Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Tuesday, October 30, 2012

Demokrasi Komikal (telaah Indonesia hari ini)



Praktik demokrasi politik kita sesungguhnya hampir mirip dengan kisah-kisah tokoh-tokoh komik. Artinya, komik memberi peluang reflektif. Dalam tradisi demokrasi elektoral satu orang satu suara, citra atau kekuatan tokoh itu penting, maka dalam menimbang pemimpin, ukuran umumnya kewajaran dan kepantasan. Karena syarat untuk menjadi tokoh protagonis, pertama-tama harus wajar dan pantas. Di komik juga demikian. Tokoh utama ialah yang memang pantas dan otentik.

Wayang sering terlampau ekstrim menggambarkannya secara fisikal. Misalnya, yang protagonis berdada bidang, yang jahat bergigi taring. Tetapi, bukan berarti substansi terhilangkan. Karena logikanya, simbol itu muara dari etika dan isi. Yang permukaan perwujudan dari kedalaman. Semua sudah melalui proses panjang kreativitas para pujangga. Tapi masih bisa terjadi pembalikan simbolik atau anomali, bahwa tidak semua raksasa itu jahat. Tidak semua kstaria berkumpul di kubu politik Pandawa yang berhak atas kekuasaan. Ada banyak ksatria pula di kubu Kurawa.

Kadang-kadang banyak absurditas yang kita temui dalam kisah-kisah kepolitikan kita, seperti juga dalam komik-komik. Tetapi, era kejayaan komik-komik Kosasih dan generasi sesudahnya, tampaknya sudah sangat berlalu. Bahasa gambar yang mendominasi kebudayaan populer kita sekarang ialah sinetron-sinetron alias opera-opera sabun yang lebih komikal dan berpanjang-panjang. Absurditas-absurditas dalam opera sabun, kemudian diringkas dalam rumus yang oleh sementara kalangan manjur diterapkan dalam alam demokrasi elektoral, yakni semakin terkesan terdzalimi, semakin populer dan elektabel.

Bahasa gambar akhirnya sekedar mentok pada sihir-sihir hipnotis, tanpa membuka peluang yang lapang bagi publik untuk berpikir kritis. Bahasa gambar itu mempertontonkan adegan-adegan absurd  yang menyingkirkan kualifikasi dan proses. Rumah yang mentereng, mobil yang bagus-bagus, konflik kaum elite yang tak menjangkau urusan nyata masyarakat, jalan pintas pemecahan masalah, tampilan-tampilan hedonis dan boros, kata-kata yang menggampangkan dan penuh dendam, merupakan catatan-catatan kecil kita ketika menonton opera-opera sabun yang berbui-buih itu. 

Demokrasi komikal kita penuh cerita, tetapi sayangnya segera berujung pada hipnotis, bukan kekritisan, justru karena ia diasingkan. Bagaimana mungkin kita bisa menikmati opera sabun dengan kritis, manakala ia sengaja tidak memberikan tempat pada kritisisme? Di alam nyata, demokrasi komikal kita banyak yang mengejawantah dalam ekspresi-ekspresi menyanjung para patron masing-masing alias Asal Bapak Senang (ABS). Atau, wujud-wujud turunan yang sekedar menyenangkan mitra kerja calon pejabat, apakah capres, calon kepala daerah ataukah caleg, melalui laporan-laporan riset yang menghipnotis.

Kalau semua saling menghipnotis, dengan menyingkirkan stimulus-stimulus bagi hadirnya refleksi-refleksi kritis, maka barangkali benar kata Umberto Eco di atas, peradaban demokrasi kita akan kolaps. Yang menyelamatkan peradaban demokrasi kita, kalau begitu rasionalitas sebagai dasar dari hadirnya sikap-sikap kritis. Selama bahasa-bahasa gambar itu tidak menjadi reflektor, melainkan menghipnotis, demokrasi hanya akan menjadi embel-embel bagi hadirnya tokoh yang tidak otentik, tokoh seolah-olah.***

Demokrasi Komikal (telaah Indonesia hari ini) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

2 komentar: