Bumi diciptakan oleh Sang Pencipta dengan
kelengkapan seperti halnya organ tubuh manusia. Ini adalah salah satu pandangan
hidup komunitas Ammatoa yang mengandung berbagai etika dan norma yang terangkum
dalam Pasang ri Kujang atau aturan di Kajang.
Hutan bagi suku Kajang diibaratkan jantung
manusia. Hutanlah yang berfungsi mengatur dan menyeimbangkan antara musim hujan
dan kemarau. Jika hutan berkurang, hujan pun akan berkurang, begitu menurut
mereka.
Masyarakat Kajang membagi hutan dalam empat
kawasan. Kawasan terlarang merupakan kawasan hutan sama sekali tidak
diperbolehkan dimasuki manusia. Apa yang ada di dalam hutan itu pun tidak boleh
diganggu. Namun, ada pengecualian bagi mereka yang tersesat dan masuk ke hutan
itu tanpa sengaja. Mereka bisa mengambil buah-buahan untuk dimakan, tapi dengan
syarat, tak boleh dibawa keluar dari kawasan itu. Kawasan selanjutnya adalah
hutan adat. Hutan ini boleh dimasuki pada waktu tertentu. Isi hutan boleh
diambil dan dipakai hanya untuk keperluan adat yang tentu saja atas seizin Ammatoa
(kepala adat). Kawasan berikutnya adalah hutan produksi, di mana masyarakat
boleh mengelola hutan secara bersama-sama dan mengambil hasilnya, misalnya
untuk persawahan dan kebun.
Selanjutnya adalah kawasan hutan masyarakat.
Masyarakat boleh masuk ke dalam hutan ini dan mengambil hasilnya hanya saat
panen saja. Misalnya untuk mengumpulkan madu, buah-buahan, dan sebagainya.
Hutan adalah sesuatu yang sangat sakral.
Karenanya, menebang pohon, mencabut rumput, atau berburu satwa harus seizin
Ammatoa. Seorang boleh menebang pohon untuk dijadikan rumah untuk sekali dalam
seumur hidupnya. Masyarakat Kajang percaya Tuhan menciptakan alam dan seisinya
untuk kesejahteraan seluruh umat manusia. Mereka yang hidup saat ini bertugas
menjaganya untuk dinikmati generasi selanjutnya dengan kualitas yang sama.
Penjagaan hutan agar tetap lestari didasari pemahaman bahwa Tuhan akan
memberikan ganjaran setimpal bila masyarakat menuruti segala aturan-Nya. Begitu
pula ganjaran bila masyarakat melarikannya. Jadi, saat manusia menjaga
alamnya,alam juga akan menjaga manusianya.
Jika masyakat Kajang lebih memusatkan
perhatian pada hutan, suku Amungme, yang hidup di Tembagapura, Papua memandang
tanah sebagai ibu atau mama. Tanah digambarkan sebagai seorang ibu yang memberi
makan, memelihara, mendidik, dan membesarkan dari bayi hingga lanjut usia,
sampai akhirnya mati.
Tanah dengan lingkungan hidup habitatnya
dipandang sebagai tempat tinggal, berkebun, berburu, dan pemakaman. Karena itu,
bagi mereka, tanah adalah tempat kediaman roh halus dan arwah para leluhur.
Sehingga, ada beberapa lokasi tanah seperti gua, gunung, air terjun dan kuburan
yang sangat dikeramatkan.
Maka tak heran jika suku ini sering terlibat
gesekan dengan pihak yang melakukan eksploitasi tambang di kawasan tersebut,
yakni PT Freeport Indonesia. Karena bagi mereka, gunung biji (Erstberg) dan
Grassberg dipercaya sebagai kepala mama.
