Persoalan
hubungan negara, agama,dan masyarakat sipil selalu menjadi topik menarik yang
tak henti-hentinya diperdebatkan.
Perubahan
politik dunia ikut memberikan andil dalam perdebatan klasik soal bagaimana
merumuskan peran dan hubungan yang semestinya antara negara, lembaga-lembaga
keagamaan, dan masyarakat sipil. Sampai di mana agama bisa memengaruhi
kebijakan negara serta jalannya pemerintahan dan sampai di mana negara bisa
mencampuri urusan keagamaan. Perdebatan soal hal itu semakin berkembang luas
pascaperistiwa runtuhnya menara kembar WTC di Amerika Serikat pada 11 September
2001 yang dituduh dilakukan oleh kelompok Islam radikal.Pascakejadian tersebut,
hubungan dunia Barat, khususnya Amerika Serikat, kerap tidak harmonis.
Islam dan Barat
kerap dipertentangkan. Sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki hubungan
Barat dan Islam, khususnya Amerika Serikat dengan negara- negara
muslim,Brookings Institute bersama Saban Center for Middle East Policy dan
pemerintah Qatar menyelenggarakan US–Islamic World Forum di Doha (29-31 Mei
2012).Forum tersebut sudah diadakan sembilan kali dan dihadiri oleh beberapa
pemimpin negara Islam, para ilmuwan, serta para pengambil kebijakan. Salah satu
topik yang menjadi perdebatan menarik adalah bagaimana membangun relasi yang
ideal antara negara, agama, dan masyarakat.
Arab
Spring dan Dilema Relasi
Pada US–Islamic
World Forum tersebut,saya mendapat undangan kehormatan berbicara dalam sesi
long conversation tentang relasi negara, agama, dan masyarakat sipil.
Menariknya dalam sesi diskusi panjang itu, berbagai perspektif dikemukakan
dalam rangka mencari formula yang tepat, terutama bagi negara-negara Timur
Tengah yang saat ini sedang dalam proses transformasi, atau yang dikenal dengan
Arab Spring, seperti di Mesir, Tunisia, Yaman, Irak, Libya,dan Maroko.
Di negara-negara
Arab,salah satu persoalan yang mereka hadapi sekarang ini adalah sulitnya
memisahkan hubungan negara dengan agama.Keduanya menjadi bagian dari sistem
penyelenggaraan negara. Ketika angin demokratisasi berhembus, muncul tuntutan
agar institusi-institusi pemerintah direformasi dan dipisahkan dari agama
sehingga tidak terjadi intervensi antara satu dan yang lain. Negara menjadi
institusi yang independen,di mana tidak ada monopoli kekuasaan atas nama
kelompok keagamaan (Islam).
Hal demikian
tentu tidak mudah karena penyatuan negara dan agama di negaranegara Arab yang
telah lama terjadi membutuhkan suatu transformasi sistem yang memerlukan waktu
dan dukungan rakyat. Tak jarang, transformasi sistem otoritarian ke demokrasi
kerap berakhir dengan kericuhan, kerusuhan, bahkan konflik di antara sesama
kelompok-kelompok kepentingan dalam suatu negara.
Hal ini bisa
kita lihat bagaimana proses demokratisasi di Mesir pascatumbangnya rezim Husni
Mubarak,rezim Zein Abidin di Tunisia, Qadafi di Libya, dan Ali Abdullah Saleh
di Yaman yang sampai sejauh ini masih menyisakan persoalan- persoalan mendasar.
Tak jarang proses demokratisasi tersebut bahkan masih saja diwarnai konflik
dalam negeri yang terjadi antara kelompok pendukung rezim sebelumnya dan
kelompok pendukung demokratisasi.
Artinya,
persoalan besar yang mereka hadapi saat ini adalah bagaimana membuat format
yang tepat untuk relasi negara, agama, dan masyarakat sipil. Rezim-rezim
otoriter dan korup yang sebelumnya menjadi bagian dari institusi keagamaan
harus digantikan oleh rezim-rezim demokratis yang harus dipisahkan dari
intervensi kelompok keagamaan dan berpihak pada kepentingan semua kelompok
masyarakat.Nyatanya, hal demikian tidak mudah dilakukan.
Pengalaman
Indonesia
Dalam diskusi
soal bagaimana sebaiknya format relasi negara, agama, dan masyarakat sipil di
negaranegara Islam, Indonesia memiliki sebuah format yang menarik. Saya
menyampaikannya dalam perspektif bagaimana Indonesia sebagai sebuah negara
muslim berpenduduk terbesar di dunia mengelola relasi tersebut sehingga
kebersatuan di antara seluruh kelompok keagamaan tetap terjaga meskipun umat
Islam di Indonesia merupakan mayoritas (90% dari 248 juta penduduk). Pertama,
agama tidak menjadi bagian dari sistem bernegara.
Di sini yang
berlaku adalah hukum-hukum universal demokrasi yang mengakomodasi kepentingan
seluruh masyarakat sipil tanpa perbedaan suku, ras, dan agama.Kelompok
keagamaan menjadi terpisah dari halihwal pengelolaan negara. Tapi, Indonesia
juga bukan negara sekuler yang tidak mengakui kelompok-kelompok keagamaan.
Kelompok keagamaan Islam terbesar di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah,
Kristen,Hindu,dan Buddha tetap dilindungi negara, tetapi mereka tidak
mengintervensi negara ataupun negara mengintervensi mereka. Pada saat Indonesia
merdeka, perdebatan soal hubungan agama dan negara memang mewarnai forum-forum
penyusunan dasar negara.
Sebagai jalan
tengah bagi keragaman yang ada,Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara, bukan
agama menjadi dasar negara.Pancasila menjadi konsensus nasional karena
mengakomodasi berbagai kepentingan kelompok keagamaan. Tetapi, lantas Pancasila
tidak menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler karena ada suatu kewajiban
bagi seluruh umat beragama untuk menjalankan agamanya masing- masing.
Kedua,meskipun Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, masih ada
relasi yang terbangun antara negara dan kelompok-kelompok keagamaan (masyarakat
sipil).
Relasi tersebut
bukan relasi saling mengintervensi, melainkan suatu bentuk kemitraan. Kelompok
keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, MUI, PGI, KWI, PHDI,Walubi,dan sebagainya,
didirikan selain sebagai wujud perhimpunan kelompok keagamaan, tetapi juga
memainkan fungsi checks and balances dengan pemerintahan. Artinya, ada ruang
yang terpisah antara negara dan agama. Agama tidak menjadi bagian dari sistem
bernegara. Namun, negara tetap memberikan kebebasan bagi kelompok keagamaan
untuk mengekspresikan kebebasan beragamanya.
Hal inilah yang
menjadi salah satu alasan kenapa sampai sejauh ini Indonesia sebagai sebuah
negara yang besar dengan keragaman suku, ras, dan agama tetap utuh.Kekuatan
tersebut tentu terletak pada kemampuan menerima perbedaan-perbedaan yang
ada.Pancasila menjadi sumber utama perekat bangsa. Karena itu, saat
bangsabangsa lain sedang mencari format hubungan agama, negara, dan masyarakat
sipil, kita harus bangga bahwa hanya Pancasila yang mampu mengikat keragaman
bangsa Indonesia.
Dengan demikian,
ke depan perayaan Hari Lahir Pancasila 1 Juni jangan sekadar seremonial, tetapi
juga harus diimplementasikan dengan serius dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Itulah simbol sekaligus substansi dari relasi yang ideal antara negara, agama,
dan masyarakat sipil.
0 komentar:
Post a Comment