Pembicaraan
mengenai masalah gender sangat menarik untuk dijadikan bahan diskusi baik
secara formal maupun secara santai dalam perbincangan di warung-warung kopi,
namun dari banyak perbincangan menyangkut gender tersebut entah secara
kebetulan atau tidak ternyata masih banyak yang belum paham secara tepat apa
sebenarnya gender tersebut, secara sempit gender hanya dimaknai sebatas masalah
jenis kelamin saja. Interpretasi semacam inilah yang tumbuh subur di pikiran
sebagian besar masyarakat, sehingga konsep tentang gender yang sejatinya sangat
humanis menjadi terpinggirkan oleh isu-isu sempit yang hanya sebatas masalah dikotomi
dunia laki-laki dan perempuan.
Hal
pertama yang mungkin penting untuk diketahui sebelum membahas masalah gender
lebih jauh, adalah mengenali lebih dahulu definisi yang paling umum tentang
gender. Gender dalam hal ini merupakan produk konstruksi sosial dan budaya yang
berhubungan dengan kedudukan dan kebutuhan baik laki-laki maupun perempuan,
(Fakih 1996, via vitayala 2010)., kutipan definisi gender ini memang bukanlah
pemahaman yang paling umum dari definisi gender , namun secara garis besar ini
dapat menarik sebuah konsep gender yang dipahami sebagai konsep yang
menyeimbangkan peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah
kehidupan sosial masyarakat. Dengan demikian gender murni sebagai hasil
konstruksi nilai-nilai dominan yang tumbuh dalam masyarakat. Namun terkadang
sering dijumpai bentuk-bentuk tindakan yang lebih condong pada salah satu jenis
seks saja, sebagai contoh adalah munculnya anggapan bahwa perempuan hanya bisa
bekerja pada ranah domestik saja (sebagai ibu rumah tangga). Labelisasi yang
menganggap perempuan hanya dapat bekerja di ranah domestik saja ini adalah
tindakan yang dapat membatasi ruang gerak perempuan dalam mengembangkan
potensinya di ranah publik, domestifikasi ini seakan membawa perempuan terpinggirkan
dalam mengembangkan potensinya bahwa mereka juga mampu berkarya dan
berprestasi. Namun anggapan ini juga sekarang mulai hilang tergerus oleh jaman,
tetapi belum sepenuhnya mampu dipahami sebagai bentuk penyetaraan gender.
Dalam
mendalami studi mengenai gender ada beberapa definisi awal yang mungkin
sebaiknya kita ketahui lebih dahulu selain definisi gender itu sendiri. Pertama
perspektif gender, yaitu suatu konsep yang dipergunakan untuk membedakan segala
sesuatu yang bersifat normatif dan biologis dan sesuatu yang merupakan produk
sosio budaya dalam bentuk kesepakatan dan fleksibilitas sosial yang dapat
ditransformasikan, sehingga ini menjelma sebagai sebuah sudut pandang dalam
memandang segala gejala sosio kultural.
Kedua,
Analisis peran gender, yaitu sebuah pengkajian sistematik tentang peran, relasi
sosial dan prosesnya yang difokuskan pada ketidak setaraan dalam kekuasaan,
kekayaan, dan beban kerja antara laki-laki dan perempuan dalam keseluruhan
pranata kehidupan masyarakat, yang menjadi titik berat disini adalah bahwa
perempuan tidak selalu menjadi obyek penderita akibat ketidak seimbangan peran
antara laki-laki dan perempuan, seorang laki-laki maskulin sekalipun bisa
mengalami diskriminasi dalam kehidupan sosio-kultural, meskipun ini sangat
jarang terjadi.
Ketiga,
gender differences, yaitu kumpulan-kumpulan perbedaan dari atribut-atribut
sosial, karakteristik,perilaku, penampilan, harapan, peranan dan lain
sebagainya yang dirumuskan untuk perseorangan menurut ketentuan kelahiran
(jenis kelamin).
Human
Development Report yang dirilis oleh UNDP tahun 1995 menyebutkan setidaknya ada
tiga patokan yang dipakai untuk mengukur suksesnya program pembangunan yang
dilaksanakan sebuah negara, ketiga parameter tersebut tergolong unik mengingat
bahwa perspektif yang dipakai adalah keberadaan perempuan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Parameter
pertama adalah Human Development Index (HDI) atau indeks pembangunan manusia,
yang terfokus pada tiga dimensi ukuran pembangunan manusia yaitu usia panjang
dan hidup sehat, terdidik, dan memiliki kehidupan yang layak. Dimensi tersebut
mengkombinasikan indeks harapan hidup, bersekolah, buta aksara dan pendapatan.
Para
meter Kedua adalah Gender-related Development index (GDI), ukuran ini menitik
beratkan perhitungan pada ketidak seimbangan peran serta pencapaian prestasi
antara laki-laki dan perempuan
Parameter
Ketiga adalah Gender Empowerment Measure (GEM) ini mengevaluasi peran perempuan
dan laki-laki dalam ranah yang jauh lebih spesifik dan profesional, parameter
ini lebih menitik beratkan pada peranan perempuan pada forum ekonomi dan
politik internasional.
Ketiga
Indeks tersebut, yaitu HDI, GDI, dan GEM telah dipakai secara global untuk
mengevaluasi kualitas hidup manusia di sebuah negara, termasuk di Indonesia
yang diterbitkan secara annual oleh BPS dan Bappenas yang bekerjasama denga
UNDP dalam bentuk Human Development Report (HDR) yang menunjukkan kapabilitas,
kesetaraan atau ketidak setaraan peluang perempuan dalam kehidupan ekonomi,
pendidikan, kesehatan, dan politik terhadap laki-laki. Mengapa peran dan
kepentingan laki-laki juga ikut dihitung dalam dua indeks ini ? tentu saja
laki-laki juga menjadi bagian penting dalam pembicaraan masalah gender, karena
inilah yang perlu digaris bawahi bahwa gender bukan melulu soal perempuan, atau
dengan kata lain adalah interpretasi yang kurang tepat jika menganggap gender
hanya sebagai masalah jenis kelamin dan seks semata, karena dengan konsep yang
tepat kita akan menemui fakta bahwa konsep kesetaraan gender adalah sebuah
konsep yang sangat humanis, dan jika berbicara humanis pastilah dapat
mengadaptasi nilai-nilai agamis di masyarakat khususnya mayoritas muslim di
Indonesia. Pemahaman dan persepsi tentang gender yang keliru dan semakin bias,
gender yang pada hakekatnya diartikan sebagai perbedaan sifat, peranan ,
fungsi, dan status antara laki-laki dan perempuan yang bukan berdasarkan
perbedaan biologis, tetapi berdasarkan relasi sosio-budaya yang dipengaruhi
oleh struktur masyarakat yang lebih luas, terjadi semacam eksklusivisme bagi
perempuan dan inclusivisme bagi gender laki-laki, dan kondisi seperti inilah
yang justru mendorong munculnya ketidak adilan dan ketidak setaraan gender di
masyarakat.
Merespon
hal-hal tersebut diperlukan sebuah mainstream bukan hanya mainstream perempuan
tapi mengenai pengarus utamaan gender (gender mainstream) yang didefinisikan
sebagai sebuah upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan yang menyebabkan
tidak tercapainya kesetaraan dan keadilan gender akibat dari adanya
marginalisasi perempuan, adanya stereotype yang keliru mengenai perempuan
subordinasi, kekerasan dan beban ganda yang dipikul oleh perempuan.
0 komentar:
Post a Comment