“Wakil rakyat, bukan
paduan suara, hanya tau nyanyian lagu setuju” . Itulah sepenggal kalimat
dari lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” oleh Iwan Fals pada masa orde baru
berkuasa. Kalimat yang terasa pedas mengingat sistem politik saat itu
yang memposisikan legislatif hanya sebagai “pemberi stempel” kebijakan
presiden.
Entah
mengapa, lagu tersebut masih terasa sangat bermakna manakala kita dengarkan
saat ini. Kegundahan terhadap wakil rakyat masih terus terjadi, walaupun
dalam substansi yang berbeda. DPR sebagai perwujudan legislatif terbukti
belum berhasil beradaptasi dengan keinginan masyarakat seiring dengan
berjalannya waktu.
Tentu
masih segar dalam ingatan kita mengenai isu-isu kontroversial yang mengelilingi
lembaga ini. Sebut saja isu mengenai dana aspirasi, rumah aspirasi, studi
banding, “gedung-miring” dan isu-isu lain yang menuai banyak protes dari banyak
kalangan. Belum lagi bicara mengenai pansus century yang berhasil
menjadikan beberapa anggotanya menjadi selebritis.
Kondisi
ini menjadi sebuah ironi tersendiri berkaitan dengan proses demokratisasi yang
sedang kita jalankan. Seperti kita ketahui, proses demokratisasi sering
dikaitkan dengan berfungsinya lembaga legislatif. Berbeda dengan negara
otoriter yang cenderung memposisikan lembaga ini sebagai penyokong utama
kekuasaan lembaga eksekutif.
Sayangnya,
realita tidak selalu berjalan linier dengan harapan. Dalam perjalanannya,
DPR malah sering menjadi episentrum permasalahan negara ini. Tidak jarang
DPR malah terjebak dalam stagnasi konflik dengan pihak eksekutif ataupun dengan
masyarakat secara vertikal.
Secara mendasar
lembaga legislatif memiliki tiga fungsi; legislasi, anggaran, dan
pengawasan. Pelaksanaan ketiga fungsi tersebut akan menentukan kualitas
dari kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah. Ketiganya sama penting,
tergantung dari kebutuhan dari negara dan masyarakat didalamnya.
Dalam
kenyataannya, fungsi-fungsi ini seringkali terbengkalai, terutama dalam hal
legislasi. Seringkali ketiga fungsi ini malah terjebak dalam konstelasi
politik praktis antar aktor didalamnya. Yang paling mencolok tentu saja
fungsi pengawasan yang lebih sering digunakan dalam artian kompetisi antar
partai.
Khusus
mengenai legislasi, kegagalan pencapaian target sepertinya sudah menjadi sebuah
tradisi . DPR yang sekarang misalnya, sampai pertengahan November
kemarin, baru menyelesaikan 15 UU (undang-Undang) dari 70 UU yang ditargetkan
pada 2010. Sementara DPR 2004-2009 hanya berhasil merampungkan 186 dari 284
UU yang ditargetkan dan hanya 70 diantaranya yang berasal dari prolegnas.
Sementara
Fungsi anggaran masih lebih banyak didominasi oleh peran eksekutif dibanding
legislatif. Belum ada terobosan baru dalam penyusunan APBN yang berkaitan
dengan kebutuhan rakyat. Fungsi anggaran ini malah banyak dimanfaatkan
untuk usulan-usulan program yang cenderung kontroversial. Sebut saja ide
mengenai anggaran desa, dana aspirasi, dan rumah aspirasi yang lebih bernuansa
“kepentingan pragmatis” didalamnya.
Fungsi
pengawasan juga tidak kalah kontroversialnya. Kebanyakan anggota DPR
mengartikan fungsi ini dengan cara melakukan banyak kritik terhadap kebijakan
yang diambil pemerintah. Mereka sering menterjemahkan ini secara sempit
sebagai bentuk pernyataan-pernyataan kritis terhadap kebijakan pemerintah di
media massa.
Dalam
definisi seperti ini tentu saja fungsi pengawasan ini akan menjadi pilihan
paling menarik buat anggota DPR. Menarik karena mudah dilakukan dan
cenderung akan berpengaruh dalam pencitraan mereka, karena banyaknya sorotan
media. Hal ini bisa lihat dari bagaimana perilaku dan manuver
mereka pada saat berjalannya pansus century kemarin. Semakin
ironis, manakala DPR banyak melakukan kegiatan kontroversial yang
mengatasnamakan fungsi-fungsi ini.
Sebagai contoh
adalah kegiatan studi banding ke luar negeri dengan alasan peningkatan
kinerja di bidang legislasi. Terbukti bahwa anggaran besar yang dikeluarkan
belum bisa berbanding lurus dengan pencapaian baik secara kuantitas maupun
kualitas.
Alasan
sama juga dipakai dalam usulan mengenai dana aspirasi, rumah aspirasi, dan
gedung baru DPR. Usulan tersebut selalu dikaitkan dengan peningkatan
kinerja yang mereka bisa lakukan. Beruntung pada akhirnya usulan-usulan
ini bisa dimentahkan karena kerasnya penolakan dari masyarakat.
0 komentar:
Post a Comment