Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Sunday, June 24, 2012

Agama dalam Ruang Publik

Thomas F. Odea ketika menjelaskan munculnya sebuah agama, menyebutkan bahwa sumber kerawanan atau breaking points (titik kritis) adalah karena manusia memiliki tiga karakteristik dasar eksistensi, yaitu ketidakberdayaan, ketidakpastian dan kelangkaaan. Jika karakter dasar manusia tersebut terakumulasi dan memuncak, maka masyarakat manusia cenderung mengalami apa yang disebut oleh Max Weber sebagai persoalan makna, atau berkelindannya berbagai ketegangan etis dan sosial hingga chaos.
Namun melalui sekularisasi, masyarakat Barat yang kemudian banyak diamini—melepaskan diri dari klaim kemutlakan dan totalitas agama untuk membangun ruang publik yang pluralis. Sebuah ikhtiar atas netralitas negara dihadapan orientasi nilai yang majemuk. Namun dalam “niat mulia” itulah, menjalar dan tumbuh berbagai patologi karena bergerak sendiri dan lepas dari alasan-alasan religius. Padahal terkikisnya perasaan-perasaan terdalam terhadap “Yang Maha” merupakan folder dehumanisasi. 
Kesalahan Sekularisasi
Sekularisasi merupakan rumusan atas fakta traumatis kesewenang-wenangan pemangku agama yang menjadi penguasa politis terhadap kehidupan masyarakat banyak, sehigga alasan-alasan religius tidak diperkenankan hadir dalam ruang publik. Rasionalitas dan kesabaran individu didesakkan sebagai alas diskursus untuk mencapai universalitas; sebuah gerak peradaban dengan klaim modernitas. 
Tanpa bermaksud menyederhanakan persoalan, hemat saya menafikkan nilai-nilai religius beratasnama netralitas, pluralisme dan lainnya, tidak lebih sebagai hasil kerja rasio instrumental. Cenderung menyilaukan kesadaran kritis karena argumentasinya “seakan-akan” lebih rasional. Padahal persoalan sesungguhnya bukanlah kemutlakan dan totalitas iman. Tapi muslihat penguasa politis yang menggunakan klaim tersebut, dan memegang monopoli interpretasi atas apa yang wajib dilakukan dan dipikirkan oleh masyarakat. Penyelewengan inilah yang memberangus fungsionalisasi rasio dalam ruang publik. 
Kesalahan konsep sekularisasi ini, diakui oleh Peter Berger yang menyunting Desecularization of the Word (1996), bahwa teori lama mereka salah. Jurgen Habermas, filsuf Jerman kontemporer juga menegaskan, sekularisasi harus diinterpretasikan secara baru sebagai proses saling belajar antara pemikiran sekular dan pemikiran religius. Sementara Jose Casanova mengusulkan cara-cara baru dalam melihat sekularisasi. 
Karena lingkungan sosial-kultural, termasuk politik sebagai hasil konstruksi pemikiran dan aktivitas masyarakat manusia, melalui apa yang disebut Berger sebagai proses dialektika, yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi adalah rawan dan terancam oleh fakta kepentingan diri, membuat keterarahan transendental kepada Tuhan menjadi keniscayaan, karena tanpa keterarahan tersebut, manusia akan mengalami pragmentasi eksistensi atau keterpecahan kedirian. Disinilah nilai-nilai religius menjadi signifikan sebagai kekuatan batin atau spirit (inner dynamic) dalam mentransformasi pembangunan sosial-kultural yang rawan ke arah yang lebih etis dan humanis.
Untuk itu penting menyaring sekularisasi dalam konseptualisasi hidup yang berkeadilan dan berkeadaban. Karena siapa dengan keyakinan agama apa pun, sebaiknya hadir dalam ruang publik tanpa perlu menyimpan “imannya” di rumah. Tentunya dengan membawa nilai-nilai yang merupakan peneguhan dari sifat-sifat ketuhanan yang tercermin dalam nurani setiap manusia. Diantaranya adalah keadilan dalam Islam, cinta kasih dalam Kristen, anti kekerasan atau ahimsa dalam Hindu serta kesederhanaan dalam Budha dan lainnya.
Agama dalam Ruang Publik 
Sekalipun pengakuan atas Ketuhanan yang Maha Esa menempati urutan pertama dalam Pancasila sebagai ideologi negara, tapi hubungan antara agama dan negara di Indonesia sampai saat ini belum juga jelas, bahkan cenderung irrasional. Karena secara formal administratif, Indonesia masuk pada negara sekuler dengan adanya lembaga tinggi negara dan mekanisme pemilu lima tahunan. Namun dalam proses modernisasi dan demokratisasi, yang muncul adalah menguatnya berbagai isu dan simbol agama dalam berbagai peran sosial politik, baik untuk mendapatkan maupun mempertahankan kekuasaan di dalam negara. 
Karenanya pelik memisahkan antara kekuatan sekuler yang tampil dalam bentuk negara dan kekuatan agama yang tampil dalam bentuk lainnya, memasuki ruang-ruang negara. Ketidakjelasan inilah yang menggulirkan berbagai abnormalitas. Diantaranya menggerakkan politik dari “yang terhormat” sebagai seni menyejahterakan masyarakat banyak, menjadi “yang terkumuh” sebagai ladang pertikaian dan manipulasi. Sebuah pola penyelenggaraan kekuasaan yang berorientasi politik untuk kekuasaan (politics of power) daripada politik nilai (politics of values). Bahkan karena kekuasaan, di sini terkadang Tuhan menjadi sesuatu yang “tidak begitu penting”. 
Kondisi ini menjadi variabel independent atas ketidakmandirian bangsa dan berbagai ketegangan etis dan sosial lainnya. Sebuah ketimpangan atau kesewenang-wenangan yang membutuhkan dekonstruksi. Karena ironis bila fakta kemiskinan dan pengangguran terus bertambah pada negara yang menjaga dan menjamin hak warganya beragama, beserta dengan anugerah alam yang kekayaannya berlimpah. 
Disinilah letak soalnya; mengapa negara-negara barat yang sekuler lebih berhasil mewujudkan kehidupan warganya lebih baik, ketimbang Indonesia yang menjunjung tinggi agama, keadaannya lebih bising dan berantakan oleh kuasa dan modal? Mengapa agama-agama besar di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Hindu dan Buddha tidak berhasil membentuk Indonesia sebagai Republik yang bersih, berwibawa, dan menjunjung tinggi etika politik? Artinya, terjadi kemarau gagasan sehingga artikulasi nilai-nilai ketuhanan yang terkandung di dalam agama menyempit dan tidak memberi pencerahan bagi pembangunan bangsa, karena kemuliaan nilai-nilai tersebut terhegemoni oleh segelintir orang atau kelompok yang menggunakan agama tidak lebih sebagai klaim retoris dan “amplop” interest. 
Pada konteks inilah, dibutuhkan kesungguhan mendengar dan mengaktualkan nilai-nilai yang lebih mendalam dan universal dari Agama, misalnya komitmen, keutamaan dan kejujuran melalui rekonseptualisasi agama dalam ruang publik. Upaya ini perlu dilakukan dengan tetap melalui proses perbincangan rasional yang penuh saling pengertian.

Agama dalam Ruang Publik Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment