Melihat
kekerasan yang dialami warga Ahmadiyah di berbagai tempat,pengikut Syiah di
Sampang, jemaatgerejaPhiladelpia di Bekasi dan Yasmin di Bogor, orang gampang
membuat kesimpulan ada gejala intoleransi di negeri ini.
Belakangan ini
juga muncul kekerasan atas nama kebenaran suatu agama terhadap seseorang yang
dipandang memiliki pandangan berbeda seperti dalam kasus diskusi buku yang
ditulis Irsyad Manji. Karya seni pun tidak luput dari sergapan atas nama
moralitas keagamaan baku nan suci sehingga konser Lady Gaga harus dibatalkan.
Karena menyangkut warga negara lain, persoalan ini berkembang menjadi wacana
internasional.Persoalannya, bagaimana menjelaskan semua itu dari tuduhan bahwa bangsa
ini menjadi intoleran?
Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, penting bagi kita melihat secara lebih jernih agar
kesimpulan yang kita ambil untuk menjawab pertanyaan tersebut bukan hanya lebih
mendekati kenyataan di lapangan, melainkan juga lebih memuaskan secara
intelektual. Seorang teman segera menyahut menimpali rembuk saat diajak untuk
secara lebih jernih melihat permasalahan tersebut.
“Bagaimana bisa
diambil kesimpulan lain selain bangsa ini secara faktawi memang intoleran, jika
melihat fakta-fakta kekerasan yang dialami warga Ahmadiyah di Lombok dan berbagai
tempat di Jawa Barat seperti warga Kristiani di kawasan yang sama serta
kekerasan terhadap warga Syiah di Sampang, dan panitia diskusi Irsyad Manji dan
Irsyad Manji sendiri?” Setengah geram agar meyakinkan lawan bicaranya,teman itu
mengajukan pertanyaan balik. Secara kefilsafatan,sebagai dasar filsafat negara
sila-sila Pancasila menjadi bermakna jika dilihat dalam kesatuan sistematis dan
sintesisnya.
Hal itu berarti
bahwa makna Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa haruslah melibatkan keempat
sila lainnya. Karena itu,paham dan praktik keagamaan secara niscaya manusiawi,
adil, dan beradab, dalam pengertian yaitu dengan memperhatikan nilainilai
kemanusiaan yang secara faktawi bersifat plural sesuai latar belakang
sosio-budaya pada masing-masing kelompok intrapemeluk agama,dan antarpemeluk
agama. Adil dalam pengertian bahwa memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang
plural itu dilakukan secara proporsional dengan penuh keadaban.
Di lapangan,
secara primordial, dalam arti hubungan tradisional orang per orang tanpa campur
tangan organisasi modern, kita menyaksikan sikap terbuka masyarakat dalam
menerima kenyataan plural dalam keragaman keagamaan misalnya dalam bertetangga,
dalam merespons bencana atau kecelakaan yang dialami seseorang tanpa melihat
latar belakang keagamaannya.
Namun, menjadi
berbeda saat hubungan sosial itu semakin luas melibatkan organisasi modern seperti
jemaat gereja, ataujamaah masjid,atau sekelompok orang yang tergabung dalam
suatu organisasi dari gerakan- gerakan tertentu yang hidup dalam masyarakat.Muncul
suatu jarak di antara fakta primordial dalam ranah privat dengan fakta sosial
yang dibangun berdasar logika modern. Nilai-nilai luhur yang hidup dalam ranah
tradisional dan primordial kehidupan privat itu seperti terputus dan terbelah
ketika memasuki ranah publik.
Fakta kehidupan
privat itu bisa kita saksikan di berbagai daerah dalam beragam masyarakat, di
kota atau di kawasan pedesaan.Sementara kenyataan keterbelahan nilai nilai
luhur pada ranah publik yang melibatkan lembaga modern itu memang ada, namun
terbatas pada wilayah-wilayah yang melibatkan sekelompok elite dengan pemahaman
yang berbeda dari pemahaman di akar rumput. Ironisnya, lapisan elite inilah
yang selama ini menjadi juru bicara tunggal logika modern keberagamaan yang
dengannya para pengikut hampir tidak memiliki pilihan, ketika wacana
keberagamaan modern berada pada hegemoni kelas elite tersebut.
Situasi demikian
menjadi lebih dahsyat pada saat pelaku praktik kenegaraan dan pemerintahan
lebih mempertimbangkan kepentingan politik daripada nilai-nilai luhur Pancasila
yang hidup dalam ranah tradisional dan primordial tersebut. Atas nama
demokrasi, sebuah kekuasaan seperti tersandera pada citra yang dibangun kelas
elite yang dengan kuasanya mempergunakan media modern untuk “memaksa”
masyarakat awam mengikuti jalan pikirannya atau mereka akan terancam
sangsi-sangsi teologis.
Jadilah suara
sekelompok orang yang dengan piawai mengatasnamakan publik yang luas
“menyandera” penguasa sehinggapenguasatersebutmemenuhi kepentingannya. Jika
tidak demikian, sang penguasa itu akan dihujat sebagai pelanggar tata krama
ketuhanan menurut tafsir sang elite itu sendiri sehingga
elektabilitasnyamenurundanpartaiyangberada di belakang sang penguasa bisa
kehilangan pengikutnya. Sebenarnya masyarakat pada ranah primordial dan
tradisional memiliki cara sendiri untukmenyelesaikanpersoalan yang mereka
hadapi yang lebih santun dan beradab, bukan dengan jalan kekerasan.
Kekerasan
intoleran yang muncul dalam beragam kasus tidaklah serta-merta menjadi petunjuk
bagi intolerannya dari karakter bangsa, melainkan ketidakhadiran pelaku negara
dan pemerintahan untuk bertindak berdasar basis primordial filsafat dasar
negara Pancasila. Bangsa ini memiliki akar primordial ideologi negara yang
hidup bersama kehidupan rakyat di luar peta sistem kelembagaan modern. Soalnya,
bagaimana nilai-nilai luhur yang sudah dan terus hidup dalam kehidupan rakyat
pada ranah privat itu menjadi sumber inspirasi dari tiap rumusan hukum dan
perundang-undangan serta peraturan legal.
Lembaga modern,
negara, pemerintahan, organisasi politik, serta kemasyarakatan memang
membutuhkan rasionalitas modern.Masalahnya, tanpa jangkar nilai-nilai luhur
yang lestari dalam kehidupan rakyat, kerja dari lembaga modern itu justru akan
membuat bangsa ini berada dalam dinamika global seperti pepatah “bagai
layar-layang putus tali”. Jika demikian, bangsa ini bisa terombang- ambing
dalam tarikan berbagai kepentingan kekuasaan global seperti juga keterjebakan
pelaku negara dan pemerintahan dalam wacana beku dan baku absolut yang
dikontrol oleh sekelompok elite dengan kepentingannya sendiri.
Jika jangkar
bangsa ini ialah fakta kerakyatan, kita bisa menyimpulkan bahwa karakter bangsa
ini tetap lestari mempraktikkan nilai-nilai luhur toleransi sebagaimana maksud
dasar filsafat negara tersebut. Problem intoleransi justru terletak pada
lembaga modern dengan rasionalitas tinggi seperti partai politik, organisasi
gerakan keagamaan, termasuk negara dan birokrasi pemerintahan, serta lapisan
elite yang lahir dari lembaga-lembaga modern tersebut.
0 komentar:
Post a Comment