Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Wednesday, June 13, 2012

Menakar Korupsi di Indonesia

Ternyata pengalaman pernah bekerja sebagai asisten tenaga ahli fraksi, tenaga ahli fraksi dan terakhir sebagai tenaga ahli anggota DPR RI, dan berkantor selama 9 tahun di Gedung Nusantara I sungguh bermanfaat. Setidaknya ketika hari ini masyarakat Indonesia menyaksikan bagaimana drama rapat paripurna DPR RI akhirnya memutuskan menolak penggunaan hak angket dewan untuk menyelidiki mafia pajak. Dengan selisih yang fantastis, 2 suara saja; 264 orang anggota setuju dan 266 orang anggota menolak, partai-partai pendukung Pemerintah seperti bernafas lega. Seolah baru keluar dari ruang sempit yang menyesakkan.
Beberapa Istilah
Ada hal yang perlu disamakan lebih dulu, yaitu pemahaman tentang istilah Mafia dan Pajak. Bagi orang awam, begitu disebutkan kata mafia, mungkin yang tergambar adalah film-film Triad Hongkong atau Al Capone-nya Amerika yang lekat dengan aksi-aksi brutalnya. Dan bila disebutkan kata Pajak, yang tergambar adalah Pajak Bumi dan Bangunan, atau paling banter Pajak Kenderaan Bermotor yang masing-masing harus dibayar setiap tahun.
Merriam-Webster Dictionary mendefinisikan kata mafia sebagai sebuah masyarakat kriminal yang bersifat rahasia dan terdapat di Sisilia (Italia). Konon kata ini pertamakali digunakan pada tahun 1875 dan berasal dari kata mafiusu. Sementara Learners Dictionary, selain memberikan definisi akar kata,  menghubungkan frasa ini dengan sekelompok orang erat hubungannya dan memiliki pengaruh dan kekuatan besar dalam suatu bidang tertentu atau bisnis.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Mafia adalah kelompok orang yang bergerak di bidang kejahatan karena melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang untuk memperoleh keuntungan yang besar. Kata yang berasal dari bahasa Italia ini juga mengandung makna kiasan sebagai perbuatan melanggar hukum. Semantara Pajak didefinisikan sebagai belasting, bea, cukai; pungutan yang dikenakan kepada rakyat sebagai iuran wajib untuk Negara dari pendapat seseorang atau dari barang yang diperdagangkan. (Badudu-Zain, 1996).
Meski beberapa definisi di atas masih relevan, namun Mafia Pajak yang sedang hangat dibincangkan hari ini lebih tepat bila didekati dengan apa yang dipahami dan dikenal dengan Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN). Pajak yang dimaksud lebih pada tataran persoalan penerimaan negara.
Sama seperti sebuah keluarga, atau warung, bahkan pedagang kelontong, negara pun butuh keberlangsungan. Hal utama yang harus diperhatikan bagi keberlangsungan keluarga, warung atau dagangan adalah pemasukan dan pengeluaran keuanganya. Dalam istilah negara hal ini diatur dalam apa yang disebut sebagai APBN. Pemasukan disebut sebagai Pendapatan dan Pengeluaran diberi istilah Belanja.
Landasan Hukum
Memang, dasar Hukum tentang APBN itu telah diatur dalam UUD 1945, khususnya pada Bab VIII Hal Keuangan Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3). Menurut amanat UUD 1945 –pada perubahan ketiga, pengelolaan Keuangan Negara perlu dilaksanakan secara profesional, terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang diwujudkan dalam APBN. (Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, 2009).
Selanjutnya, amanah Konstitusi di atas dijabarkan dalam aturan yang lebih spesifik berupa undang-undang. Dan khusus tentang APBN terdapat sekurang-kurangnya 3 undang-undang yang terkait, yaitu: UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menjadi  payungnya, UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara danUU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Ketiga undang-undang ini merupakan satu paket yang utuh dan sinergis, dan diharapkan mampu mewujudkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan Keuangan Negara. Berdasar atas hal itu, lahirlah APBN melalui undang-undnag spesifik untuk itu. Begitu pun kemungkinan perubahan atasnya.
Format APBN Indonesia dibagi atas 2 bagian utama, yaitu: Pertama, Pendapatan Negara. Pendapatan Negara merupakan sumber utama untuk membiayai belanja Negara. Pendapatan Negara meliputi Penerimaan Dalam Negeri yang terdiri atas Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Penerimaan Hibah berupa sumbangan atau donasi [grant] dari Negara-negara asing, lembaga/badan internasional, lembaga/badan nasional serta perorangan yang tidak ada kewajiban untuk membayar kembali. Kedua, Belanja Negara. Belanja Negara menurut jenismya dibedakan antara Belanja Pemerintah Pusat (Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal, Pembayaran Bunga Utang, Subsidi, Belanja Hibah, Bantuan Sosial, dan Belanja Lainnya) dan Belanja untuk (ke) Daerah berupa Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. (Sekjen DPR RI, 2007).
