Ternyata
pengalaman pernah bekerja sebagai asisten tenaga ahli fraksi, tenaga ahli
fraksi dan terakhir sebagai tenaga ahli anggota DPR RI, dan berkantor selama 9
tahun di Gedung Nusantara I sungguh bermanfaat. Setidaknya ketika hari ini
masyarakat Indonesia menyaksikan bagaimana drama rapat paripurna DPR RI
akhirnya memutuskan menolak penggunaan hak angket dewan untuk menyelidiki mafia
pajak. Dengan selisih yang fantastis, 2 suara saja; 264 orang anggota setuju
dan 266 orang anggota menolak, partai-partai pendukung Pemerintah seperti
bernafas lega. Seolah baru keluar dari ruang sempit yang menyesakkan.
Beberapa Istilah
Ada hal yang
perlu disamakan lebih dulu, yaitu pemahaman tentang istilah Mafia dan Pajak.
Bagi orang awam, begitu disebutkan kata mafia, mungkin yang tergambar adalah
film-film Triad Hongkong atau Al Capone-nya Amerika yang lekat
dengan aksi-aksi brutalnya. Dan bila disebutkan kata Pajak, yang tergambar
adalah Pajak Bumi dan Bangunan, atau paling banter Pajak Kenderaan
Bermotor yang masing-masing harus dibayar setiap tahun.
Merriam-Webster
Dictionary mendefinisikan kata mafia sebagai sebuah masyarakat kriminal
yang bersifat rahasia dan terdapat di Sisilia (Italia). Konon kata ini
pertamakali digunakan pada tahun 1875 dan berasal dari kata mafiusu.
Sementara Learners Dictionary, selain memberikan definisi akar kata,
menghubungkan frasa ini dengan sekelompok orang erat hubungannya dan memiliki
pengaruh dan kekuatan besar dalam suatu bidang tertentu atau bisnis.
Menurut Kamus
Umum Bahasa Indonesia, Mafia adalah kelompok orang yang bergerak di
bidang kejahatan karena melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang untuk
memperoleh keuntungan yang besar. Kata yang berasal dari bahasa Italia ini juga
mengandung makna kiasan sebagai perbuatan melanggar hukum. Semantara Pajak didefinisikan
sebagai belasting, bea, cukai; pungutan yang dikenakan kepada rakyat
sebagai iuran wajib untuk Negara dari pendapat seseorang atau dari barang yang
diperdagangkan. (Badudu-Zain, 1996).
Meski beberapa
definisi di atas masih relevan, namun Mafia Pajak yang sedang hangat
dibincangkan hari ini lebih tepat bila didekati dengan apa yang dipahami dan
dikenal dengan Anggaran Pendapat dan Belanja Negara (APBN). Pajak yang dimaksud
lebih pada tataran persoalan penerimaan negara.
Sama seperti
sebuah keluarga, atau warung, bahkan pedagang kelontong, negara pun butuh
keberlangsungan. Hal utama yang harus diperhatikan bagi keberlangsungan
keluarga, warung atau dagangan adalah pemasukan dan pengeluaran keuanganya.
Dalam istilah negara hal ini diatur dalam apa yang disebut sebagai APBN.
Pemasukan disebut sebagai Pendapatan dan Pengeluaran diberi istilah Belanja.
Landasan Hukum
Memang, dasar
Hukum tentang APBN itu telah diatur dalam UUD 1945, khususnya pada Bab VIII Hal
Keuangan Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3). Menurut amanat UUD 1945 –pada
perubahan ketiga, pengelolaan Keuangan Negara perlu dilaksanakan secara
profesional, terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat yang diwujudkan dalam APBN. (Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, 2009).
Selanjutnya,
amanah Konstitusi di atas dijabarkan dalam aturan yang lebih spesifik berupa
undang-undang. Dan khusus tentang APBN terdapat sekurang-kurangnya 3
undang-undang yang terkait, yaitu: UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
yang menjadi payungnya, UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
danUU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara. Ketiga undang-undang ini merupakan satu paket yang utuh dan
sinergis, dan diharapkan mampu mewujudkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan
Keuangan Negara. Berdasar atas hal itu, lahirlah APBN melalui undang-undnag
spesifik untuk itu. Begitu pun kemungkinan perubahan atasnya.
Format APBN
Indonesia dibagi atas 2 bagian utama, yaitu: Pertama, Pendapatan Negara.
Pendapatan Negara merupakan sumber utama untuk membiayai belanja Negara.
Pendapatan Negara meliputi Penerimaan Dalam Negeri yang terdiri atas Penerimaan
Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Penerimaan Hibah berupa
sumbangan atau donasi [grant] dari Negara-negara asing, lembaga/badan
internasional, lembaga/badan nasional serta perorangan yang tidak ada kewajiban
untuk membayar kembali. Kedua, Belanja Negara. Belanja Negara menurut
jenismya dibedakan antara Belanja Pemerintah Pusat (Belanja Pegawai, Belanja
Barang, Belanja Modal, Pembayaran Bunga Utang, Subsidi, Belanja Hibah, Bantuan
Sosial, dan Belanja Lainnya) dan Belanja untuk (ke) Daerah berupa Dana
Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. (Sekjen DPR RI, 2007).
Dari paparan
catatan di atas, logika sederhana yang bisa menjawab sekaligus,kenapa sebuah
keluarga tetap utuh secara eekonomi dan tidak jatuh miskin? Kenapa warung masih
bisa tetap beroperasi? Dan Mengapa pedagang masih bisa terus berdagang?
Jawabnya karena ada selisih positif antara pemasukan dengan pengeluaran,
sehingga keluarga masih bisa menabung, warung tetap bisa buka dan pedagang
menyebutnya sebagai keuntungan yang akan diputar. Dan kenyataannya negera ini
tetap utuh dan tidak bangkrut, hal ini juga berarti bahwa jumlah pemasukan
(Pendapatan) yang diterima oleh negara lebih besar dari jumlah pengeluarannya
(Belanja)
Korupsi Hari Ini
Data yang
dilansir berbagai media menyebutkan bahwa hingga saat ini jumlah kasus korupsi
yang terjadi di daerah tidak kurang dari 155 kasus. Jumlah itu di luar dari
kasus yang melibatkan pejabat dan mantan pejabat. Tapi, satu hal hari ini yang
tampaknya kurang disadari, bahwa korupsi itu terjadi dari sisi pengeluaran alias Belanja
Negara. Sementara korupsi di sektor hulu, penerimaan alias Pendapatan
Negara nyaris tak tersentuh. Kalau hari ini Indonesia tetap eksis (dan memang
eksis), itu berarti bahwa Pendapatan Negara pastilah lebih besar dari Belanja
Negara. Sementara korupsi yang hari ini telah dan sedang ditangani oleh pihak
yang berwenang hampir seluruhnya di sektor hilir alias Belanja Negara. Di
sinilah sesungguhnya arti penting pembentukan panitia angket mafia pajak DPR
yang ditolak itu. Pertanyaannya kenapa begitu banyak fraksi/anggota yang
menolak menggunakan Hak Angket Dewan untuk membongkar Mafia Pajak?
Banyak spekulasi
berkembang. Tetapi yang paling atraktif adalah Partai Demokrat, partai di mana
SBY menjadi Ketua Dewan Pembinanya. Banyak alasan yang diajukan sebagai dasar
keberatan itu. Misalnya, ”serahkan saja persoalan korupsi pada pihak atau
lembaga yang berwenang, KPK, Polisi atau Kejaksaan”. Atau ”Kita tidak perlu
mencampuri proses hukum”, atau ”jangan jadikan DPR ini tempat bermain politik
praktis”, dan bermacam argumentasi lain. Tujuannya, satu saja, gagalkan
pembentukkan Hak Angket DPR. Dan ini, dikawal sungguh-sungguh.
Bagi mereka yang
aga sedikit teliti. Sesungguhnya langkah anggota/ fraksi DPR yang menolak Hak
Angket Mafia Pajak patut mengundang pertanyaan serius. Ada ada ini? Ada pepatah
kuna dari negeri Melayu, ”Kalau tiada ada berada Mana tempuah bersarang
rendah”. Mungkin hal ini bisa membantu memecahkan persoalan ini.
Kalau pengakuan
Gayus Tambunan bahwa ia hanyalah Ikan Teri dalam kasus pajak yang ditanganinya,
bagaimana Ikan Kakap bahkan Ikan Hiu-nya? Sekali lagi di sini arti penting DPR
menggunakan haknya. Apakah ini tidak berarti mencampuri proses hukum yang
sedang berlangsung? Tidak. Proses politik yang dilakukan oleh DPR bisa
dilakukan bersamaan dengan proses hukum. Ini dua hal yang berbeda, yang pertama
adalah constitutional process sementara yang lain adalah criminal process. Dari
sisi tinjauan hukum, kedua hal ini bisa [pernah] dilakukan bersama-sama.
Memang, sudah
lama perhatian kita pada sektor Hulu, sisi penerimaan negara (Pendapatan)
luput. Padahal, sektor ini lebih besar nilainya dari akumulasi seluruh kasus
korupsi yang terjadi di sektor hilir, sisi pengeluaran (Belanja) Negara.
Tetapi, ada saja sekelompok orang –bahkan kekuasaan, yang enggan bahkan
berkeberatan dengan penyelidikan menyeluruh atas sumber pendapatan terbesar
bagi negara ini.
Tampaknya
ungkapan ”jangan-jangan, ada udang di balik batu?” menjadi sesuatu yang patut kita
perhatian. Mudah-mudahan kita masih mau mengambil pelajaran dari kesemrawutan
persoalan mafia pajak ini.
Wah klo ngomongin masalah korupsi di negara kita rasany takkan kehabisan bahan. Banyak koruptor yang ketangkep ternyata tetangga kita sendiri, banyak yang antri untuk di adili kayak sedang antri sembako. Sungguh ironis
ReplyDeletesalam kenal gan,
makasih