Orang yang mengakui atau datang dari
kelompok otoritarian menemukan betapa sulitnya menerima bahwa kita dapat hidup
teratur tanpa ‘sebentuk’ Pemerintahan. Karenanya mereka simpulkan, dan ini
merupakan alasan umum melawan Anarkisme, bahwa ‘Anarkis tidak percaya organisasi’.
Tapi, bukankah pemerintah adalah tentang orang, sedangkan organisasi adalah
tentang sesuatu?
Ada kepercayaan bahwa Anarkis ‘merusak
organisasi orang lain tetapi tidak mampu membangun organisasi mereka sendiri’.
Hal ini bisa diakui bahwa sebagian orang di sebagian tempat telah gagal dalam
tugasnya membangun organisasi Anarkis, tetapi di beberapa bagian dunia mereka
juga bisa (IWW/Industrial Worker’s of the World di Amerika, NCT dan
kolektif-kolektif di Spanyol tahun 1930-an, beberapa organisasi sindikalis di
Prancis, gerakan Food Not Bomb di Amerika, dll). Suatu organisasi bisa jadi
demokratik atau diktatorial, bisa juga otoritarian atau libertarian, dan ada
banyak organisasi libertarian, yang memang tidak selalu anarkis, yang
membuktikan bahwa tidak semua organisasi tidak harus butuh dijalankan dari atas
ke bawah (top downwards). Ide-ide tentang ‘forum warga’ yang dibentuk secara
‘partisipatoris’, penyelesaian masalah setempat secara ‘partisipatoris’,
pembangunan botom-up, dan semua yang sedang ngetrend tentang ‘community
governance’, merupakan percikan ide anarkis yang meyakini bahwa keberadaan
komuniti secara bebas tanpa campur tangan pihak luar secara ‘top-down’ dalam
mengelola ekonomi dan hubungan sosial untuk kesejehteraan bersama mereka, bisa
dilakukan.
Anarkis menawarkan keyakinan bahwa
organisasi bisa terbentuk dari kesadaran semua pihak dalam suatu komuniti tanpa
harus dimasukkan secara paksa oleh pihak luar dengan alasan penguatan atau
pembangunan. Anarkis mewanti-wanti jangan sampai organisasi tersebut menjadi
wahana pemupukkan keberadaan sebagian orang dengan hak istimewa yang bisa
menghantar ke otorianisme dengan tujuan, karateristik, atau syarat-syarat
keberadaannya yang tetap, tetapi dengan memelihara organisasi sebagai sesuatu
yang jalan secara ad hoc saja.
Keberadaan organisasi dalam gerakan
sosial itu perlu. Memang benar bahwa perjuangan yang tidak terorganisasi sulit
akan berhasil. Tetapi sejarah pemberontakan kaum tertindas di banyak wilayah
menunjukkan bahwa keberadaan organisasi permanen yang formal dalam gerakan
sosial justru wahana paling mudah bagi negara atau kapitalis mengendalikannya.
Selain itu dengan mengimingi janji bahwa perubahan hanya akan terjadi dengan
dan melalui organisasi yang disiplin, para aktivis sosial justru menjebak kaum
tersisih dan dirinya sendiri ke dalam mimpi dunia nyata yang menindas akar
keberadaan mereka. Seperti semua organisasi otoritarian, disiplin yang
dimaksudkan adalah disiplin heteronom berupa keberadaan struktur formal yang
kuat yang bisa mendisiplinkan anggotanya dari atas dengan keberadaan
‘pemerintah’ yang terlembagakan secara formal.
Dalam masyarakat yang otoritarian tentu
saja usul ini terdengar masuk akal. Bagaimana mungkin bisa mengadakan kegiatan
untuk perubahan tanpa organisasi yang kuat untuk melakukannya? Memang benar,
tetapi keberadaan organisasi permanen yang otoritasnya terlembaga secara
formal, dengan struktur perintah dan tujuan-tujuan yang relatif tetap justru
akan memudahkan tangan-tangan otoriter yang lebih besar, entah dari negara
maupun kapitalis, untuk memasukkan alat-alat peninaboboan. Yang terjadi
kemudian adalah pembuyaran kesadaran kritis dan penyuburan tradisi ketundukan
pada otoritas. Jadilah organisasi hanya sebagai wadah penjinakan
(domestification) dan alat status quo mengendalikan potensi perubahan sosial
yang bisa melenyapkan mereka dan lembaga. Atau menjadi oposisi terhadap
pemerintahan negaranya lewat kritik yang justru melanggengkan otoritas
kapitalis neoliberal. (misalnya oposisi lsm yang menginginkan otonomi daerah
secara penuh sehingga memudahkan modal asing bisa langsung masuk daerah tanpa
lewat pemerintah pusat).
Organisasi formal dengan disiplin yang
berasal dari sumber heteronomi akan melemahkan kesadaran otonomi anggotanya
bahwa mereka yang tertindas bisa mengendalikan diri mereka sendiri untuk lepas
dan menghancurkan penindasan tanpa campur tangan negara. Orde baru menjinakkan
perempuan dengan organisasi Dharma Wanita atau PKK, PKI menjinakkan dan
memanfaatkan perempuan secara politik lewat Gerwani, LSM dijinakkan kapitalis
dengan organisasi formal lewat lembaga donor internasional. Dengan adanya
lembaga otoritas dalam organisasi, para kapitalis yang bekerja sama dengan
pemerintah mengeluarkan biaya lebih murah daripada ketika organisasi tersebut
tanpa kepala. Pegang kepalanya, sekolahkan, masukan ide dan ‘inseminasi’
kesadaran sehingga program-program organisasi ditentukan dari atas sejalan
tujuan kapitalis (lewat donor yang bisa saja berwajah revolusioner dalam
istilah-istilahnya), lalu jinakkan semuanya. Tentu saja proyek besar penjinakan
juga dilakukan dengan menebar mitos-mitos modern yang mendukung tujuan besar
imperium kapitalis: rasionalitas organisasi modern a la Weber (yang kemudian
diperdalam oleh konsep organisasi efektif dan efisien modern ala
neo-liberalisme), human capital, atau pembagian kerja berdasarkan kompetensi.
Konsep organisasi modern rasional Weber
disebar untuk menumbuhkan keyakinan bahwa organisasi di masa modern sekarang
harus ditata lewat pengaturan otoritatif-birokratis yang anonim serta mengikis
atau melenyapkan hubungan-hubungan pribadi dalam hubungan sosial. Hal ini
dilakukan dengan alasan mengefisienkan kerja dan mengefektifkan pencapaian
tujuan bersama. Hal ini pula yang diperjuangkan neoliberalis dalam
hubungan-hubungan ekonomi. Dalam transaksi, yang ada adalah kategori-kategori:
pedagang/pembeli; dan individu manusia dengan semua masalah pribadi, sosial,
kedudukan, dan perasaannya, sedapat mungkin disingkirkan.
Konsep human capital menghantar kita,
sadar ataupun tidak, menempatkan manusia sebagai barang dagangan: sumber daya
yang bisa dieksploitasi! Dan ini berkait dengan upaya kapitalis neoliberal
untuk meruntuhkan solidaritas antarmanusia dengan konsep ‘pembagian kerja
berdasar kompetensi’. Pengasingan manusia-manusia dari keberadaannya sebagai
makhluk sosial dan menenggelamkannya ke dalam kesibukan-kesibukan
‘spesialisasi’ mengendurkan ikatan solidaritas kemanusiaannya. Hubungan-hubungan
kerja kontraktual terasa begitu masuk akal dalam logika kapitalis neoliberal:
dengan pranata ini kekuasaan pekerja lemah. Hal ini juga harus didahului oleh
prakondisi berupa tingginya pengangguran sehingga hubungan kerja ditekan oleh
ketakutan akan diputuskan sewaktu-waktu. Toh banyak yang antri melamar kerja.
