Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Friday, July 13, 2012

Organisasi gerakan dan Anarkisme

Orang yang mengakui atau datang dari kelompok otoritarian menemukan betapa sulitnya menerima bahwa kita dapat hidup teratur tanpa ‘sebentuk’ Pemerintahan. Karenanya mereka simpulkan, dan ini merupakan alasan umum melawan Anarkisme, bahwa ‘Anarkis tidak percaya organisasi’. Tapi, bukankah pemerintah adalah tentang orang, sedangkan organisasi adalah tentang sesuatu?
Ada kepercayaan bahwa Anarkis ‘merusak organisasi orang lain tetapi tidak mampu membangun organisasi mereka sendiri’. Hal ini bisa diakui bahwa sebagian orang di sebagian tempat telah gagal dalam tugasnya membangun organisasi Anarkis, tetapi di beberapa bagian dunia mereka juga bisa (IWW/Industrial Worker’s of the World di Amerika, NCT dan kolektif-kolektif di Spanyol tahun 1930-an, beberapa organisasi sindikalis di Prancis, gerakan Food Not Bomb di Amerika, dll). Suatu organisasi bisa jadi demokratik atau diktatorial, bisa juga otoritarian atau libertarian, dan ada banyak organisasi libertarian, yang memang tidak selalu anarkis, yang membuktikan bahwa tidak semua organisasi tidak harus butuh dijalankan dari atas ke bawah (top downwards). Ide-ide tentang ‘forum warga’ yang dibentuk secara ‘partisipatoris’, penyelesaian masalah setempat secara ‘partisipatoris’, pembangunan botom-up, dan semua yang sedang ngetrend tentang ‘community governance’, merupakan percikan ide anarkis yang meyakini bahwa keberadaan komuniti secara bebas tanpa campur tangan pihak luar secara ‘top-down’ dalam mengelola ekonomi dan hubungan sosial untuk kesejehteraan bersama mereka, bisa dilakukan.

Anarkis menawarkan keyakinan bahwa organisasi bisa terbentuk dari kesadaran semua pihak dalam suatu komuniti tanpa harus dimasukkan secara paksa oleh pihak luar dengan alasan penguatan atau pembangunan. Anarkis mewanti-wanti jangan sampai organisasi tersebut menjadi wahana pemupukkan keberadaan sebagian orang dengan hak istimewa yang bisa menghantar ke otorianisme dengan tujuan, karateristik, atau syarat-syarat keberadaannya yang tetap, tetapi dengan memelihara organisasi sebagai sesuatu yang jalan secara ad hoc saja.

Keberadaan organisasi dalam gerakan sosial itu perlu. Memang benar bahwa perjuangan yang tidak terorganisasi sulit akan berhasil. Tetapi sejarah pemberontakan kaum tertindas di banyak wilayah menunjukkan bahwa keberadaan organisasi permanen yang formal dalam gerakan sosial justru wahana paling mudah bagi negara atau kapitalis mengendalikannya. Selain itu dengan mengimingi janji bahwa perubahan hanya akan terjadi dengan dan melalui organisasi yang disiplin, para aktivis sosial justru menjebak kaum tersisih dan dirinya sendiri ke dalam mimpi dunia nyata yang menindas akar keberadaan mereka. Seperti semua organisasi otoritarian, disiplin yang dimaksudkan adalah disiplin heteronom berupa keberadaan struktur formal yang kuat yang bisa mendisiplinkan anggotanya dari atas dengan keberadaan ‘pemerintah’ yang terlembagakan secara formal.

Dalam masyarakat yang otoritarian tentu saja usul ini terdengar masuk akal. Bagaimana mungkin bisa mengadakan kegiatan untuk perubahan tanpa organisasi yang kuat untuk melakukannya? Memang benar, tetapi keberadaan organisasi permanen yang otoritasnya terlembaga secara formal, dengan struktur perintah dan tujuan-tujuan yang relatif tetap justru akan memudahkan tangan-tangan otoriter yang lebih besar, entah dari negara maupun kapitalis, untuk memasukkan alat-alat peninaboboan. Yang terjadi kemudian adalah pembuyaran kesadaran kritis dan penyuburan tradisi ketundukan pada otoritas. Jadilah organisasi hanya sebagai wadah penjinakan (domestification) dan alat status quo mengendalikan potensi perubahan sosial yang bisa melenyapkan mereka dan lembaga. Atau menjadi oposisi terhadap pemerintahan negaranya lewat kritik yang justru melanggengkan otoritas kapitalis neoliberal. (misalnya oposisi lsm yang menginginkan otonomi daerah secara penuh sehingga memudahkan modal asing bisa langsung masuk daerah tanpa lewat pemerintah pusat).

