Sesuatu ajaran hanya bisa hidup bertahan
ditengah-tengah masyarakat manakala masyarakat itu sendiri memiliki kebebasan
untuk melakukan interpretasi ajaran tersebut sesuai dengan kultur masyarakat
setempat. Dengan proses adaptasi dan akomodasi dan sekaligus seleksi terhadap
budaya lokal tersebut menjadikan islam dipahami masyarakat sebagai hal yang genuine
bukan sebagai pendatang. Pola integrasi inilah yang mengantarkan islam melalui
tiga proses perkembangan yaitu Islam
datang, Islam berkembang dan Islam menjadi kekuatan politik.
Kehadiran islam di nusantara telah mengalami
proses adaptasi secara kultural dengan budaya setempat sehingga demikian banyak
kosa kata arab sebagai bahasa resmi Islam ke dalam khasanah Indonesia termasuk dalam
term-term politik. Kata-kata yang menyebut nama-nama hari di Indonesia sepenuhnya
diadopsi dari Islam sejak dari ahad, senin dan seterusnya sekalipun kemudian
oleh karena interaksi dengan dunia barat kata ahad belakangan lebih populer penyebutanya
dengan minggu (dominggos) yaitu
sebagai hari Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa kedatangan islam di Indonesia membawa
kedamaian dan terjadinya proses imansipasi dari penduduk negeri ini sehingga
mereka menjadi bagian dari masyarakat kosmopolit yang terwujud melalui ibadah
sholat dan haji.
Lalu kemudian Islam berhadapan dengan
penganut agama-agama lain di Indonesia berjalan secara damai dan alamiah. Hal ini
disebabkan karena kehadiran islam tidak merubah struktur sosial yang sudah ada
bahkan mengadopsi sistim sosial itu guna kepentingan internalisasi islam
seperti pemanfaatan sebagai primus
interpares sehingga mubaligh yang datang ke Indonesia waktu itu juga harus
melengkapi dirinya dengan wibawa kepemimpinan di atas yaitu wibawa spiritual
dan temporal.
Kebebasan yang diberikan islam terhadap
ummat manusia untuk menganutnya tidak serta merta memberikan kebebasan kepada
mereka untuk merekayasa ajaran islam melalui selera mereka. Inilah kritik yang
dilancarkan oleh ulama-ulama di Indonesia terhadap kehadiran ahmadiyah terutama
ahmadiyah qadiyani. Sepanjang aliran ini hanya bersinggungan dengan
perkembangan pemikiran yang tidak berkenan dengan bangunan dasar islam yaitu
aqidah, maka dapat dipastikan bahwa ummat islam Indonesia akan memberikan
toleransi terhadapnya. Akan tetapi karena menyinggung aspek bangunan dasar,
maka tidak dapat dielakan munculnya reaksi terhadapnya sejak awal abad 20 yang
lalu dan terus berlanjut sampai sekarang. Hal itu menunjukkan bahwa pada setiap
kebebasan selalu ada rambu-rambu yurisdikasi yang membatasinya guna menjaga
keaslian dan kesinambungan ajaran islam bagi generasi kemudian.
Tidak dapat disangkal bahwa telah terjadi
kemajemukan sosial di dalam kehidupan ummat manusia. Oleh karena itu, islam
sebagaimana yang telah berjalan di Indonesia menganut konsep toleransi yaitu
dengan jalan melakukan klasifikasi terhadap tiga macam bentuk persaudaraan
seagama, sebangsa dan sesama ummat manusia. Hal ini membawa konsekuensi bahwa
setiap muslim harus menyadari bahwa ia hidup dalam realitas kehidupan sosial yang
majemuk dan oleh karena itu ia disatu sisi harus memiliki keyakinan akan
kebenaran ajaran agama yang dianutnya dan pada saat yang sama ia harus
memberikan penghargaan terhadap ajaran agama yang dianut oleh saudaranya yang
lain. Dengan demikian pengakuan akan kesamaan kebenaran kebenaran agama ada
pada tataran kehidupan sosial kenegaraan sedang pada kehidupan pribadi harus
memiliki kebenaran yang absolute.
Sesuai dengan prinsip pendirian Indonesia sebagai
Negara kebangsaan bahwa Negara memiliki jarak yang sama dengan semua warga
negaranya dan demikian pula sebaliknya. Dalam kaitan inilah setiap agama yang
berkembang di indonesia untuk masing masing berlomba memberikan kontribusinya bagi
pembangunan indonesia di masa depan. Dengan perkataan lain, eksistensi agama-agama
di indonesia akan sangat tergantung dari kontribusi mereka terhadap Negara-negara
yang bersifat lintas agama maupun budaya.
0 komentar:
Post a Comment