Hal ini bisa diselesaikan dengan satu variabel yang dikenal dalam ilmu
manajemen; penggunaan sistem Key Performance Indicator (KPI).
Dalam
penentuan caleg, penggunaan KPI akan berfungsi sebagai seleksi objektif dari
calon sekaligus instrumen transparansi kepada publik. Seorang calon akan
dinilai berdasarkan pencapaian kontribusi terhadap darah pemilihan yang
disasar. Dengan standar ini, kualitas seorang calon di mata pemilih akan
menjadi variabel yang paling utama.
Sementara itu,
mekanisme recall juga harus dimanfaatkan sebagai alat
kontrol dari kinerja anggota yang sudah duduk di parlemen. Hal ini
minimal akan efektif menghalangi anggota DPR melakukan tindakan kontroversial
seperti bolos kerja ataupun kunjungan ke luar negeri.
Agar efektif,
ide-ide normatif ini tentu saja tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus
berdialektika dengan political
will para pembuat
keputusan. Sebuah dialektika yang bisa membantah “pesimisme” yang pernah
dilontarkan oleh seorang Giovanni Sartori: ” ….the problems of presidentialism are not in the executive
arena but in the legislative arena.” Semoga!
0 komentar:
Post a Comment