Tiba-tiba
sejumlah data dan fakta mengingatkan kita bahwa stabilitas negara rapuh karena
tingginya potensi konflik di akar rumput.
Potensi konflik
tereskalasi karena agenda penegakan hukum, sama sekali belum berupaya
menjangkau persoalan-persoalan hukum yang terpendam di banyak daerah. Banyak
orang tertawa sinis karena melihat penegak hukum memersepsikan ruang agenda
penegakan hukum begitu sempit. Penegakan hukum semata-mata diterjemahkan
sebagai pemberantasan korupsi. Karena itu, aktualisasinya pun hanya memburu,
menyergap, dan menjadikan para koruptor pesakitan di ruang pemeriksaan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tipikor.
Padahal,
sejatinya, kewajiban yang termuat dalam agenda penegakan hukum tidak hanya
mengadili dan menghukum para koruptor. Indonesia era reformasi mewarisi begitu
banyak persoalan hukum dari pelanggaran hukum yang masif oleh penyelenggara negara
di masa lalu.Pelaksanaan hukum yang manipulatif-represif di masa lalu itu
menyebabkan banyak komunitas di sejumlah daerah tak berdaya dan diam, sekalipun
mereka diperlakukan tidak adil oleh penyelenggara negaranya sendiri. Ketika
negara masuk era reformasi, komunitas-komunitas itu berharap reformasi sebagai
momentum dan akses mencari serta mendapatkan keadilan.
Negara diyakini
akan hadir untuk meluruskan dan menyelesaikan persoalan-persoalan lama yang
mereka hadapi dalam diam itu. Ternyata tidak. Agenda penegakan hukum hanya
dijadikan slogan.Elite di Jakarta lebih disibukkan oleh kegiatan mengelola
kepentingan melalui kekuasaan yang digenggamnya. Kekuasaan pun lebih
memprioritaskan tertib koalisi, dibandingkan menyerap dan mengelola aspirasi
rakyat.Agar terlihat gagah di panggung penegakan hukum, hanya progres
pemberantasan korupsi yang dikedepankan. Sebaliknya, jerit individu ataupun
komunitas di sejumlah daerah yang meminta kehadiran negara untuk mewujudkan
keadilan, bahkan nyaris tidak ditanggapi.
Negara begitu
sering menyepelekan persoalan-persoalan hukum yang dihadapi rakyatnya. Tahu
bahwa negara tidak peduli, tidak sedikit oknum penegak hukum menyalahgunakan
wewenangnya dengan memanipulasi persoalanpersoalan itu untuk mendapatkan
keuntungan materi. Pihak yang benar disalahkan, dan sebaliknya yang salah
dibenarkan. Sikap negara yang minimalis serta perilaku tak terpuji oknum
penegak hukum itu secara tidak langsung menumbuhkan potensi konflik yang
berkelanjutan.Akhir-akhir ini, media massa sudah menggambarkan bahwa potensi
konflik yang bermuara pada persoalan agraria ibarat bom waktu.
Sengketa agraria
yang berpotensi menjadi konflik berdarah antarkelompok masyarakat, ataupun
komunitas warga versus pelaku bisnis,terjadi di hampir seluruh pelosok Indonesia.
Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN), hingga 2011 lalu, ada 14.337 kasus
sengketa agraria dengan berbagai tingkatan. Sementara Satgas Pemberantasan
Mafia Hukum (PMH), sejak September 2009 hingga April 2011 sudah menerima 910
laporan perkara sengketa tanah.
Dalam konteks
ini, pemerintah sudah berkali-kali diingatkan tentang bom waktu konflik
agraria. Potensinya sudah terlihat pada data BPN. Jadi, bukan data yang
mengada- ada. Dari potensi yang terbaca pada data BPN itu, kemungkinannya
adalah konflik antarwarga atau konflik yang melibatkan warga versus pelaku
bisnis.
Kasus Mesuji,
kasus Sape, dan terakhir konflik di Deli Serdang, berkemungkinan mengeskalasi
semangat warga di daerah lain yang juga sedang bersengketa lahan dengan pelaku
bisnis. Siapa pun tidak ingin semua potensi konflik itu benar-benar menjadi
kenyataan, apalagi sampai harus menelan korban jiwa. Karena itu diperlukan
program khusus untuk menyelesaikan proses hukum belasan ribu sengketa agraria
itu.
Akan tetapi,
untuk mencegah konflik berikutnya, langkah pertama yang harus ditempuh
pemerintah adalah melakukan pendekatan kepada semua komunitas yang bersengketa
lahan. Semua komunitas itu diajak untuk menahan diri, bermusyawarah, dan
menghindari tindak kekerasan dalam menyelesaikan persoalan mereka. Langkah
pendekatan itu tidak sulit karena bisa dilakukan para bupati atau camat.
Terpenting, ada instruksi presiden kepada semua pemerintah daerah dan
kepolisian daerah untuk melaksanakan pekerjaan itu.Di mana saja potensi konflik
itu, cukup memanfaatkan data BPN.
Pendekatan
pemerintah itu sangat diperlukan sebagai bukti kehadiran negara di tengah
masyarakat yang sedang menghadapi masalah. Karena Indonesia negara hukum,
langkah berikutnya adalah menyelesaikan semua sengketa lahan itu melalui proses
hukum yang adil dan transparan. Perlu dibuatkan program khusus untuk
menyelesaikan persoalan ini. Pemerintah perlu menawarkan konsep win-win
solution.
Konflik di
Mesuji dan Sape terjadi karena warga sekitar merasa hak-hak mereka dirampas
begitu saja, tanpa kompensasi apa pun.Padahal, mereka hidup dari areal tanah
itu.Kalau areal tanah itu harus diserahkan demi kepentingan investasi negara
ataupun swasta, tentu harus ada kompensasi bagi warga sekitar agar mata
pencarian mereka tidak hilang begitu saja. Pemerintah memang harus proaktif
dalam meminimalisasi potensi konflik agraria di berbagai daerah.Presiden
memiliki alat kelengkapan untuk mengatasi persoalan yang satu ini. Masalahnya adalah
kemauan dan konsistensi.
Kalau persoalan
ini segera ditangani, bukan hanya konflik yang bisa dihindari, melainkan juga
sebagai pesan tentang kepastian hukum di sektor pertanahan. Mantan Wakil
Presiden M Jusuf Kalla mengatakan, konflik itu ibarat gempa bumi yang tidak
dapat diprediksi kapan terjadinya, sehingga diperlukan lembaga yang memonitor
potensi munculnya sebuah konflik. Potensi konflik agraria di negara ini sudah
tergambarkan cukup jelas.
Kalau presiden
memerintahkan semua pemerintah daerah dan kepolisian daerah mendata dan
melakukan pendekatan kepada semua komunitas yang sedang bersengketa, konflik
bisa dicegah.
0 komentar:
Post a Comment