OLEH
: IMAM MUKTI
Untuk alasan-alasan yang jelas, kita mengharapkan level tinggi
partisipasi publik dalam sebuah masyarakat demokratis. Semua alasan tersebut
didasarkan pada gagasan demokrasi yang meliputi aturan orang-orang yang
dijalankan sesuai dengan nilai-nilai demokratis fundamental. Alasan pertama adalah
kepercayaan kami bahwa melalui partisipasi aktif, kami dapat mencapai outcome
politik terbaik, outcome yang mencerminkan keputusan luas orang-orang secara
menyeluruh atau mempertimbangkan keputusan kelompok khusus dan sesuai dengan
norma-norma demokrasi. Kedua, melalui partisipasi, kami bisa memenuhi apa yang
Thompson sebut sebagai tujuan demokratis, “untuk mencapai beberapa aturan dan
keputusan yang memenuhi kepentingan jumlah warga negara terbesar” (Thompson,
190, 184). Melalui partisipasi publik luas dalam urusan sipil, warga negara
dapat membantu memastikan bahwa kepentingan individu dan kolektif dapat
didengar dan direspons oleh para pejabat pemerintah. Selain itu, mereka dapat
mencegah para penguasa untuk melanggar kepentingan warga negara. Ketiga, partisipasi
demokratis dapat mempertinggi legitimasi pemerintah. Orang-orang yang terlibat
dalam membuat keputusan kemungkinan besar mendukung keputusan-keputusan
tersebut dan lembaga-lembaga yang terlibat dalam membuat dan menjalankan
keputusan tersebut.
Ide tersebut, bersama-sama dengan apa
yang disebut Emmett S. Redford (1969) sebagai “moralitas demokratis”, sebuah
ekspresi cita-cita demokratis yang bersandar pada tiga premis. Pertama,
moralitas demokratis mengasumsikan bahwa individu adalah ukuran dasar nilai
manusia. Sistem sosial dan politik kami hanya dapat dianggap berhasil sejauh
sistem itu bisa mempromosikan realisasi potensi terpenuh individu. Kedua,
moralitas demokratis mengasumsikan bahwa klaim-klaim individu dapat
dipromosikan melalui keterlibatan semua orang dalam proses pengambilan
keputusan dan partisipasi itu bukan hanya merupakan nilai instrumental, namun
sangat penting untuk pengembangan kewarganegaraan demokratis. Cita-cita
partisipasi universal mungkin mengambil berbagai bentuk; namun Redford
menunjukkan beberapa sesuatu mendasar: “Di antara hal-hal tersebut adalah (1)
akses ke informasi, berdasarkan pendidikan, pemerintah terbuka, komunikasi
bebas, dan diskusi terbuka; (2) akses, baik langsung maupun tidak langsung, ke
forum diskusi; (3) kemampuan untuk membuka isu ke diskusi publik; (4) kemampuan
untuk menegaskan klaim-klaim seseorang tanpa takut terhadap pembalasan koersif;
dan (5) pertimbangan semua klaim yang ditegaskan” (1969, 8).
Melalui proses-proses semacam itu,
para penyokong demokrasi percaya bahwa pemerintah terbaik akan diperoleh dan
dipertahankan. Namun apa yang sebenarnya dimaksud dengan sisi lain persamaan
itu? Dari sudut pandang warga negara, apa yang diperoleh dari keterlibatan
lanjutan dalam lembaga politik? Secara umum dapat dikatakan, teoretikus politik
memiliki tiga jawaban, yakni etika, integratif, dan edukatif. Kami telah
mengeksplorasi argumen etis – bahwa keterlibatan aktif dalam kehidupan politis
adalah bagian dari realisasi potensi terpenuh seseorang. Bagi Barber, misalnya,
tujuan partisipasi adalah untuk menciptakan komunitas warga negara yang aktif
dan tertarik “yang disatukan bukan oleh kepentingan homogen namun oleh
pendidikan sipil dan yang mampu membuat tujuan bersama dan tindakan bersama
demi kebaikan sikap sipilnya dan lembaga-lembaga partisipatifnya” 91984, 117).
Beliau melihat bahwa warga negara ditransformasikan dari yang hanya memiliki
kepentingan pribadi dan suka mementingkan diri sendiri ke warga negara yang
memiliki rasa hormat terhadap kebaikan publik. Selain itu, Pranger menulis
bahwa “perilaku warga negara dalam kultur kekuasaan pada dasarnya adalah buruk
di mana ini tidak begitu banyak berkaitan dengan tugas utama warga negara
sebagai agen yang bertanggung jawab terhadap partisipasi bersama berdasarkan
sudut pandang independen, yang sebenarnya mengembangkan tanggung jawab bersama
yang bisa memperkaya kehidupan makmurnya” (1968, 53).
Partisipasi aktif dan pengorbanan
kepentingan diri seseorang yang kerap kali terlibat dalam sebuah demokrasi akan
membangun sebuah “karakter”. Melalui disiplin dan pengorbanan-diri, warga
negara menjadi lebih bijak. Keterlibatan dalam pekerjaan pemerintahan akan
mengajarkan tanggung jawab dan toleransi. Kewarganegaraan yang aktif mungkin
tidak akan menimbulkan perbuatan spektakuler, namun, menurut Tocqueville,
“setiap hari, ini akan mendorong beberapa perbuatan kecil; ini tidak dapat
membuat seseorang menjadi bijak, namun disiplinnya akan membentuk banyak warga
negara yang tertib, sabar, layak, berhati-hati, dan dapat mengontrol-dirinya
sendiri. Jika ini tidak menimbulkan keinginan untuk berbuat bijak, ini akan
mendorong kebiasaan yang tanpa disadari akan bersifat bijak” (1969, 526-27).
Seseorang yang tetap aktif terlibat dalam kehidupan sipil, orang itu akan
menjadi orang yang lebih baik.
Argumen integratif yang mendukung
kewarganegaraan yang lebih aktif menunjukkan bahwa orang-orang memainkan banyak
peran dalam masyarakat – employer,
pegawai, guru, siswa, orang tua, konsumen, perwakilan serikat kerja, pengikut
setia gereja namun peran kewarganegaraan adalah salah satu dari sebagian peran
yang membawa aspek-aspek kehidupan berbeda secara bersama-sama. (Religi mungkin
adalah hal lainnya). Teoretikus politik yang bernama Sheldon Wolin menulis,
“Kewarganegaraan memberikan apa peran-peran lain yang tidak dapat dimainkan,
yakni pengalaman integratif yang membawa banyak aktivitas peran orang
kontemporer dan menuntut bahwa peran terpisah disurvey dari sudut pandang yang
lebih umum” (1960, 434). Peran saya sebagai orang tua kadang-kadang
bertentangan dengan peran saya sebagai pegawai. Ketika ini adalah kasus yang
membuat saya memerlukan sebuah cara luas untuk membawa berbagai peran secara
bersama-sama dalam sebuah tinjauan umum. Peran kewarganegaraan dapat memberikan integrasi semacam itu.
Argumen ini adalah menarik selama kami
mempertimbangkan pertanyaan masyarakat sipil, sebab ini adalah kelompok kecil,
asosiasi, dan pola interaksi sehari-hari yang bisa memberikan “perekat sosial”
yang mempertahankan masyarakat secara bersama-sama. Michael Walzer menunjukkan
bahwa kewarganegaraan adalah satu dari banyak peran yang dimainkan oleh
anggota, namun negara itu sendiri tidak menyukai semua asosiasi lainnya. “Ini
mengerangkakan masyarakat sipil dan menempati ruang di dalamnya, ini sesuai
dengan kondisi-kondisi terbatas dan aturan-aturan dasar semua aktivitas
asosiasional (termasuk aktivitas politik). Ini akan mendorong beberapa anggota
untuk berpikir tentang kebaikan bersama, melebihi konsepsinya sendiri atas
kehidupan yang baik” (1995, 169). Melalui peran kewarganegaraan, kami bisa
mengintegrasikan kepentingan dan pengalaman yang kami miliki dalam bidang lain
yang kurang begitu komprehensif. Selain itu, dengan bertindak sebagai warga
negara, pelaksanaan kebaikan sipilkan membawa kita ke dalam hubungan yang lebih
dekat dengan orang lain. Ini akan tingkat perasaan bahwa orang-orang memiliki
sebuah komunitas. Jadi, “aktivitas kewarganegaraan menjalankan sebuah fungsi
integratif dalam dua hal. Pertama, ini akan memudahkan individu untuk mengintegrasikan
berbagai macam peran yang ia mainkan. Kedua, ini akan mengintegrasikan individu
ke dalam komunitas” (Dagger, 1997, 101).
Argumen edukatif yang mendukung
partisipasi aktif dan dengan semangat-publik dapat dikembangkan dengan baik
dalam diskusi klasik Carole Pateman mengenai pandangan-pandangan Rousseau
terhadap persoalan ini. menurut Rousseau, selama individu terlibat dalam proses
politik, ia akan mempelajari tentang pentingnya mempertimbangkan
pandangan-pandangan orang lain supaya bisa memperoleh kerjasamanya. “Sebagai
hasil dari partisipasi dalam pembuatan keputusan, individu akan terdidik untuk
membedakan impuls-impuls dan keinginan-keinginannya, ia belajar menjadi publik
dan juga sebagai warga negara privat” (Pateman, 1970, 25). Selama individu
turut serta dalam partisipasi, mereka akan mulai mempelajari dan mengembangkan
skill yang sesuai dengan proses partisipasi, sehingga proses itu dapat
dilanjutkannya sendiri. Dengan demikian, semakin besar individu berpartisipasi,
semakin mampu dirinya untuk melanjutkannya. Teori klasik atau ideal atas
kewarganegaraan demokratis memiliki agenda ambisius – “pendidikan seluruh orang
yang dapat membuat kapasitas intelektual, emosional dan moralnya mencapai
potensi penuhnya dan mereka digabungkan, baik secara bebas dan aktif dalam
komunitas sejati” (Davis, dikutip dalam Pateman, 1970, 21).
Argumen edukatif tentu saja,
didasarkan pada kepercayaan dalam “perbaikan” warga negara biasa. Jika terdapat
beberapa masalah dengan keterlibatan warga negara, jika partisipasinya tidak
menimbulkan perbaikan politis dan juga meningkatnya legitimasi, maka responsnya
tidak akan mengakhiri partisipasi, namun akan mendidik warga negara. Thomas
Jefferson secara jelas menunjukkan
bahwa: “Saya tidak mengetahui tempat kekuasaan terakhir yang aman dalam
masyarakat kecuali pada orang-orang di dalamnya, dan jika kita berpikir bahwa
mereka tidak merasa jelas untuk menjalankan kontrolnya dengan diskresi atau
kebijakan yang bermanfaat, perbaikan bukanlah untuk mengambil kekuasaan itu dari
mereka, namun untuk menginformasikan diskresi atau kebijakannya” (Jefferson
1903, 278). Jika terdapat beberapa masalah yang dihadapi dalam sebuah
masyarakat partisipatif, jawabannya bukanlah untuk membatasi partisipasi
(respons Madisonian) namun untuk mendidik dan memberikan informasi lanjutan.
0 komentar:
Post a Comment