Kasus Freeport merupakan suatu per-lawaan
budaya para tokoh adat Amungme yang memegang dengan pesan budaya te aro neweak
lako (alam adalah aku). Akibatnya, dampak pencemaran limbah Freeport dalam
bentuk pembuangan tailing ke dalam sungai Ajkwa dan Agawaghon dan semua anak
sungai disekitarnya menyebabkan kerusakan ekosistem dan budaya Amungme. Mereka
pun memahaminya sebagai pencemaran terhadap air susu ibu (mama).
Tempat perlindungan
Menjaga alam karena dari alamiah mereka mampu
bertahan hidup. Jika alam rusak, mereka akan kesulitan mencari makanan juga
hidup tenang dan aman. Itu adalah beberapa bagian yang dipegang teguh oleh
masyarakat adat.
Sistem pengamanan diri dan lingkungan yang
dimiliki masyarakat adat berbeda-beda, sangat bergantung pada kontur bumi yang
mereka pijak. Sesederhana apa pun metode yang dikembangkan masyarakat adat,
mereka senantiasa menyesuaikan rasa aman itu dengan kondisi lingkungan dan
teknologi yang mereka kuasai.
Berbagai suku yang mendiami wilayah Kepala
Burung terkenal masih memegang tradisi perang suku. Karena itu, pemilihan
lokasi permukiman sekaligus sebagai tempat berlindung sangat penting. Suku
Asmat di Papua, misalnya, memilih mendirikan perkampungan mereka di sepanjang
tepian sungai yang lebar dan dalam, berada di tengah hutan dan rawa yang
mahaluas. Arus yang deras dan lumpur di tepi sungai adalah tameng mereka untuk
musuh yang bermaksud menyerang.
Berbeda dengan suku Dani yang bermukim di
Pegunungan Jayawijaya. Mereka lebih suka membangun permukiman di punggung bukit
ataupun lereng yang curam. Ini untuk menjamin keamanan mereka terhadap serangan
musuh. Para penyerbu harus mendaki bukit yang terjal atau menuruni tebing yang
curam terlebih dahulu jika akan mendekati permukiman mereka.
Demi rasa aman pula, orang-orang Rimba atau
orang Kubu yang berkelana di kawasan hutan Jambi bermukim di daerah pedalaman
yang jauh dari jangakuan pihak luar. Bila perlu, mereka sengaja membangun
wilayah penyangga berupa hutan belantara yang ditabukan untuk diolah. Ini semua
demi rasa aman dari ser-gapan pihak musuh ataupun pihak luar yang tidak
diharapkan kehadirannya.
Suku Kubu mengembangkan hom-pongan, yakni
hutan belantara yang mengitari pusat permukiman mereka. Hutan itu sengaja
dipelihara dan berfungsi sebagai benteng pertahanan mereka.
Masyarakat suku Dayak dari berbagai subsuku
membangun rumah panjang yang disebut Betang, Low, atau Lamin. Rumah ini sengaja
dididirikan di pinggirsungai atau menghadap ke sungai. Sungai selain dijadikan
prasarana transportasi, juga dijadikan benteng pertahanan terhadap musuh dan
serangan binatang buas.
Orang-orang Dayak Meratus di Kalimantan
Selatan pun memilih membangun permukiman mereka di dekat sungai berarus deras.
Sebelum sampai ke wilayah perkampungan, hutan belukar dibiarkan tumbuh lebat
dan jalan-jalan dibiarkan tak terurus. Tujuannya, tak lain agar sebelum musuh
mereka tiba di perkampungan, mereka harus melalui rintangan alam lebih dahulu. Kondisi
tersebut pun bisa memberi kesempatan pada warga anak-anak dan perempuan
mengungsi ke tempat yang lebih aman sebelum musuh tiba.
Selain bersahabat dengan alam sebagai tempat
perlindungan, masyarakat adat juga mengenal pranata sosial yang tidak bisa dikatakan
sederhana. Contoh ini bisa dilihat di banyak komunitas suku-suku di Papua.
Memang betul, mereka memang memiliki tradisi perang suku. Namung ternyata
mereka pun mengenal sekutu.