Organisasi formal dengan disiplin yang berasal dari sumber heteronomi akan melemahkan kesadaran otonomi anggotanya bahwa mereka yang tertindas bisa mengendalikan diri mereka sendiri untuk lepas dan menghancurkan penindasan tanpa campur tangan negara. Orde baru menjinakkan perempuan dengan organisasi Dharma Wanita atau PKK, PKI menjinakkan dan memanfaatkan perempuan secara politik lewat Gerwani, LSM dijinakkan kapitalis dengan organisasi formal lewat lembaga donor internasional. Dengan adanya lembaga otoritas dalam organisasi, para kapitalis yang bekerja sama dengan pemerintah mengeluarkan biaya lebih murah daripada ketika organisasi tersebut tanpa kepala. Pegang kepalanya, sekolahkan, masukan ide dan ‘inseminasi’ kesadaran sehingga program-program organisasi ditentukan dari atas sejalan tujuan kapitalis (lewat donor yang bisa saja berwajah revolusioner dalam istilah-istilahnya), lalu jinakkan semuanya. Tentu saja proyek besar penjinakan juga dilakukan dengan menebar mitos-mitos modern yang mendukung tujuan besar imperium kapitalis: rasionalitas organisasi modern a la Weber (yang kemudian diperdalam oleh konsep organisasi efektif dan efisien modern ala neo-liberalisme), human capital, atau pembagian kerja berdasarkan kompetensi.

Konsep organisasi modern rasional Weber disebar untuk menumbuhkan keyakinan bahwa organisasi di masa modern sekarang harus ditata lewat pengaturan otoritatif-birokratis yang anonim serta mengikis atau melenyapkan hubungan-hubungan pribadi dalam hubungan sosial. Hal ini dilakukan dengan alasan mengefisienkan kerja dan mengefektifkan pencapaian tujuan bersama. Hal ini pula yang diperjuangkan neoliberalis dalam hubungan-hubungan ekonomi. Dalam transaksi, yang ada adalah kategori-kategori: pedagang/pembeli; dan individu manusia dengan semua masalah pribadi, sosial, kedudukan, dan perasaannya, sedapat mungkin disingkirkan.

Konsep human capital menghantar kita, sadar ataupun tidak, menempatkan manusia sebagai barang dagangan: sumber daya yang bisa dieksploitasi! Dan ini berkait dengan upaya kapitalis neoliberal untuk meruntuhkan solidaritas antarmanusia dengan konsep ‘pembagian kerja berdasar kompetensi’. Pengasingan manusia-manusia dari keberadaannya sebagai makhluk sosial dan menenggelamkannya ke dalam kesibukan-kesibukan ‘spesialisasi’ mengendurkan ikatan solidaritas kemanusiaannya. Hubungan-hubungan kerja kontraktual terasa begitu masuk akal dalam logika kapitalis neoliberal: dengan pranata ini kekuasaan pekerja lemah. Hal ini juga harus didahului oleh prakondisi berupa tingginya pengangguran sehingga hubungan kerja ditekan oleh ketakutan akan diputuskan sewaktu-waktu. Toh banyak yang antri melamar kerja. Untuk menebar konsep hubungan kerja dan lembaganya ini, kapitalis-neoliberal telah menjalankan proyek besar berupa perendahan kualitas otonomi. Dengan berkembangnya kesadaran heteronomi, orang menjadi bergantung pada kendali dari luar. Waktu ada polisi tertib, tak ada polisi rusuh. Waktu ada pimpinan rajin, tak ada pemimpin malas-malasan. Juga menciptakan manusia-manusia rakus yang mementingkan diri sendiri, karena setiap individu adalah wirausahawan yang mengelola human capitalnya sendiri-sendiri. Keadaan ini memberi kapitalis neoliberal rujukan kenyataan untuk memaksakan ide hubungan kerja kontrak dan spesialisasi.

Dengan pemisahan yang kaku ini, tentu saja karena adanya organisasi yang memiliki otoritas ‘kuat’, solidaritas kolektif terhapus dari kesadaran kaum tertindas dan ‘para pejuangnya’. Pandangan dunia Hobbesian dalam benak hampir semua orang saat ini bukan takdir Tuhan yang telah digariskan di lauh, tetapi hasil kerja manusia. Pandangan dunia ini kian menjadi yang paling dominan dengan dikuasainya alat-alat produksi informasi oleh mereka yang menghendaki kekuasan otoritarian di tangan mereka: penguasa politik dan penguasa ekonomi kapitalis. Omong kosong demokrasi dan kebebasan individu yang digembar-gemborkan keduanya sebenarnya ilusi keikutsertaan dalam politik; topeng yang menutupi wajah bopeng kemanusiaan mereka yang sebenarnya menindas. Pandangan dunia ini diberi pembenaran dengan kenyataan-kenyataan kontemporer bahwa manusia pada dasarnya terikat dalam konflik, dan karenanya perlu otoritas yang bisa mendisplinkan (mengendalikan) konflik tersebut.

Benar bahwa kenyataan saat ini memberi pembenaran bahwa hubungan antarindividu berlandas konflik, tetapi bukan berarti solusinya adalah keberadaan lembaga yang mengatasi semua individu dan mempunyai otoritas tak terbantah karena keberadaannya merupakan keniscayaan keberadaan manusia. Lagi pula, keadaan ini mungkin tidak akan berlaku lagi jika kesadaran solidaritas kemanusiaan meresapi pola pikir dan pola tindak semua manusia suatu hari nanti. Jadi, bagi yang menghendaki keberadaan lembaga otoritatif, konflik adalah untuk diredam atau bisa dihilangkan melalui keberadaan lembaga otoritatif tersebut, entah yang kuat dan terang-terangan seperti negara otoriter atau sembunyi-sembunyi layaknya otoritas kapitalisme neoliberal dengan semboyan demokrasi dan kebebasan individu semunya itu. Tujuan ini diyakini juga oleh sekelompok orang yang menentang penindasan, seperti kaum Marxis yang percaya keberadaan organisasi partai atau negara sosialis, dengan atau pun tanpa parlemen, untuk menyelesaikan masalah penindasan. Konflik-konflik dilokalisir dan dijadikan konflik antarorganisasi yang murah dan bisa dikendalikan atau dengan kata lain lewat pelembagaan konflik. Ini merupakan tujuan status quo agar tidak terjadi perubahan radikal sehingga kedudukan mereka masih bisa dipertahankan. Ganti-ganti topeng tak apalah, yang penting tetap berkuasa. Kooptasi lebih mudah dilakukan ketika pergerakan sosial terorganisasi dengan otoritas formal yang kuat. Ide ini, di ranah ilmiah disodorkan Dahrendorf, misalnya, yang ternyata fungsionalis juga akhirnya.

Anarkis, sebagai salah satu oponen sosialis radikal anti-otoritarian, juga tidak memandang semua organisasi sebagai sesuatu yang buruk, dan tidak juga berpendapat bahwa baik-buruk organisasi adalah karena ‘orangnya’, tetapi organisasi yang menempatkan orang dalam posisi otoritatif yang dilanggengkan secara formal sehingga bisa mengendalikan orang lain itulah yang ditolak. Dan ini bukan masalah orang atau hati orang, tetapi keberadaan lembaga formal yang memberi kekuasaan transenden bagi seseorang atau sekelompok orang yang bisa mengendalikan orang dari atas merupakan sebentuk otoritarianisme yang berbahaya bagi kebebasan manusia otonom, terutama mereka yang tertindas. Dengan penyuburan organisasi demikian maka potensi perubahan sosial yang radikal akan lenyap atau malih warna dengan topeng yang seolah-olah revolusioner padahal menutupi bopeng otoritas mereka dalam memperbudak manusia lain. Selain itu, dan ini paling penting, adalah lenyapnya kualitas hubungan personal yang bisa teratur dengan individu-individu yang memunyai otonomi diri.

Lalu organisasi seperti apa yang diajukan anarkis untuk pergerakan sosial? Anarkis, sejak lama menolak semua bentuk organisasi yang menempatkan sebagian orang dalam kedudukan yang lebih tinggi dari orang lain lewat pelembagaan hirarki secara formal. Organisasi dalam anarkisme haruslah yang terbentuk secara sukarela dan untuk tujuan-tujuan ad hoc saja serta tidak menerima keberadaan orang tertentu sebagai orang yang punya hak istimewa dalam organisasi hanya karena dia berpengetahuan lebih banyak dan menjadi ‘koordinator’. Diktumnya “from each according to ability, to each according to need!”. Artinya anarkis tidak hendak menciptakan kelas istimewa dalam organisasi; karenanya sepanjang sejarah, organisasi anarkis biasanya dalam bentuk konfederasi atau sindikasi atau kolektif yang pengorganisasiannya tidak ditangan kelas tersendiri yang memunyai kewenangan penuh secara formal. Keberadaan lembaga konfederasi yang menengahi antarfederasi hanya sebagai lembaga yang berfungsi ketika ada kebutuhan di antara federasi untuk menyelesaikan masalah atau melakukan aksi secara bersamaan. Semacam koordinator ad hoc, yang setelah aksi atau penyelesaian, lembaga tersebut tidak lagi punya otoritas untuk memerintah ini-itu lagi. Anarkisme mempercayai kepemimpinan “primus inter pires”; yang utama di antara yang setara.

Dalam lingkup kecil, anarkis membentuk diri dalam komune-komune kepemilikan bersama atas sarana produksi. Komune-komune ini, seperti kolektif-kolektif di Spanyol di masa keemasan anarkisme 1930-an, sebelum diberangus negara fasisnya Jendral Franco, atau kelompok-kelompok Food Not Bomb di Amerika saat ini, bekerja mengolah alat-alat produksi dan sarana alokasi secara bersama dalam hubungan saling bergantung dengan komune lain yang memproduksi dan mengalokasikan kebutuhan berbeda tanpa suatu lembaga formal yang otoritatif mengatasi komponen-komponen tersebut. Eksperimen komuniti komunis Kibbutz di Israel juga masih berlangsung hingga sekarang.

Bagi kita yang terlahir dalam masyarakat otoritarian dan dibimbing dalam keyakinan otoritarian, tentu sulit membayangkan keberadaan komune-komune seperti ini pernah dan ada saat ini dan masyarakat tanpa negara mungkin akan ada juga di masa depan sebagai alternatif sistem ekonomi, politik, dan sosial yang ada saat ini.

Organisasi gerakan dan Anarkisme Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment