Tidak ada pekerjaan yang mudah. Semua
mengandung resiko dan konsekuensi. Termasuk dalam dunia jurnalistik, memotret
peristiwa aktual untuk kemudian merangkainya menjadi sebuah berita penting.
Jika pegawai negeri bekerja dengan tenggat
waktu yang telah ditentukan, seorang jurnalis lebih dari itu. Ia menjemput
informasi tanpa kenal waktu. Sedikit sekali ia diberi jatah melapangkan diri,
atau sekedar “membujurkan kaki”. Panas terik, hujan badai tetap harus dilalui.
Seorang jurnalis bertaruh nyawa dan masa.
Profesionalisme
dan Idealisme
Sebagai salah satu aktor dibalik tampilnya
suatu kejadian pada khalayak, ketepatan dan kecermatan dalam mencari, meliput,
menginput data, mengolah, menganalisa, hingga memposting sebuah berita adalah
sarat wajib bagi sang jurnalis. Selain daripada itu, perlu adanya
profesionalisme jurnalis / wartawan dalam mempertanggungjawabkan informasi yang
diliput (Erik Thohir). Dan tentu, harus sesuai kode etik jurnalistik. Masih
menurut Erik, kebebasan per jangan sampai membuat wartawan lepas tangan
sehingga pada kelanjutannya melahirkan wartawan-wartawan amplop dan gadungan.
Dan informasi yang disampaikan menjadi
abu-abu tanpa bisa ditangkap esensinya.
Disinilah perlu ditekankan prinsip atau
idealisme bagi wartawan. Independensi menjadi harga mati. Tak ada tawar-menawar
mengenai hal ini.
Memahami
Berbagai Disiplin Ilmu
Satu hal yang istimewa dari seorang jurnalis
adalah “kemutlakan” baginya untuk memahami banyak disiplin ilmu bahkan melahap
semuanya sekaligus. Baik dari bidang politik, ekonomi, sains, teknologi,
budaya, pendidikan, hukum perundang-undangan dsb. Hal ini sangat penting
mengingat ukuran kualitas berita yang disajikan. Dinilai publik, dikritisi,
baik-buruknya suatu berita merupakan bagian dari resiko dan konsekuensi bagi
wartawan.
Jurnalis
(Islam) yang Handal
Di Negeri Muslim terbesar ini, tentu sangat
dibutuhkan banyak wartawan yang handal dalam arti mampu mengaitkan sebuah
peristiwa dengan syariat Islam. Dengan kata lain, ia menjadikan keimanan
(ideologi)nya sebagai tolok ukur pemberitaan. Dan sikap seperti ini sama sekali
tidak menghilangkan objektifitas berita.
Seumpama terkait kasus korupsi, seorang
jurnalis tidak hanya menyoroti siapa yang menjadi tersangka sehingga
menampilkan kesan bahwa akar kemerosotan bangsa ini-yang paling mendasar-adalah
disebabkan merajalelanya korupsi. Alhasil, masyarakat bisa mendapatkan
kesimpulan yang salah.
Padahal kenyataannya, korupsi tak lain
adalah akibat dari diterapkannya sistem demokrasi yang telah rusak sejak awal
kemunculannya. Sistem pemerintahan yang tak menempatkan kedaulatan di tangan
Pencipta langit dan bumi pasti memberikan ruang yang luas untuk melakukan
tindakan tercela tersebut. Karena tak dapat dipungkiri bahwasanya demokrasi
hanyalah alat, permainan, atau dagelan yang hanya memanfaatkan kekuasaan untuk
meraup, mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, “Money for Power, Power for
Money”.
Jurnalis Muslim sudah semestinya menyadari,
dan manyampaikan hal ini sebagai bentuk kontribusi nyata atas ketaatan pada
Allah dan RasulNya dalam mengemban amanah. Dan yang pasti, semua akan dimintai
pertanggungjawaban di akhirat kelak. Karenanya, berhati-hatilah para jurnalis!
saya sepakat dengan pendapat anda....
ReplyDeletememang seorang jurnalis harus idealis.....