Thomas F. Odea
ketika menjelaskan munculnya sebuah agama, menyebutkan bahwa sumber kerawanan
atau breaking points (titik kritis) adalah karena manusia memiliki tiga
karakteristik dasar eksistensi, yaitu ketidakberdayaan, ketidakpastian dan
kelangkaaan. Jika karakter dasar manusia tersebut terakumulasi dan memuncak,
maka masyarakat manusia cenderung mengalami apa yang disebut oleh Max Weber
sebagai persoalan makna, atau berkelindannya berbagai ketegangan etis dan
sosial hingga chaos.
Namun melalui sekularisasi, masyarakat Barat yang kemudian banyak
diamini—melepaskan diri dari klaim kemutlakan dan totalitas agama untuk
membangun ruang publik yang pluralis. Sebuah ikhtiar atas netralitas negara
dihadapan orientasi nilai yang majemuk. Namun dalam “niat mulia” itulah,
menjalar dan tumbuh berbagai patologi karena bergerak sendiri dan lepas dari
alasan-alasan religius. Padahal terkikisnya perasaan-perasaan terdalam terhadap
“Yang Maha” merupakan folder dehumanisasi.
Kesalahan Sekularisasi
Sekularisasi
merupakan rumusan atas fakta traumatis kesewenang-wenangan pemangku agama yang
menjadi penguasa politis terhadap kehidupan masyarakat banyak, sehigga
alasan-alasan religius tidak diperkenankan hadir dalam ruang publik.
Rasionalitas dan kesabaran individu didesakkan sebagai alas diskursus untuk
mencapai universalitas; sebuah gerak peradaban dengan klaim modernitas.
Tanpa bermaksud
menyederhanakan persoalan, hemat saya menafikkan nilai-nilai religius
beratasnama netralitas, pluralisme dan lainnya, tidak lebih sebagai hasil kerja
rasio instrumental. Cenderung menyilaukan kesadaran kritis karena
argumentasinya “seakan-akan” lebih rasional. Padahal persoalan sesungguhnya
bukanlah kemutlakan dan totalitas iman. Tapi muslihat penguasa politis yang
menggunakan klaim tersebut, dan memegang monopoli interpretasi atas apa yang
wajib dilakukan dan dipikirkan oleh masyarakat. Penyelewengan inilah yang
memberangus fungsionalisasi rasio dalam ruang publik.
Kesalahan konsep
sekularisasi ini, diakui oleh Peter Berger yang menyunting Desecularization of
the Word (1996), bahwa teori lama mereka salah. Jurgen Habermas, filsuf Jerman
kontemporer juga menegaskan, sekularisasi harus diinterpretasikan secara baru
sebagai proses saling belajar antara pemikiran sekular dan pemikiran religius.
Sementara Jose Casanova mengusulkan cara-cara baru dalam melihat sekularisasi.
Karena
lingkungan sosial-kultural, termasuk politik sebagai hasil konstruksi pemikiran
dan aktivitas masyarakat manusia, melalui apa yang disebut Berger sebagai
proses dialektika, yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi adalah
rawan dan terancam oleh fakta kepentingan diri, membuat keterarahan
transendental kepada Tuhan menjadi keniscayaan, karena tanpa keterarahan
tersebut, manusia akan mengalami pragmentasi eksistensi atau keterpecahan
kedirian. Disinilah nilai-nilai religius menjadi signifikan sebagai kekuatan
batin atau spirit (inner dynamic) dalam mentransformasi pembangunan sosial-kultural
yang rawan ke arah yang lebih etis dan humanis.
Untuk itu
penting menyaring sekularisasi dalam konseptualisasi hidup yang berkeadilan dan
berkeadaban. Karena siapa dengan keyakinan agama apa pun, sebaiknya hadir dalam
ruang publik tanpa perlu menyimpan “imannya” di rumah. Tentunya dengan membawa
nilai-nilai yang merupakan peneguhan dari sifat-sifat ketuhanan yang tercermin
dalam nurani setiap manusia. Diantaranya adalah keadilan dalam Islam, cinta
kasih dalam Kristen, anti kekerasan atau ahimsa dalam Hindu serta kesederhanaan
dalam Budha dan lainnya.
Agama dalam Ruang Publik
Agama dalam Ruang Publik
Sekalipun
pengakuan atas Ketuhanan yang Maha Esa menempati urutan pertama dalam Pancasila
sebagai ideologi negara, tapi hubungan antara agama dan negara di Indonesia
sampai saat ini belum juga jelas, bahkan cenderung irrasional. Karena secara
formal administratif, Indonesia masuk pada negara sekuler dengan adanya lembaga
tinggi negara dan mekanisme pemilu lima tahunan. Namun dalam proses modernisasi
dan demokratisasi, yang muncul adalah menguatnya berbagai isu dan simbol agama
dalam berbagai peran sosial politik, baik untuk mendapatkan maupun
mempertahankan kekuasaan di dalam negara.
Karenanya pelik
memisahkan antara kekuatan sekuler yang tampil dalam bentuk negara dan kekuatan
agama yang tampil dalam bentuk lainnya, memasuki ruang-ruang negara.
Ketidakjelasan inilah yang menggulirkan berbagai abnormalitas. Diantaranya
menggerakkan politik dari “yang terhormat” sebagai seni menyejahterakan
masyarakat banyak, menjadi “yang terkumuh” sebagai ladang pertikaian dan
manipulasi. Sebuah pola penyelenggaraan kekuasaan yang berorientasi politik
untuk kekuasaan (politics of power) daripada politik nilai (politics of
values). Bahkan karena kekuasaan, di sini terkadang Tuhan menjadi sesuatu yang
“tidak begitu penting”.
Kondisi ini
menjadi variabel independent atas ketidakmandirian bangsa dan berbagai
ketegangan etis dan sosial lainnya. Sebuah ketimpangan atau kesewenang-wenangan
yang membutuhkan dekonstruksi. Karena ironis bila fakta kemiskinan dan
pengangguran terus bertambah pada negara yang menjaga dan menjamin hak warganya
beragama, beserta dengan anugerah alam yang kekayaannya berlimpah.
Disinilah letak
soalnya; mengapa negara-negara barat yang sekuler lebih berhasil mewujudkan
kehidupan warganya lebih baik, ketimbang Indonesia yang menjunjung tinggi
agama, keadaannya lebih bising dan berantakan oleh kuasa dan modal? Mengapa
agama-agama besar di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Hindu dan Buddha tidak
berhasil membentuk Indonesia sebagai Republik yang bersih, berwibawa, dan
menjunjung tinggi etika politik? Artinya, terjadi kemarau gagasan sehingga
artikulasi nilai-nilai ketuhanan yang terkandung di dalam agama menyempit dan
tidak memberi pencerahan bagi pembangunan bangsa, karena kemuliaan nilai-nilai
tersebut terhegemoni oleh segelintir orang atau kelompok yang menggunakan agama
tidak lebih sebagai klaim retoris dan “amplop” interest.
Pada konteks
inilah, dibutuhkan kesungguhan mendengar dan mengaktualkan nilai-nilai yang
lebih mendalam dan universal dari Agama, misalnya komitmen, keutamaan dan
kejujuran melalui rekonseptualisasi agama dalam ruang publik. Upaya ini perlu
dilakukan dengan tetap melalui proses perbincangan rasional yang penuh saling
pengertian.
0 komentar:
Post a Comment