Di desa Agats dan Syuru di Kabupaten Merauke
yang dihuni suku Asmat, mereka melakukan konsesi hutan yang diberikan kepada
suku lain yang bersedia membina persekutuan keamanan di wilayahnya. Orang Asmat
yang masih berburu dan meramu sagu mau saja memberikan sebagian hutan mereka
kepada orang-orang Muyu yang memerlukan lahan pertanian
Persekutuan berupa konsesi tanah itu
diberikan cuma-cuma. Mereka hanya mengajukan syarat, suku lain yang menjadi
sekutu mereka harus bersedia memberikan informasi berupa kode jika ada kelompok
lain yang menjadi musuh sekutunya datang menyerang.
Persekutuan yang membentuk semacam organisasi
keamanan juga dilakukan suku Dani dengan suku Kapauku. Secara terpisah mereka
mengembangkan federasi antardesa sebagai bentuk persekutuan pertahanan dan
keamanan untuk tidak saling menyerang.
Mereka pun memiliki kesepakatan untuk
menghadapi musuh bersama dari suku lain.
Persekutuan pun boleh dikata juga dibangun
oleh masyarakat Kanekes atau suku Baduy yang mendiami wilayah Pegunungan
Kendeng, Jawa Barat. Untuk masuk hingga kawasan yang dihuni suku Baduy Dalam
yang mendiami tiga dusun, orang asing harus melew/ati Baduy Luar terlebih
dahulu.
Wewenang manusia di bidang
pengetahuannya, informasi dan pandangannya, dan di bidang keinginan dan
kecenderungannya, sangat luas dan tinggi. Pengetahuannya berangkat dari sisi
eksternal sesuatu menuju sisi realitas internal sesuatu itu, saling hubungan yang
terjadi di dalam sesuatu itu, dan menuju hukum yang mengatur sesuatu itu.
Pengetahuan manusia tidak terbatas pada ruang atau waktu tertentu. Pengetahuan
manusia mengatasi batas-batas seperti itu. Di satu pihak, manusia mengetahui
peristiwa yang terjadi sebelum dia lahir, dan di lain pihak manusia bahkan
mengetahui planet-planet selain bumi dan bintang-gemintang. Manusia mengetahui
masa lalu maupun masa depannya. Dia mengetahui sejarahnya sendiri dan sejarah
dunia, yaitu sejarah bumi, langit, gunung, sungai, tumbuhan dan organisme
hidup. Yang menjadi pemikiran manusia bukan saja masa depan yang jauh, namun
juga hal-hal yang tak terhingga dan abadi. Sebagian dari hal-hal ini diketahui
oleh manusia. Manusia bukan sekadar mengetahui keanekaragaman dan kekhasan.
Dengan maksud menguasai alam, manusia mencari tahu tentang hukum alam semesta
dan kebenaran umum yang berlaku di dunia.
Manusia begitu idealistis,
sampai-sampai dia sering lebih menomorsatukan akidah dan ideologinya dan
menomorduakan nilai lain. Dia bahkan menganggap melayani orang lain lebih
penting daripada mewujudkan kesejahteraannya sendiri. Dan manusia memandang
duri yang menusuk kaki orang lain seperti seakan menusuk kakinya sendiri atau
bahkan matanya sendiri. Dia merasa bersimpati kepada orang lain dan mau berbagi
suka dan duka. Manusia begitu penuh dedikasi kepada akidah dan ideologi
sucinya, sampai-sampai dia mudah mengorbankan hidupnya demi akidah dan ideologi
sucinya itu. Segi manusiawi dari budaya manusia yang dianggap sebagai roh
sejati budaya tersebut merupakan hasil dari perasaan dan keinginan seperti itu.
Dasar dari Karakter
Manusia
Kecenderungan spiritual dan tingginya
kesadaran manusia ada karena manusia mempercayai realitas-realitas tertentu
dunia ini, dan karena dedikasinya kepada realitas-realitas tersebut.
Realitas-realitas ini sifatnya bukan individualistis dan juga bukan material.
Sifatnya komprehensif dan umum, di dalamnya tak ada soal keuntungan ekonomi,
dan pada gilirannya merupakan hasil dari pengetahuan dan pemahaman tertentu
mengenai dunia yang disampaikan kepada manusia oleh para nabi, atau dilahirkan
oleh pemikiran idealistis sebagian filosof.
Bagaimanapun juga, kecenderungan
spiritual dan suprahewani lebih tinggi yang ada pada diri manusia, jika
dasarnya adalah infrastruktur doktrinal dan intelektual, memakai nama agama.
Karena itu, kesimpulannya adalah bahwa yang membedakan secara mendasar antara
manusia dan makhluk hidup lainnya adalah pengetahuan dan agama, dan bahwa
pengetahuan dan agama merupakan dasar dari ras manusia, dan ras manusia ini
bergantung pada pengetahuan dan agama.
Sudah banyak dibahas tentang perbedaan
antara manusia dan spesies binatang lainnya. Sebagian berpandangan bahwa antara
manusia dan spesies binatang lainnya itu tak ada perbedaan yang mendasar. Mereka
mengatakan bahwa perbedaan pengetahuan merupakan perbedaan kuantitas, atau
paling banter perbedaan kualitas, namun bukan perbedaan hakikat. Mereka
memandang tidak begitu penting prestasi-prestasi manusia yang luas dan luar
biasa di bidang pengetahuan, padahal prestasi-prestasi ini menarik perhatian
filosof-filosof besar Timur dan Barat.
Apakah Sisi Manusiawi Manusia Itu Suprastruktur
Fakta bahwa perjalanan evolusioner manusia berawal dari sisi
hewani manusia dan bergerak menuju sisi manusiawinya, sebuah tujuan yang sangat
mulia. Prinsip ini berlaku untuk individu maupun masyarakat. Pada permulaan
eksistensinya, manusia tak lebih daripada organisme material. Berkat gerakan
evolusioner yang mendasar, manusia berubah menjadi substansi spiritual. Roh (spirit)
manusia lahir dalam alam tubuh manusia, dan kemudian menjadi mandiri. Sisi
hewani manusia merupakan sarang tempat sisi manusiawi manusia berkembang dan
matang. Karakteristik evolusi adalah semakin berkembangnya suatu makhluk,
semakin mandiri dan efektiflah dia, dan dia pun akan semakin mempengaruhi
lingkungannya. Ketika sisi manusiawi manusia berkembang, sebenarnya sisi ini
tengah menuju kemandirian dan mengendalikan aspek-aspek lainnya. Hal ini
terjadi pada individu maupun masyarakat. Individu yang sudah mengalami
pengembangan me ngendalikan lingkungan batiniah maupun lahiriahnya. Arti dari
perkembangannya adalah bahwa dia telah merdeka dari dominasi lingkungan
batiniah maupun lahiriah, dan memiliki dedikasi kepada akidah dan agama.
Menurut pandangan ini, meskipun realitas manusia muncul bersama
dengan alam evolusi material dan hewaninya, namun realitas ini sama sekali
bukan merupakan cermin dari—dan tunduk kepada—perkembangan materialnya. Itu
adalah sebuah realitas yang independen dan progresif. Sekalipun dipengaruhi
oleh aspek material, namun realitas ini mempengaruhinya juga. Yang menentukan
tujuan akhir manusia adalah evolusi budayanya dan realitas manusiawinya, bukan
evolusi alat-alat produksi. Adalah realitas manusiawi yang dalam evolusinya menyebabkan
alat-alat produksi berkembang bersama berkembangnya urusan lain manusia. Tidak
betul bila perkembangan alat-alat produksi terjadi secara otomatis, dan bila
sisi manusiawi manusia mengalami perubahan akibat berubahnya alat-alat yang
mengatur sistem produksi.
bagus banget mas...postingannya...semangat yah
ReplyDeleteterima kasih yach...
ReplyDeleteI like u'r style...
ReplyDelete