Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Sunday, September 16, 2012

Pilkada dan Kita yang Miskin ini


Luar biasa dampak Pilkada ini, sudah inefisien secara budgeter berpotensi 'makan' produktifitas pula.  Satu pilkada bisa menyedot perhatian, pikiran, emosi, dan pada akhirnya waktu dan "produktifitas" orang orang (dari lintas elektorat atau tanpa 'kepentingan' langsung), apatah lagi 2, 3 atau atau 530 pilkada prov-kab-kota se-Indonesia. Prihatin juga kalo yang merosot produktifitasnya orang orang yang hidup di bawah 'cukup'.

Kita yang 'miskin' (minim akses ke harta atau informasi) ini tentu tidak bisa di salahkan kalo nge-gosip tentang calon kepala daerah yang kira kira bisa 'merubah' nasib kita.  Sialnya kita tidak tahu apakah kepala daerah daerah pilihan kita itu mindset-nya masih mindset penjajah atau tidak.  Program program pembangunannya (kalau ada) terlaksana atau tidak?  Kita tidak tahu, karena tidak ada yang 'kasi tau'.  Informasi? tentu banyak, tapi apa informasi itu akurat, independen dan dapat dipercaya, kita tidak tahu. Semua bisa 'dibayar'.  Apa sih yang tidak bisa dibayar? Paket atribut pilkada? akademisi? LSM? Demonstran? Lembaga survey? Penceramah di masjid? semua bisa dibayar bukan? Jadi siapa yang bisa kita percaya. Apa boleh buat, kalo akal tidak operasional, biasanya kita andalkan hati nurani saja, sekalipun ini kadang kadang gembling juga.

Karena miskin, dan bahkan semakin miskin karena produktifitas semakin menurun tadi, kita makin gampang di 'akali'.  Kepala daerah yang mindset penjajah, oportunis dan wanprestasi tadi, berkat polesan dari pihak pihak yang 'bisa dibayar', kadang terpilih lagi untuk periode 5 tahun ke depan. Kali ini yang kita pilih dengan hati nurani mungkin kalah, karena modal kampanye dan doanya kurang.  Siapa yang bakalan korban, kalau kondisinya seperti ini. 

Bagi orang orang tertentu yang punya akses ke peluang, seperti birokrat (PNS) atau pengusaha, jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya mungkin tidak masalah.  Tapi bagi kita kita yang 'miskin' (tidak punya akses) lima tahun ke depån dengan pilihan konyol yang sama bisa menjadi masalah BESAR.  Apalagi tekanan hidup dari luar tidak semakin mudah, biaya hidup tidak ada yang semakin menurun.  3 periode yang lalu (kedengarannya sebentar, tapi itu 15 tahun lalu) nilai kurs rupiah di banding US Dollar masih 2,500 perak, sekarang? 9,400 perak!!! hampir 4 kali lipat.  

Intinya, Pilkada ini bisa menjadi 'parasit' dan 'parasut' bagi kita.  Ia adalah parasit jika produktifitas kita habis untuk nge-gosip sampai kita lupa kalo kita perlu mengepulkan asap dapur atau membelikan anak anak kita buku dan pensil.  Tapi Ia juga laksana parasut kalau kita bisa memilih 'kepala daerah' yang bisa membuka peluang peluang penghidupan bagi kita yang miskin ini, untuk bisa hidup lebih bermartabat.


Pilkada dan Kita yang Miskin ini Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment