Luar biasa dampak Pilkada ini, sudah
inefisien secara budgeter berpotensi 'makan' produktifitas pula. Satu
pilkada bisa menyedot perhatian, pikiran, emosi, dan pada akhirnya waktu dan
"produktifitas" orang orang (dari lintas elektorat atau tanpa
'kepentingan' langsung), apatah lagi 2, 3 atau atau 530 pilkada prov-kab-kota
se-Indonesia. Prihatin juga kalo yang merosot produktifitasnya orang orang yang
hidup di bawah 'cukup'.
Kita yang 'miskin' (minim akses ke harta
atau informasi) ini tentu tidak bisa di salahkan kalo nge-gosip tentang calon
kepala daerah yang kira kira bisa 'merubah' nasib kita. Sialnya kita tidak
tahu apakah kepala daerah daerah pilihan kita itu mindset-nya masih mindset penjajah
atau tidak. Program program pembangunannya (kalau ada) terlaksana atau
tidak? Kita tidak tahu, karena tidak ada yang 'kasi tau'.
Informasi? tentu banyak, tapi apa informasi itu akurat, independen dan
dapat dipercaya, kita tidak tahu. Semua bisa 'dibayar'. Apa sih yang
tidak bisa dibayar? Paket atribut pilkada? akademisi? LSM? Demonstran? Lembaga
survey? Penceramah di masjid? semua bisa dibayar bukan? Jadi siapa yang bisa
kita percaya. Apa boleh buat, kalo akal tidak operasional, biasanya kita andalkan
hati nurani saja, sekalipun ini kadang kadang gembling juga.
Karena miskin, dan bahkan semakin miskin
karena produktifitas semakin menurun tadi, kita makin gampang di 'akali'.
Kepala daerah yang mindset penjajah, oportunis dan wanprestasi tadi,
berkat polesan dari pihak pihak yang 'bisa dibayar', kadang terpilih lagi untuk
periode 5 tahun ke depan. Kali ini yang kita pilih dengan hati nurani mungkin
kalah, karena modal kampanye dan doanya kurang. Siapa yang bakalan
korban, kalau kondisinya seperti ini.
Bagi orang orang tertentu yang punya akses
ke peluang, seperti birokrat (PNS) atau pengusaha, jatuh di lubang yang sama
untuk kedua kalinya mungkin tidak masalah. Tapi bagi kita kita yang
'miskin' (tidak punya akses) lima tahun ke depån dengan pilihan konyol yang sama
bisa menjadi masalah BESAR. Apalagi tekanan hidup dari luar tidak semakin
mudah, biaya hidup tidak ada yang semakin menurun. 3 periode yang lalu
(kedengarannya sebentar, tapi itu 15 tahun lalu) nilai kurs rupiah di banding
US Dollar masih 2,500 perak, sekarang? 9,400 perak!!! hampir 4 kali lipat.
Intinya, Pilkada ini bisa menjadi 'parasit'
dan 'parasut' bagi kita. Ia adalah parasit jika produktifitas kita habis
untuk nge-gosip sampai kita lupa kalo kita perlu mengepulkan asap dapur atau
membelikan anak anak kita buku dan pensil. Tapi Ia juga laksana parasut
kalau kita bisa memilih 'kepala daerah' yang bisa membuka peluang peluang
penghidupan bagi kita yang miskin ini, untuk bisa hidup lebih bermartabat.
0 komentar:
Post a Comment