Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Tuesday, November 8, 2011

MANUSIA DAN ALAM


Bumi diciptakan oleh Sang Pencipta dengan kelengkapan seperti halnya organ tubuh manusia. Ini adalah salah satu pandangan hidup komunitas Ammatoa yang mengandung berbagai etika dan norma yang terangkum dalam Pasang ri Kujang atau aturan di Kajang.
Hutan bagi suku Kajang diibaratkan jantung manusia. Hutanlah yang berfungsi mengatur dan menyeimbangkan antara musim hujan dan kemarau. Jika hutan berkurang, hujan pun akan berkurang, begitu menurut mereka.
Masyarakat Kajang membagi hutan dalam empat kawasan. Kawasan terlarang merupakan kawasan hutan sama sekali tidak diperbolehkan dimasuki manusia. Apa yang ada di dalam hutan itu pun tidak boleh diganggu. Namun, ada pengecualian bagi mereka yang tersesat dan masuk ke hutan itu tanpa sengaja. Mereka bisa mengambil buah-buahan untuk dimakan, tapi dengan syarat, tak boleh dibawa keluar dari kawasan itu. Kawasan selanjutnya adalah hutan adat. Hutan ini boleh dimasuki pada waktu tertentu. Isi hutan boleh diambil dan dipakai hanya untuk keperluan adat yang tentu saja atas seizin Ammatoa (kepala adat). Kawasan berikutnya adalah hutan produksi, di mana masyarakat boleh mengelola hutan secara bersama-sama dan mengambil hasilnya, misalnya untuk persawahan dan kebun.
Selanjutnya adalah kawasan hutan masyarakat. Masyarakat boleh masuk ke dalam hutan ini dan mengambil hasilnya hanya saat panen saja. Misalnya untuk mengumpulkan madu, buah-buahan, dan sebagainya.
Hutan adalah sesuatu yang sangat sakral. Karenanya, menebang pohon, mencabut rumput, atau berburu satwa harus seizin Ammatoa. Seorang boleh menebang pohon untuk dijadikan rumah untuk sekali dalam seumur hidupnya. Masyarakat Kajang percaya Tuhan menciptakan alam dan seisinya untuk kesejahteraan seluruh umat manusia. Mereka yang hidup saat ini bertugas menjaganya untuk dinikmati generasi selanjutnya dengan kualitas yang sama. Penjagaan hutan agar tetap lestari didasari pemahaman bahwa Tuhan akan memberikan ganjaran setimpal bila masyarakat menuruti segala aturan-Nya. Begitu pula ganjaran bila masyarakat melarikannya. Jadi, saat manusia menjaga alamnya,alam juga akan menjaga manusianya.
Jika masyakat Kajang lebih memusatkan perhatian pada hutan, suku Amungme, yang hidup di Tembagapura, Papua memandang tanah sebagai ibu atau mama. Tanah digambarkan sebagai seorang ibu yang memberi makan, memelihara, mendidik, dan membesarkan dari bayi hingga lanjut usia, sampai akhirnya mati.
Tanah dengan lingkungan hidup habitatnya dipandang sebagai tempat tinggal, berkebun, berburu, dan pemakaman. Karena itu, bagi mereka, tanah adalah tempat kediaman roh halus dan arwah para leluhur. Sehingga, ada beberapa lokasi tanah seperti gua, gunung, air terjun dan kuburan yang sangat dikeramatkan.
Maka tak heran jika suku ini sering terlibat gesekan dengan pihak yang melakukan eksploitasi tambang di kawasan tersebut, yakni PT Freeport Indonesia. Karena bagi mereka, gunung biji (Erstberg) dan Grassberg dipercaya sebagai kepala mama.
Kasus Freeport merupakan suatu per-lawaan budaya para tokoh adat Amungme yang memegang dengan pesan budaya te aro neweak lako (alam adalah aku). Akibatnya, dampak pencemaran limbah Freeport dalam bentuk pembuangan tailing ke dalam sungai Ajkwa dan Agawaghon dan semua anak sungai disekitarnya menyebabkan kerusakan ekosistem dan budaya Amungme. Mereka pun memahaminya sebagai pencemaran terhadap air susu ibu (mama).
Tempat perlindungan
Menjaga alam karena dari alamiah mereka mampu bertahan hidup. Jika alam rusak, mereka akan kesulitan mencari makanan juga hidup tenang dan aman. Itu adalah beberapa bagian yang dipegang teguh oleh masyarakat adat.
Sistem pengamanan diri dan lingkungan yang dimiliki masyarakat adat berbeda-beda, sangat bergantung pada kontur bumi yang mereka pijak. Sesederhana apa pun metode yang dikembangkan masyarakat adat, mereka senantiasa menyesuaikan rasa aman itu dengan kondisi lingkungan dan teknologi yang mereka kuasai.
Berbagai suku yang mendiami wilayah Kepala Burung terkenal masih memegang tradisi perang suku. Karena itu, pemilihan lokasi permukiman sekaligus sebagai tempat berlindung sangat penting. Suku Asmat di Papua, misalnya, memilih mendirikan perkampungan mereka di sepanjang tepian sungai yang lebar dan dalam, berada di tengah hutan dan rawa yang mahaluas. Arus yang deras dan lumpur di tepi sungai adalah tameng mereka untuk musuh yang bermaksud menyerang.
Berbeda dengan suku Dani yang bermukim di Pegunungan Jayawijaya. Mereka lebih suka membangun permukiman di punggung bukit ataupun lereng yang curam. Ini untuk menjamin keamanan mereka terhadap serangan musuh. Para penyerbu harus mendaki bukit yang terjal atau menuruni tebing yang curam terlebih dahulu jika akan mendekati permukiman mereka.
Demi rasa aman pula, orang-orang Rimba atau orang Kubu yang berkelana di kawasan hutan Jambi bermukim di daerah pedalaman yang jauh dari jangakuan pihak luar. Bila perlu, mereka sengaja membangun wilayah penyangga berupa hutan belantara yang ditabukan untuk diolah. Ini semua demi rasa aman dari ser-gapan pihak musuh ataupun pihak luar yang tidak diharapkan kehadirannya.
Suku Kubu mengembangkan hom-pongan, yakni hutan belantara yang mengitari pusat permukiman mereka. Hutan itu sengaja dipelihara dan berfungsi sebagai benteng pertahanan mereka.
Masyarakat suku Dayak dari berbagai subsuku membangun rumah panjang yang disebut Betang, Low, atau Lamin. Rumah ini sengaja dididirikan di pinggirsungai atau menghadap ke sungai. Sungai selain dijadikan prasarana transportasi, juga dijadikan benteng pertahanan terhadap musuh dan serangan binatang buas.
Orang-orang Dayak Meratus di Kalimantan Selatan pun memilih membangun permukiman mereka di dekat sungai berarus deras. Sebelum sampai ke wilayah perkampungan, hutan belukar dibiarkan tumbuh lebat dan jalan-jalan dibiarkan tak terurus. Tujuannya, tak lain agar sebelum musuh mereka tiba di perkampungan, mereka harus melalui rintangan alam lebih dahulu. Kondisi tersebut pun bisa memberi kesempatan pada warga anak-anak dan perempuan mengungsi ke tempat yang lebih aman sebelum musuh tiba.
Selain bersahabat dengan alam sebagai tempat perlindungan, masyarakat adat juga mengenal pranata sosial yang tidak bisa dikatakan sederhana. Contoh ini bisa dilihat di banyak komunitas suku-suku di Papua. Memang betul, mereka memang memiliki tradisi perang suku. Namung ternyata mereka pun mengenal sekutu.
Di desa Agats dan Syuru di Kabupaten Merauke yang dihuni suku Asmat, mereka melakukan konsesi hutan yang diberikan kepada suku lain yang bersedia membina persekutuan keamanan di wilayahnya. Orang Asmat yang masih berburu dan meramu sagu mau saja memberikan sebagian hutan mereka kepada orang-orang Muyu yang memerlukan lahan pertanian
Persekutuan berupa konsesi tanah itu diberikan cuma-cuma. Mereka hanya mengajukan syarat, suku lain yang menjadi sekutu mereka harus bersedia memberikan informasi berupa kode jika ada kelompok lain yang menjadi musuh sekutunya datang menyerang.
Persekutuan yang membentuk semacam organisasi keamanan juga dilakukan suku Dani dengan suku Kapauku. Secara terpisah mereka mengembangkan federasi antardesa sebagai bentuk persekutuan pertahanan dan keamanan untuk tidak saling menyerang.
Mereka pun memiliki kesepakatan untuk menghadapi musuh bersama dari suku lain.
Persekutuan pun boleh dikata juga dibangun oleh masyarakat Kanekes atau suku Baduy yang mendiami wilayah Pegunungan Kendeng, Jawa Barat. Untuk masuk hingga kawasan yang dihuni suku Baduy Dalam yang mendiami tiga dusun, orang asing harus melew/ati Baduy Luar terlebih dahulu.
Wewenang manusia di bidang pengetahuannya, informasi dan pandangannya, dan di bidang keinginan dan kecenderungannya, sangat luas dan tinggi. Pengetahuannya berangkat dari sisi eksternal sesuatu menuju sisi realitas internal sesuatu itu, saling hubungan yang terjadi di dalam sesuatu itu, dan menuju hukum yang mengatur sesuatu itu. Pengetahuan manusia tidak terbatas pada ruang atau waktu tertentu. Pengetahuan manusia mengatasi batas-batas seperti itu. Di satu pihak, manusia mengetahui peristiwa yang terjadi sebelum dia lahir, dan di lain pihak manusia bahkan mengetahui planet-planet selain bumi dan bintang-gemintang. Manusia mengetahui masa lalu maupun masa depannya. Dia mengetahui sejarahnya sendiri dan sejarah dunia, yaitu sejarah bumi, langit, gunung, sungai, tumbuhan dan organisme hidup. Yang menjadi pemikiran manusia bukan saja masa depan yang jauh, namun juga hal-hal yang tak terhingga dan abadi. Sebagian dari hal-hal ini diketahui oleh manusia. Manusia bukan sekadar mengetahui keanekaragaman dan kekhasan. Dengan maksud menguasai alam, manusia mencari tahu tentang hukum alam semesta dan kebenaran umum yang berlaku di dunia.
Manusia begitu idealistis, sampai-sampai dia sering lebih menomorsatukan akidah dan ideologinya dan menomorduakan nilai lain. Dia bahkan menganggap melayani orang lain lebih penting daripada mewujudkan kesejahteraannya sendiri. Dan manusia memandang duri yang menusuk kaki orang lain seperti seakan menusuk kakinya sendiri atau bahkan matanya sendiri. Dia merasa bersimpati kepada orang lain dan mau berbagi suka dan duka. Manusia begitu penuh dedikasi kepada akidah dan ideologi sucinya, sampai-sampai dia mudah mengorbankan hidupnya demi akidah dan ideologi sucinya itu. Segi manusiawi dari budaya manusia yang dianggap sebagai roh sejati budaya tersebut merupakan hasil dari perasaan dan keinginan seperti itu.