Untuk menebar konsep hubungan kerja dan lembaganya ini, kapitalis-neoliberal
telah menjalankan proyek besar berupa perendahan kualitas otonomi. Dengan
berkembangnya kesadaran heteronomi, orang menjadi bergantung pada kendali dari
luar. Waktu ada polisi tertib, tak ada polisi rusuh. Waktu ada pimpinan rajin,
tak ada pemimpin malas-malasan. Juga menciptakan manusia-manusia rakus yang
mementingkan diri sendiri, karena setiap individu adalah wirausahawan yang
mengelola human capitalnya sendiri-sendiri. Keadaan ini memberi kapitalis
neoliberal rujukan kenyataan untuk memaksakan ide hubungan kerja kontrak dan
spesialisasi.
Dengan pemisahan yang kaku ini, tentu
saja karena adanya organisasi yang memiliki otoritas ‘kuat’, solidaritas
kolektif terhapus dari kesadaran kaum tertindas dan ‘para pejuangnya’.
Pandangan dunia Hobbesian dalam benak hampir semua orang saat ini bukan takdir
Tuhan yang telah digariskan di lauh, tetapi hasil kerja manusia. Pandangan dunia
ini kian menjadi yang paling dominan dengan dikuasainya alat-alat produksi
informasi oleh mereka yang menghendaki kekuasan otoritarian di tangan mereka:
penguasa politik dan penguasa ekonomi kapitalis. Omong kosong demokrasi dan
kebebasan individu yang digembar-gemborkan keduanya sebenarnya ilusi
keikutsertaan dalam politik; topeng yang menutupi wajah bopeng kemanusiaan
mereka yang sebenarnya menindas. Pandangan dunia ini diberi pembenaran dengan
kenyataan-kenyataan kontemporer bahwa manusia pada dasarnya terikat dalam
konflik, dan karenanya perlu otoritas yang bisa mendisplinkan (mengendalikan)
konflik tersebut.
Benar bahwa kenyataan saat ini memberi
pembenaran bahwa hubungan antarindividu berlandas konflik, tetapi bukan berarti
solusinya adalah keberadaan lembaga yang mengatasi semua individu dan mempunyai
otoritas tak terbantah karena keberadaannya merupakan keniscayaan keberadaan
manusia. Lagi pula, keadaan ini mungkin tidak akan berlaku lagi jika kesadaran
solidaritas kemanusiaan meresapi pola pikir dan pola tindak semua manusia suatu
hari nanti. Jadi, bagi yang menghendaki keberadaan lembaga otoritatif, konflik
adalah untuk diredam atau bisa dihilangkan melalui keberadaan lembaga
otoritatif tersebut, entah yang kuat dan terang-terangan seperti negara
otoriter atau sembunyi-sembunyi layaknya otoritas kapitalisme neoliberal dengan
semboyan demokrasi dan kebebasan individu semunya itu. Tujuan ini diyakini juga
oleh sekelompok orang yang menentang penindasan, seperti kaum Marxis yang
percaya keberadaan organisasi partai atau negara sosialis, dengan atau pun
tanpa parlemen, untuk menyelesaikan masalah penindasan. Konflik-konflik
dilokalisir dan dijadikan konflik antarorganisasi yang murah dan bisa
dikendalikan atau dengan kata lain lewat pelembagaan konflik. Ini merupakan
tujuan status quo agar tidak terjadi perubahan radikal sehingga kedudukan
mereka masih bisa dipertahankan. Ganti-ganti topeng tak apalah, yang penting
tetap berkuasa. Kooptasi lebih mudah dilakukan ketika pergerakan sosial
terorganisasi dengan otoritas formal yang kuat. Ide ini, di ranah ilmiah
disodorkan Dahrendorf, misalnya, yang ternyata fungsionalis juga akhirnya.
Anarkis, sebagai salah satu oponen
sosialis radikal anti-otoritarian, juga tidak memandang semua organisasi
sebagai sesuatu yang buruk, dan tidak juga berpendapat bahwa baik-buruk
organisasi adalah karena ‘orangnya’, tetapi organisasi yang menempatkan orang
dalam posisi otoritatif yang dilanggengkan secara formal sehingga bisa
mengendalikan orang lain itulah yang ditolak. Dan ini bukan masalah orang atau
hati orang, tetapi keberadaan lembaga formal yang memberi kekuasaan transenden
bagi seseorang atau sekelompok orang yang bisa mengendalikan orang dari atas
merupakan sebentuk otoritarianisme yang berbahaya bagi kebebasan manusia
otonom, terutama mereka yang tertindas. Dengan penyuburan organisasi demikian
maka potensi perubahan sosial yang radikal akan lenyap atau malih warna dengan
topeng yang seolah-olah revolusioner padahal menutupi bopeng otoritas mereka
dalam memperbudak manusia lain. Selain itu, dan ini paling penting, adalah
lenyapnya kualitas hubungan personal yang bisa teratur dengan individu-individu
yang memunyai otonomi diri.
Lalu organisasi seperti apa yang
diajukan anarkis untuk pergerakan sosial? Anarkis, sejak lama menolak semua
bentuk organisasi yang menempatkan sebagian orang dalam kedudukan yang lebih
tinggi dari orang lain lewat pelembagaan hirarki secara formal. Organisasi
dalam anarkisme haruslah yang terbentuk secara sukarela dan untuk tujuan-tujuan
ad hoc saja serta tidak menerima keberadaan orang tertentu sebagai orang yang
punya hak istimewa dalam organisasi hanya karena dia berpengetahuan lebih
banyak dan menjadi ‘koordinator’. Diktumnya “from each according to ability, to
each according to need!”. Artinya anarkis tidak hendak menciptakan kelas
istimewa dalam organisasi; karenanya sepanjang sejarah, organisasi anarkis
biasanya dalam bentuk konfederasi atau sindikasi atau kolektif yang
pengorganisasiannya tidak ditangan kelas tersendiri yang memunyai kewenangan
penuh secara formal. Keberadaan lembaga konfederasi yang menengahi
antarfederasi hanya sebagai lembaga yang berfungsi ketika ada kebutuhan di
antara federasi untuk menyelesaikan masalah atau melakukan aksi secara
bersamaan. Semacam koordinator ad hoc, yang setelah aksi atau penyelesaian,
lembaga tersebut tidak lagi punya otoritas untuk memerintah ini-itu lagi.
Anarkisme mempercayai kepemimpinan “primus inter pires”; yang utama di antara
yang setara.
Dalam lingkup kecil, anarkis membentuk
diri dalam komune-komune kepemilikan bersama atas sarana produksi.
Komune-komune ini, seperti kolektif-kolektif di Spanyol di masa keemasan
anarkisme 1930-an, sebelum diberangus negara fasisnya Jendral Franco, atau
kelompok-kelompok Food Not Bomb di Amerika saat ini, bekerja mengolah alat-alat
produksi dan sarana alokasi secara bersama dalam hubungan saling bergantung
dengan komune lain yang memproduksi dan mengalokasikan kebutuhan berbeda tanpa
suatu lembaga formal yang otoritatif mengatasi komponen-komponen tersebut.
Eksperimen komuniti komunis Kibbutz di Israel juga masih berlangsung hingga
sekarang.
Bagi kita yang terlahir dalam masyarakat
otoritarian dan dibimbing dalam keyakinan otoritarian, tentu sulit membayangkan
keberadaan komune-komune seperti ini pernah dan ada saat ini dan masyarakat
tanpa negara mungkin akan ada juga di masa depan sebagai alternatif sistem
ekonomi, politik, dan sosial yang ada saat ini.
0 komentar:
Post a Comment