Pancasila, sebagai dasar Indonesia merdeka,
merupakan acuan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan pendekatan pola
pemikiran deduktif. Allah menciptakan manusia berbangsa bangsa
bersuku suku adalah merupakan Ketetapan Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai suatu
hukum alam. Hukum Alam ini tumbuh menjadi suatu keyakinan yang akan berkembang
menjadi nilai-nilai kehidupan sebagai dasar dibangunnya berbagai macam
aturan-aturan oleh manusia untuk mengatur kehidupan mereka yang disebut norma.
Negara dibentuk berdasarkan norma yang disepakati.
Norma sebagai aturan/hukum, kebenarannya
secara hakiki masih tetap bersifat tidak pasti, tidak tetap, dan belum tentu
diterima oleh siapapun juga. Agar memiliki kepastian hukum yang benar dan baik,
kebenaran norma tersebut harus dikaji ulang terhadap hukum alam yang ada dan
terkait. Keseluruhan proses ini disebut Ketetapan Tuhan Yang Maha Kuasa
lagi Maha Pencipta (Sunattullah). Pola pendekatan pemikiran deduktif ini akan
memberikan peluang yang lebih besar untuk mencapai suatu kebenaran yang hakiki
dan mengarah kepada kebenaran yang bersifat universal, karena adanya usaha
mendekatkan kebenaran relatif dari proses ikhtiar yang dikerjakan terhadap
hukum alam yang ada sebagai kebenaran absolute (abadi). Disinilah Pancasila
sebagai Dasar Indonesia Merdeka telah menetapkan Bangsa Indonesia lebih
dahulu terlahir, baru kemudian Pemerintahan Negara Republik Indonesia dibentuk.
Keseluruhan tatanan (sistem) yang utuh ini disebut sebagai Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Adapun Zionisme sebagai suatu faham yang
berorientasi pada kekuasaan sangat diorientasikan pada pendekatan
induktif. Bagaimana negara dibentuk untuk mengatasi suatu kondisi yang menurut
mereka (‘the elders of zion’) benar, yaitu bahwa manusia yang baik jumlahnya
sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah manusia yang buruk. Maknanya,
filosofi dan asumsi, baik yang bersifat materialistik atau idealistic, memegang
peranan penting sebagai dasar dibangunnya suatu aturan/hukum untuk mengatur
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga, proses umpan balik yang dilakukan
akan menyempurnakan filosofi dan asumsi yang akan digunakan untuk membangun
aturan/hukum yang berikutnya. Secara keseluruhan maknanya, kebenaran yang akan
dicapai adalah suatu kebenaran relatif.
Kebenaran absolute (abadi) tidak
diikutsertakan di dalam pendekatan ini. Disinilah Zionisme melahirkan suatu
tatanan, dimana Negara dibentuk terlebih dahulu, baru kemudian Bangsanya
dilahirkan. Adapun Negara yang dibentuk sangat ditentukan oleh faham yang digunakan
menjadi dasar pemikiran Negara tersebut dibentuk. Kemudian, faham tersebut akan
menentukan faham yang dianut oleh bangsanya. Misalnya, bila Negara itu dibentuk
dengan faham komunis, maka bangsanya akan berfahamkan komunis. Bila Negara itu
dibentuk dengan faham sosialis, bangsanya pun akan disebut bangsa sosialis.
Bila Negaranya dibentuk dengan faham liberal, maka bangsanya akan tumbuh dan
berkembang menjadi bangsa liberal. Begitu juga, bila Negaranya dibentuk dengan
faham konservatif, maka bangsanya pun akan disebut sebagai bangsa konservatif
dan lain-lainnya.
Kondisi yang dibentuk oleh zionisme ini
diikuti oleh hampir seluruh Negara-Negara di dunia, kecuali Indonesia. Secara
struktur, mereka membentuk Negara, dalam hal ini kekuasaan pemerintahan negaranya
terlebih dahulu, yang akan digunakan menjadi pondasi di dalam membangun
kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Kemudian, baru bangsanya dilahirkan.
Tatanan (sistem) ini disebut sebagai Negara-negara moderen (modern states),
yaitu negara yang menjalankan proses demokrasi. PEMILU (hak pilih/vote)
adalah metoda yang digunakan untuk mengangkat para pemimpinnya. Tetapi, Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki struktur Bangsa (‘kedaulatan’)
sebagai pondasi untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegaranya, karena
baru kemudian Negara dibentuk. Oleh karena itu, Lembaga Bangsa, dalam hal ini
adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) harus dibentuk terlebih dahulu
secara benar dan baik. Lembaga Bangsa ini akan melaksanakan sepenuhnya kedaulatan
rakyat untuk membentuk Pemerintahan Negara Republik Indonesia. Inilah dua
sistem yang berbeda, tetapi akan saling menyempurnakan dan saling melengkapi
kekayaam literatur-literatur dunia untuk membangun kehidupan berbangsa dan
bernegara di muka bumi.