Dari paparan catatan di atas, logika sederhana yang bisa menjawab sekaligus,kenapa sebuah keluarga tetap utuh secara eekonomi dan tidak jatuh miskin? Kenapa warung masih bisa tetap beroperasi? Dan Mengapa pedagang masih bisa terus berdagang? Jawabnya karena ada selisih positif antara pemasukan dengan pengeluaran, sehingga keluarga masih bisa menabung, warung tetap bisa buka dan pedagang menyebutnya sebagai keuntungan yang akan diputar. Dan kenyataannya negera ini tetap utuh dan tidak bangkrut, hal ini juga berarti bahwa jumlah pemasukan (Pendapatan) yang diterima oleh negara lebih besar dari jumlah pengeluarannya (Belanja)
Korupsi Hari Ini
Data yang dilansir berbagai media menyebutkan bahwa hingga saat ini jumlah kasus korupsi yang terjadi di daerah tidak kurang dari 155 kasus. Jumlah itu di luar dari kasus yang melibatkan pejabat dan mantan pejabat. Tapi, satu hal hari ini yang tampaknya kurang disadari, bahwa korupsi itu terjadi dari sisi pengeluaran alias Belanja Negara. Sementara korupsi di sektor hulu, penerimaan alias Pendapatan Negara nyaris tak tersentuh. Kalau hari ini Indonesia tetap eksis (dan memang eksis), itu berarti bahwa Pendapatan Negara pastilah lebih besar dari Belanja Negara. Sementara korupsi yang hari ini telah dan sedang ditangani oleh pihak yang berwenang hampir seluruhnya di sektor hilir alias Belanja Negara. Di sinilah sesungguhnya arti penting pembentukan panitia angket mafia pajak DPR yang ditolak itu. Pertanyaannya kenapa begitu banyak fraksi/anggota yang menolak menggunakan Hak Angket Dewan untuk membongkar Mafia Pajak?
Banyak spekulasi berkembang. Tetapi yang paling atraktif adalah Partai Demokrat, partai di mana SBY menjadi Ketua Dewan Pembinanya. Banyak alasan yang diajukan sebagai dasar keberatan itu. Misalnya, ”serahkan saja persoalan korupsi pada pihak atau lembaga yang berwenang, KPK, Polisi atau Kejaksaan”. Atau ”Kita tidak perlu mencampuri proses hukum”, atau ”jangan jadikan DPR ini tempat bermain politik praktis”, dan bermacam argumentasi lain. Tujuannya, satu saja, gagalkan pembentukkan Hak Angket DPR. Dan ini, dikawal sungguh-sungguh.  
Bagi mereka yang aga sedikit teliti. Sesungguhnya langkah anggota/ fraksi DPR yang menolak Hak Angket Mafia Pajak patut mengundang pertanyaan serius. Ada ada ini? Ada pepatah kuna dari negeri Melayu, ”Kalau tiada ada berada Mana tempuah bersarang rendah”.  Mungkin hal ini bisa membantu memecahkan persoalan ini.
Kalau pengakuan Gayus Tambunan bahwa ia hanyalah Ikan Teri dalam kasus pajak yang ditanganinya, bagaimana Ikan Kakap bahkan Ikan Hiu-nya? Sekali lagi di sini arti penting DPR menggunakan haknya. Apakah ini tidak berarti mencampuri proses hukum yang sedang berlangsung? Tidak. Proses politik yang dilakukan oleh DPR bisa dilakukan bersamaan dengan proses hukum. Ini dua hal yang berbeda, yang pertama adalah constitutional process sementara yang lain adalah criminal process. Dari sisi tinjauan hukum, kedua hal ini bisa [pernah] dilakukan bersama-sama.
Memang, sudah lama perhatian kita pada sektor Hulu, sisi penerimaan negara (Pendapatan) luput. Padahal, sektor ini lebih besar nilainya dari akumulasi seluruh kasus korupsi yang terjadi di sektor hilir, sisi pengeluaran (Belanja) Negara. Tetapi, ada saja sekelompok orang –bahkan kekuasaan, yang enggan bahkan berkeberatan dengan penyelidikan menyeluruh atas sumber pendapatan terbesar bagi negara ini.
Tampaknya ungkapan ”jangan-jangan, ada udang di balik batu?” menjadi sesuatu yang patut kita perhatian. Mudah-mudahan kita masih mau mengambil pelajaran dari kesemrawutan persoalan mafia pajak ini.

Menakar Korupsi di Indonesia Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

1 komentar:

  1. Wah klo ngomongin masalah korupsi di negara kita rasany takkan kehabisan bahan. Banyak koruptor yang ketangkep ternyata tetangga kita sendiri, banyak yang antri untuk di adili kayak sedang antri sembako. Sungguh ironis

    salam kenal gan,
    makasih

    ReplyDelete