Fenomena keragaman agama dan keragaman
aliran kegamaan telah menyita pikiran para ilmuwan keagamaan untuk merumuskan
sebuah konsepsi filosofis- teologis demi terciptanya harmonisasi dan
ketenteraman sosial. Saat yang sama gelombang globalisasi yang terasa tak mampu
terbendung lagi telah membuka ruang interaksi yang massif diantara berbagai
unsur kebudayaan. Sehingga menutup diri terhadap pluralitas masyarakat hanya akan
membuat kita berkembang satu dimensi.
Pada ranah inilah pluralisme menjadi
diskursus yang penting untuk kita diskusikan sama-sama. Sekelumit pertanyaan
menggelantung pada diskursus ini. Adakah kemutlakan kebenaran? Diantara sekian
banyak agama dan sekte keagamaan,manakah yang benar, ataukah seluruhnya benar?
Apa gerangan yang menjadi tujuan Tuhan sehingga agama dan sekte yang beberbeda
tetap eksis pada saat bersamaan? Apa itu beragama? Bahkan apa itu Islam?
Seringkali pluralisme dimaknai sangat
negatif. Hal ini disebabkan karena Pertama, Pluralisme sebagai kosa kata
yang dianggap membawa hegemoni kebudayaan tertentu yakni kebudayaan barat.
Pluralisme mendapat kecaman ( sebagaimana istilah sekularisasi mendapat kecaman
bertubi- tubi dari beberapa ulama Indonesia ketika pertama kali disuarakan oleh
Nurkholis Majid) karena di anggap sebagai Internalisasi nilai- nilai kebudayaan
barat pada Islam. Kedua, pluralisme memiliki makna “rabaan” sebagai bentuk
asimilasi atau pembenaran dan persamaan dari setiap kelompok agama. Persamaan
ragam keagamaan akan mengakibatkan relatifitas kebenaran setiap agama yang
diasumsikan oleh setiap pemeluk agama memiliki kemutlakan.
Pluralisme memiliki banyak wajah,
menurut Musa Kazhim yang mencuat antara lain: Pertama, pluralisme
moral, berbentuk ajakan untuk menyebarkan toleransi antar penganut agama. Kedua,
pluralisme religius soteriologi (soteriological relious pluralisme).
Keyakinan bahwa ajaran non kristen misalnya juga bisa mendapatkan keselamatan
kristiani. Mula- mula ini diperkenalkan oleh John Hick. Sebuah klaim
keselamatan bahwa pemeluk agama lain juga mendapatkan keselamatan. Ketiga,pluralisme
religius epistemologis. Bahwa agama dunia memiliki kedudukan yang sama dalam
pentas sejarah untuk menemukan justifikasinya. Sebagaimana keagamaan kita pada
umumnya terbangun dari kesimpulan- kesimpulan yang di bangun oleh sejarah.
Keyakinan keberagamaan seseorang mewakili periode sejarah dan aliran pemikiran
tertentu. Keislaman di Indonesia misalnya sangat organisasional.Keempat, pluralisme
religius aletis yang menganggap, walaupun ada fakta bahwa setiap agama
memberikan jalan- jalan yang berbeda namun itu semua benar jika ditinjau dari
pandangan dunianya masing- masing. Dan yang Kelima, pluralisme
religius deontis berkaitan dengan kehendak dan perintah Tuhan. Sejarah
keagamaan dilihat sebagai kehendak Tuhan untuk menyempurnakan wahyu-Nya. Jika
islam dianggap sebagai agama terakhir monoteisme maka kebenaran seluruh ajaran
Tuhan berada pada pilihan Islam.
Dikalangan cendekiawan Islam sendiri
(sebagaimana agama-agama lainnya) berkembang pro-kontra tentang pluralisme
terkhusus klaim keselamatan pada keragaman agama. Ada beberapa ayat yang
diasumsikan menjadi landasan kuat pluralisme dan memungkinkan ruang keselamatan
bagi agama diluar Islam. Dalam QS.2:62 yang diulang dengan redaksi yang berbeda
pada QS.5:69 dan QS.22:17. QS.2:6 kerap kali “dipertengtangkan” dengan QS.3: 85
yang telah memansukhnya.
Paradoksal pemaknaan Al-Qur’an tentu
bukan karena Al-Qur’an itu sendiri bertentangan tetapi upaya memahamilah yang
harus holistik. Perdebatan lebih jauh tentang ayat QS. 3:85 oleh kaum pluralis
haruslah dikembalikan pada pemaknaan “Islam”. Islam dalam QS. 3:85 adalah
universal bukan Islam dalam pemaknaan hanya agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw sebab Islam juga telah dilekatkan pada agama-agama terdahulu
semisal pada QS.2: 131-132.
Terlepas dari pro-konta diatas
(selayaknya kembalikan pada ahlinya) yang pastinya agama bukan untuk Tuhan
tetapi untuk Manusia. Pembelaan terhadap agama adalah pembelaan Nilai- nilai
bukan simbol- simbol dan kanalisisasi keanggotaan.`Keselamatan bukan dari
angan- angan tetapi tindakan nyata (amal saleh) (QS. 4:123).Pluralitas telah
menjadi hukum Tuhan sedangkan dunia adalah medan kreatifitas moral manusia
untuk berbuat kebajikan sebanyak mungkin dan perbedaan adalah tugas Tuhan untuk
menyelesaikannya bukan oleh manusia dengan cara apapun (QS.5: 48). Jika kita
bertanya kepada agama- agama yang berbeda maka ada kesamaan antara Islam dengan
agama-agama lainnya sebagaimana QS.29:46, QS.29:61 dan QS.43:87.
Kekafiran terasa kurang tepat jika
dengan serta merta dilekatkan kepada semua orang diluar Islam dan kafir tidak
serta merta memiliki konsekuensi tidak selamat, untuk menyelaesaikan ini kita
harus mempertimbangkan 3 hal:
pertama, secara persis
kepada siapa ancaman “kafir” itu dianjurkan; kedua, dalam situasi
seperti apa ayat “kafir” dturunkan dan ketiga, apakah itu mesti dijalankan?.
Sebagaimana menurut Dr. muhammad Legenhausen setelah pengkajian terhadap teks
Al-Qur’an semisal di QS.10:4 dan QS. 4: 115.
Ancaman siksa tidaklah secara khusus
diturunkan kepada kaum kafir tetapi kepada manusia secara umum. Makna harfiah
dari kekafiran (kufr) adalah menutupi. Orang kafir adalah ia yang mencari
perisai atau menutupi dirinya sendiri dari kebenaran. Kekafiran bukanlah
kondisi pasif yang berlaku kepada semua orang yang tidak memperoleh keyakinan
yang benar tentang islam. Justru sebaliknya, kekafiran adalah oposisi bathin
yang aktif yang mengahalangi seseorang dari menerima bimbingan Ilahi. Demikian
ungkap Dr. Muhammad Legenhausen.
Jika ditarik pada makna yang lebih luas
maka definisi dan penjelasan diatas bisa juga berarti bahwa keselamatan itu
akan kita raih jika telah melepaskan subektifitas atau fanatisme-fanatisme
ketika berdialog dengan saudara yang berbeda dan dalam mencari kebenaran.
Sebagai penutup, jika ada titik
persamaan buat apa membesarkan perbedaan yang hanya akan mengakibatkan
intoleransi dan disharmonisasi.
0 komentar:
Post a Comment