Disinilah adanya perbedaan yang hakiki di
dalam memaknakan kata kemerdekaan untuk Bangsa dan Negara yang dibangun
berdasarkan Pancasila, dalam hal ini adalah NKRI, diperbandingkan dengan Negara
yang dibangun berdasarkan faham zionisme, yaitu Negara-negara yang ada di
seluruh dunia. Kemerdekaan untuk NKRI adalah tegaknya “Kedaulatan Bangsa”, yang
biasa kita sebut sebagai tegaknya Kedaulatan Rakyat. Kemerdekaan untuk
Negara-negara di seluruh dunia adalah tegaknya Kekuasaan Negara.
Sehingga, Demokrasi yang harus ditegakkan di
Indonesia adalah membangun Kedaulatan Rakyat yang semakin utuh dan kuat di
dalam membentuk Lembaga Kedaulatan Rakyat (MPR) yang berfungsi sebagai Lembaga
Tertinggi Negara untuk menetapkan Undang-Undang Dasar, sebagai Konstitusi
Negara Republik Indonesia, dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai
landasan untuk membentuk Lembaga Tinggi Negara yang memegang dan menjalankan
fungsi kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatifnya.
Sementara, Demokrasi yang ditegakkan di Negara-negara di seluruh dunia adalah
membangun suatu metoda untuk mendistribusikan kekuasaan yang berimbang di dalam
membentuk pemerintahan negara baik untuk kekuasaan eksekutif, kekuasaan
legislatif, dan kekuasaan yudikatifnya.
Keutuhan dan kekuatan MPR yang berfungsi
sebagai Lembaga Kedaulatan Rakyat, Lembaga Bangsa, dan Lembaga Tertinggi Negara
harus terdistribusi merata di seluruh wilayah NKRI. Maknanya, bahwa seluruh
jumlah penduduk dengan kehidupannya beserta kekayaan alam dan kekayaan intelektualnya
akan selalu di audit oleh MPR yang memainkan peran dan fungsi sebagai Lembaga
Kedaulatan Rakyat dan Lembaga Bangsa. Kekutuhan dan kekuatan MPR ini hanya akan
bisa dibangun dan terbangun melalui proses MUSYAWARAH-MUFAKAT. Dalam kurun
waktu lima tahun sekali sekurang-kurangnya Anggota MPR berkumpul dan bersidang
di Ibu Kota Negara sebagai Lembaga Tertinggi Negara untuk menetapkan UUD dan
GBHN, memilih dan mengangkat seseorang menjadi Presiden RI dan Wakil Presiden
RI, dan mengesahkan serta membentuk Lembaga Tinggi Negara lainnya yang telah
disepakati dan ditetapkan. Proses yang digunakannya pun adalah proses
MUSYAWARAH-MUFAKAT. Setelah selesai bersidang untuk melaksanakan tugas,
kewajiban, dan wewenangnya, seluruh Anggota MPR kembali ke wilayahnya masing-masing
dari mana Anggota-Anggota tersebut berasal untuk memantau dan mengawasi serta
menilai langsung pekerjaan yang dilakukan oleh Pemerintahan NKRI baik yang
berada di pusat dan di daerah.
Adakah Hak Suara (’Voting’) yang digunakan
untuk membangun NKRI? Jawabnya ada di dalam MPR! Hak Suara MPR tidak hanya
untuk menetapkan dan mengangkat seseorang menjadi Presiden RI dan Wakilnya. Hak
Suara Anggota MPR digunakan untuk menguji Pemikiran dan Konsep dari para calon
Presiden RI dan Wakil Presiden RI terpilih, yang terpilih dari proses
MUSYAWARAH-MUFAKAT oleh seluruh Rakyat Indonesia yang disampaikan melalui
wakil-wakilnya (Anggota-Anggota MPR).
Al hasil, Anggota-Anggota MPR adalah
wakil-wakil seluruh Rakyat Indonesia untuk melaksanakan dan menegakkan Kedaulatan
Rakyat di dalam tatanan NKRI. Sedangkan, Presiden RI/Wakil Presiden RI adalah
wakil-wakil rakyat yang melaksankan Kekuasaan Eksekutif; DPR/DPRD adalah
wakil-wakil rakyat untuk menjalankan Kekuasaan Legislatif; dan Mahkamah Agung
adalah wakil-wakil rakyat yang melaksanakan Kekuasaan yudikatif. Jadi jelaslah,
bahwa Rakyat Indonesia yang bisa menjadi Presiden RI/Wakil Presiden RI,
Anggota-Anggota DPR/DPRD, dan Anggota-Anggota Mahkamah Agung serta Pejabat
Tinggi Negara lainnya harus pernah memegang dan tidak diberhentikan pada saat
menjadi Anggota-Anggota MPR. MPR adalah kawah candra dimuka para
PEJABAT-PEJABAT TINGGI NEGARA PEMERINTAHAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA!
0 komentar:
Post a Comment