Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Thursday, February 9, 2012

Menggugat Wakil Rakyat

“Wakil rakyat, bukan paduan suara, hanya tau nyanyian lagu setuju” .  Itulah sepenggal kalimat dari lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” oleh Iwan Fals pada masa orde baru berkuasa.  Kalimat yang terasa pedas mengingat sistem politik saat itu yang memposisikan legislatif hanya sebagai “pemberi stempel” kebijakan presiden.
 Entah mengapa, lagu tersebut masih terasa sangat bermakna manakala kita dengarkan saat ini.  Kegundahan terhadap wakil rakyat masih terus terjadi, walaupun dalam substansi yang berbeda.  DPR sebagai perwujudan legislatif terbukti belum berhasil beradaptasi dengan keinginan masyarakat seiring dengan berjalannya waktu.
 Tentu masih segar dalam ingatan kita mengenai isu-isu kontroversial yang mengelilingi lembaga ini.  Sebut saja isu mengenai dana aspirasi, rumah aspirasi, studi banding, “gedung-miring” dan isu-isu lain yang menuai banyak protes dari banyak kalangan.   Belum lagi bicara mengenai pansus century yang berhasil menjadikan beberapa anggotanya menjadi selebritis.
 Kondisi ini menjadi sebuah ironi tersendiri berkaitan dengan proses demokratisasi yang sedang kita jalankan.  Seperti kita ketahui, proses demokratisasi sering dikaitkan dengan berfungsinya lembaga legislatif.  Berbeda dengan negara otoriter yang cenderung memposisikan lembaga ini sebagai penyokong utama kekuasaan lembaga eksekutif.
 Sayangnya, realita tidak selalu berjalan linier dengan harapan.  Dalam perjalanannya, DPR malah sering menjadi episentrum permasalahan negara ini.  Tidak jarang DPR malah terjebak dalam stagnasi konflik dengan pihak eksekutif ataupun dengan masyarakat secara vertikal. 
Secara mendasar lembaga legislatif memiliki tiga fungsi; legislasi, anggaran, dan pengawasan.  Pelaksanaan ketiga fungsi tersebut akan menentukan kualitas dari kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah.  Ketiganya sama penting, tergantung dari kebutuhan dari negara dan masyarakat didalamnya.
 Dalam kenyataannya, fungsi-fungsi ini seringkali terbengkalai, terutama dalam hal legislasi.  Seringkali ketiga fungsi ini malah terjebak dalam konstelasi politik praktis antar aktor didalamnya.  Yang paling mencolok tentu saja fungsi pengawasan yang lebih sering digunakan dalam artian kompetisi antar partai.
 Khusus mengenai legislasi, kegagalan pencapaian target sepertinya sudah menjadi sebuah tradisi .  DPR yang sekarang misalnya, sampai pertengahan November kemarin, baru menyelesaikan 15 UU (undang-Undang) dari 70 UU yang ditargetkan pada 2010.  Sementara DPR 2004-2009 hanya berhasil merampungkan 186 dari 284 UU yang ditargetkan dan hanya 70 diantaranya yang berasal dari prolegnas.
 Sementara Fungsi anggaran masih lebih banyak didominasi oleh peran eksekutif dibanding legislatif.  Belum ada terobosan baru dalam penyusunan APBN yang berkaitan dengan kebutuhan rakyat.  Fungsi anggaran ini malah banyak dimanfaatkan untuk usulan-usulan program yang cenderung kontroversial.  Sebut saja ide mengenai anggaran desa, dana aspirasi, dan rumah aspirasi yang lebih bernuansa “kepentingan pragmatis” didalamnya. 
 Fungsi pengawasan juga tidak kalah kontroversialnya.  Kebanyakan anggota DPR mengartikan fungsi ini dengan cara melakukan banyak kritik terhadap kebijakan yang diambil pemerintah.  Mereka sering menterjemahkan ini secara sempit sebagai bentuk pernyataan-pernyataan kritis terhadap kebijakan pemerintah di media massa.
Dalam definisi seperti ini tentu saja fungsi pengawasan ini akan menjadi pilihan paling menarik buat anggota DPR.  Menarik karena mudah dilakukan dan cenderung akan berpengaruh dalam pencitraan mereka, karena banyaknya sorotan media.  Hal ini bisa lihat dari bagaimana perilaku dan manuver  mereka pada saat berjalannya pansus century kemarin.  Semakin ironis, manakala DPR banyak melakukan kegiatan kontroversial yang mengatasnamakan fungsi-fungsi ini.
Sebagai contoh adalah kegiatan studi banding ke luar negeri  dengan alasan peningkatan kinerja di bidang legislasi. Terbukti bahwa anggaran besar yang dikeluarkan belum bisa berbanding lurus dengan pencapaian baik secara kuantitas maupun kualitas.
Alasan sama juga dipakai dalam usulan mengenai dana aspirasi, rumah aspirasi, dan gedung baru DPR.  Usulan tersebut selalu dikaitkan dengan peningkatan kinerja yang mereka bisa lakukan.  Beruntung pada akhirnya usulan-usulan ini bisa dimentahkan karena kerasnya penolakan dari masyarakat. 

Menggugat Wakil Rakyat Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment