Pada prinsipnya seluruh manusia memiliki
gagasan-gagasan. Jika anda membaca tulisan ini nah apa yang ada dalam diri anda
tentang tulisan ini adalah gagasan. Mekanisme terbentuknya gagasan pada manusia
memiliki sejarah yang panjang, terkait tentang instrumen yang di pakai, pada
obyek gagasan sendiri apakah keseluruhan dimensinya dan yang paling menyita
pikiran para pemikir tentang obyektifitas/subyektifitas gagasan itu sendiri.
Gagasan adalah kosa kata yang populer
juga sering kali muncul dalam perdebatan filsafat,sains,sosiologi hingga
mayoritas ummat beragama yang menaruh kecurigaan besar terhadapnya. Gagasan
atau ide-ide di pahami sebagai "citra mental" terhadap sesuatu. Tentu
penting kita bicarakan sama-sama tapi "anda harus kecewa"sebab ini
bukan tulisan tentang seluk beluk perdebatan epistemolgi.
Gagasan manusia terhadap sesuatu
memililki efek siginifikan terhadap platform tindakan. Jika "kesimpulan
gagasan" anda mesti berdemokrasi maka semestinya anda berdemokrasi
begitupula sebaliknya (tapi kayaknya perlu anda pikir-pikir sebelum di anggap
kaum fundamentalis). Jika kesimpulan gagasan anda meniadakan yang transenden
pada interaksi selayaknya anda bertindak demikian. Namun tidak jarang terjadi
sebaliknya. Gagasan seseorang bisa sangat demokratis yang tercermin pada
pernyataan yang retoris tetapi tindakan nihil nilai demokrasi. Nilai
pluralitas, keterbukaan dan keadilan yang menjadi ciri demokrasi terbang
bersama ambisi-ambisi.
Ada banyak nasehat dari manusia-manusia
agung sepanjang sejarah tapi "mentok" di salah satu otak kita tanpa
pernah bersambung dengan syaraf-syaraf otak lainnya (Tentu bukan maksud penulis
mengatakan yang berpikir adalah otak sebab itu perdebatan "tempo
doeloe". Bukankah otak hanya medium bagi akal manusia? sebagaimana mata
yang menjadi medium bagi penglihatan atau telinga yang menjadi medium bagi
pendengaran dan indera lainnya).Ada banyak “local wisdom” tapi berhenti di
sudut-sudut kuping kita. Ada banyak kata yang terbaca oleh mata tapi tak
bermakna bagi jiwa. Yah jiwalah yang memberi makna pada segala sesuatunya.
Kejadian bisa saja sama tapi pemaknaan sudah pasti berbeda tergantung kualitas
jiwa seseorang. Pada dasarnya semua yang datang dari Tuhan adalah ujian namun
bagi jiwa yang lemah jadi bencana. Memberi makna sudah menjadi karakter manusia
di samping potensi rasionalitasnya. Bangunlah jiwanya bangunlah badannya
demikian lirik lagu negeri kita. Jiwa menjadi perioritas dan badan belakangan.
Hal yang berbeda kita dapatkan pada
ideology pembangunan Indonesia. Sebuah media mengabarkan bahwa Pusat
Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin lagi terancam karena anggaran yang
kurang bahkan tidak tetap. Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin tertatih
untuk menjaga koleksi 16.316 judul buku fiksi, 11.990 judul buku nonfiksi, 457
judul buku referensi, 772 judul buku/naskah drama, 750 map berisi biografi
pengarang, 15.552 map kliping dari berbagai sumber, 610 lembar foto pengarang,
571 judul makalah, 630 judul skripsi dan disertasi, serta 732 kaset rekaman
suara dan 15 kaset rekaman video dari para sastrawan Indonesia. Sastra adalah
urusan jiwa sedangkan mall berjibaku itu hanya memperparah sifat konsumtif kita
bahkan mematikan pedagang kecil seperti yang terjadi pada tetangga saya. Ah
negeri kita memang sudah menyimpang jauh.
Pada negeri kita penyimpangan gagasan
itu amat telanjang. Dimusim kampanye berbicara tentang kecemerlangan bangsa
ketika terpilih kembali tapi apa yang terjadi? Kita tentu sama-sama tidak tau
karena memang tidak mau tau. Kita telah cacat,cacat makna. Di kota ini
diimpikan oleh sebagian “pemimpi” menuju kota dunia tapi rintik-rintik hujan
telah membuatnya kebanjiran. Yah Makassar kota dunia hanya impian tanpa makna.
Makassar Gemar Membaca tak pernah
membaca. Berhenti secepat kampanye politik. Makassar Gemar Membaca telah pula
dilupakan mungkin karena memang hanya jasad. Selayaknya rongsokan Hp saya yang
tak lagi berguna bahkan untuk menyimpannya saja telah enggan. Padahal Berdasarkan
kajian UNESCO, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang punya minat
baca tinggi. Satu buku rata-rata dibaca lima orang. Menurut Lucya Andam Dewi
(Ketua IKAPI), laporan dari toko-toko buku di seluruh Indonesia menyebutkan ada
15.000- 18.000 judul buku/tahun yang diterbitkan. Malaysia yang penduduknya
lebih kecil dari Indonesia bisa menerbitkan sekitar 12.000 judul buku/tahun,
sedangkan Jepang bisa menerbitkan 100.000 judul buku/tahun.
Dan banyak lagi penyimpangan gagasan
lainnya…Gagasan saya telah patah semoga bukan tanda-tanda akan menyimpangkan
gagasan.
0 komentar:
Post a Comment