Dasar dari Karakter Manusia

Kecenderungan spiritual dan tingginya kesadaran manusia ada karena manusia mempercayai realitas-realitas tertentu dunia ini, dan karena dedikasinya kepada realitas-realitas tersebut. Realitas-realitas ini sifatnya bukan individualistis dan juga bukan material. Sifatnya komprehensif dan umum, di dalamnya tak ada soal keuntungan ekonomi, dan pada gilirannya merupakan hasil dari pengetahuan dan pemahaman tertentu mengenai dunia yang disampaikan kepada manusia oleh para nabi, atau dilahirkan oleh pemikiran idealistis sebagian filosof.
Bagaimanapun juga, kecenderungan spiritual dan suprahewani lebih tinggi yang ada pada diri manusia, jika dasarnya adalah infrastruktur doktrinal dan intelektual, memakai nama agama. Karena itu, kesimpulannya adalah bahwa yang membedakan secara mendasar antara manusia dan makhluk hidup lainnya adalah pengetahuan dan agama, dan bahwa pengetahuan dan agama merupakan dasar dari ras manusia, dan ras manusia ini bergantung pada pengetahuan dan agama.
Sudah banyak dibahas tentang perbedaan antara manusia dan spesies binatang lainnya. Sebagian berpandangan bahwa antara manusia dan spesies binatang lainnya itu tak ada perbedaan yang mendasar. Mereka mengatakan bahwa perbedaan pengetahuan merupakan perbedaan kuantitas, atau paling banter perbedaan kualitas, namun bukan perbedaan hakikat. Mereka memandang tidak begitu penting prestasi-prestasi manusia yang luas dan luar biasa di bidang pengetahuan, padahal prestasi-prestasi ini menarik perhatian filosof-filosof besar Timur dan Barat.

Apakah Sisi Manusiawi Manusia Itu Suprastruktur
Fakta bahwa perjalanan evolusioner manusia berawal dari sisi hewani manusia dan bergerak menuju sisi manusiawinya, sebuah tujuan yang sangat mulia. Prinsip ini berlaku untuk individu maupun masyarakat. Pada permulaan eksistensinya, manusia tak lebih daripada organisme material. Berkat gerakan evolusioner yang mendasar, manusia berubah menjadi substansi spiritual. Roh (spirit) manusia lahir dalam alam tubuh manusia, dan kemudian menjadi mandiri. Sisi hewani manusia merupakan sarang tempat sisi manusiawi manusia berkembang dan matang. Karakteristik evolusi adalah semakin berkembangnya suatu makhluk, semakin mandiri dan efektiflah dia, dan dia pun akan semakin mempengaruhi lingkungannya. Ketika sisi manusiawi manusia berkembang, sebenarnya sisi ini tengah menuju kemandirian dan mengendalikan aspek-aspek lainnya. Hal ini terjadi pada individu maupun masyarakat. Individu yang sudah mengalami pengembangan me ngendalikan lingkungan batiniah maupun lahiriahnya. Arti dari perkembangannya adalah bahwa dia telah merdeka dari dominasi lingkungan batiniah maupun lahiriah, dan memiliki dedikasi kepada akidah dan agama.
Menurut pandangan ini, meskipun realitas manusia muncul bersama dengan alam evolusi material dan hewaninya, namun realitas ini sama sekali bukan merupakan cermin dari—dan tunduk kepada—perkembangan materialnya. Itu adalah sebuah realitas yang independen dan progresif. Sekalipun dipengaruhi oleh aspek material, namun realitas ini mempengaruhinya juga. Yang menentukan tujuan akhir manusia adalah evolusi budayanya dan realitas manusiawinya, bukan evolusi alat-alat produksi. Adalah realitas manusiawi yang dalam evolusinya menyebabkan alat-alat produksi berkembang bersama berkembangnya urusan lain manusia. Tidak betul bila perkembangan alat-alat produksi terjadi secara otomatis, dan bila sisi manusiawi manusia mengalami perubahan akibat berubahnya alat-alat yang mengatur sistem produksi.

MANUSIA DAN ALAM Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

3 komentar: