Praktik demokrasi politik kita sesungguhnya
hampir mirip dengan kisah-kisah tokoh-tokoh komik. Artinya, komik memberi
peluang reflektif. Dalam tradisi demokrasi elektoral satu orang satu suara,
citra atau kekuatan tokoh itu penting, maka dalam menimbang pemimpin, ukuran
umumnya kewajaran dan kepantasan. Karena syarat untuk menjadi tokoh protagonis,
pertama-tama harus wajar dan pantas. Di komik juga demikian. Tokoh utama ialah
yang memang pantas dan otentik.
Wayang sering terlampau ekstrim
menggambarkannya secara fisikal. Misalnya, yang protagonis berdada bidang, yang
jahat bergigi taring. Tetapi, bukan berarti substansi terhilangkan. Karena
logikanya, simbol itu muara dari etika dan isi. Yang permukaan perwujudan dari
kedalaman. Semua sudah melalui proses panjang kreativitas para pujangga. Tapi
masih bisa terjadi pembalikan simbolik atau anomali, bahwa tidak semua raksasa
itu jahat. Tidak semua kstaria berkumpul di kubu politik Pandawa yang berhak
atas kekuasaan. Ada banyak ksatria pula di kubu Kurawa.
Kadang-kadang banyak absurditas yang kita
temui dalam kisah-kisah kepolitikan kita, seperti juga dalam komik-komik.
Tetapi, era kejayaan komik-komik Kosasih dan generasi sesudahnya, tampaknya
sudah sangat berlalu. Bahasa gambar yang mendominasi kebudayaan populer kita
sekarang ialah sinetron-sinetron alias opera-opera sabun yang lebih komikal dan
berpanjang-panjang. Absurditas-absurditas dalam opera sabun, kemudian diringkas
dalam rumus yang oleh sementara kalangan manjur diterapkan dalam alam demokrasi
elektoral, yakni semakin terkesan terdzalimi, semakin populer dan elektabel.
Bahasa gambar akhirnya sekedar mentok pada
sihir-sihir hipnotis, tanpa membuka peluang yang lapang bagi publik untuk
berpikir kritis. Bahasa gambar itu mempertontonkan adegan-adegan absurd
yang menyingkirkan kualifikasi dan proses. Rumah yang mentereng, mobil yang
bagus-bagus, konflik kaum elite yang tak menjangkau urusan nyata masyarakat,
jalan pintas pemecahan masalah, tampilan-tampilan hedonis dan boros, kata-kata
yang menggampangkan dan penuh dendam, merupakan catatan-catatan kecil kita
ketika menonton opera-opera sabun yang berbui-buih itu.
Demokrasi komikal kita penuh cerita, tetapi
sayangnya segera berujung pada hipnotis, bukan kekritisan, justru karena ia
diasingkan. Bagaimana mungkin kita bisa menikmati opera sabun dengan kritis,
manakala ia sengaja tidak memberikan tempat pada kritisisme? Di alam nyata,
demokrasi komikal kita banyak yang mengejawantah dalam ekspresi-ekspresi menyanjung
para patron masing-masing alias Asal Bapak Senang (ABS). Atau, wujud-wujud
turunan yang sekedar menyenangkan mitra kerja calon pejabat, apakah capres,
calon kepala daerah ataukah caleg, melalui laporan-laporan riset yang
menghipnotis.
Kalau semua saling menghipnotis, dengan
menyingkirkan stimulus-stimulus bagi hadirnya refleksi-refleksi kritis, maka
barangkali benar kata Umberto Eco di atas, peradaban demokrasi kita akan
kolaps. Yang menyelamatkan peradaban demokrasi kita, kalau begitu rasionalitas sebagai
dasar dari hadirnya sikap-sikap kritis. Selama bahasa-bahasa gambar itu tidak
menjadi reflektor, melainkan menghipnotis, demokrasi hanya akan menjadi
embel-embel bagi hadirnya tokoh yang tidak otentik, tokoh seolah-olah.***
mantap..
ReplyDeleteSepakat...............
ReplyDelete