Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Friday, July 13, 2012

Anarkisme dan Aktivisme Sosial

Sejarah menampakkan kenyataan bahwa hingga saat ini Anarkisme, baik sebagai filsafat sosial maupun sebagai teori dan praktik politik tidak pernah menyebar secara luas seperti halnya Marxisme atau Sosialis demokrat. Ada banyak tafsir atas kenyataan ini. Bisa jadi memang ajaran-ajaran dan teorinya tidak masuk akal dan terlalu mengawang-awang. Atau mungkin karena taktik pemasarannya yang kurang bagus.

Ada beberapa ajaran dan teori Anarkis yang mungkin menyumbang keadaan Anarkisme saat ini. Pertama, ajaran bahwa manusia pada dasarnya baik dan bisa menggalang solidaritas kemanusiaan untuk kesejahteraan manusia tanpa penindasan oleh sebagiannya. Ini tentu saja membuat ekonom terbahak. Sebagian besar orang percaya bahwa inti terdalam manusia adalah homo economicus yang rakus dan selalu mementingkan diri sendiri. Machiavelli juga bisa terkencing-kencing mendengar teori anarkis tentang organisasi.

Ajaran lainnya adalah bahwa setiap manusia lahir bebas setara. Ini juga yang bisa membuat para sosiolog sakit perut. Kenyataan telah menunjukkan bahwa manusia lahir tidak dalam dan dari ruang kosong seperti mitos kelahiran para dewa, tetapi dalam suatu struktur dan organisasi sosial yang sedemikian rupa sehingga menempatkan manusia yang lahir tersebut pada kedudukan di salah satu tangga hirarki dalam masyarakat. Penyetaraan bukan kodrat manusia. Manusia selalu butuh pembedaan dan tingkatan-tingkatan. Bahkan di awal evolusi homo sapiens. Kerangka pikir ini sepertinya menjadi inti terdalam kerangka menusia memandang realita. Lihat saja epistemologi, dari Aristoteles hingga Bourdeau: kodrat kesadaran manusia adalah pembedaan dan penggolongan.

Dari kedua ajaran inilah teori organisasi tanpa otoritas lahir; teori organisasi anarkis yang menghendaki organisasi partisipatoris sukarela tanpa pelanggengan otoritas secara formal yang ditentukan ‘dari luar’. Bagaimana mungkin organisasi demikian bisa terbentuk sedangkan setiap orang punya kecenderungan untuk menguasai orang lain, baik dengan cara yang kasar maupun lewat penguasan halus. Selain itu, para penentang teori anarkis ini, menyatakan bahwa tidak semua manusia memiliki kemampuan sedemikian rupa sehingga bisa membentuk sebuah organisasi secara sukarela dan partisipatoris langsung. Perlu adanya sebagian kecil ‘pemikir’ yang dijuluki intelektual yang memiliki pengetahuan lebih dari sebagian besar orang untuk mengorganisasi orang lain mencapai tujuannya.

Sistem ekonomi atau organisasi partisipatoris yang diajukan anarkis tampaknya terlalu menyederhanakan kenyataan dan persoalan yang ada. Nyatanya kehidupan sosial begitu rumit, struktur-struktur sosial yang menata kehidupan orang pun saling tumpang tindih dalam kehidupan sehari-hari dengan kecenderungan individual dengan segala kepentingannya. Bagaimana demokrasi partisipatoris dilakukan sebenar-benarnya dalam masyarakat dengan jumlah penduduk jutaan? Bagaimana juga menjamin keberadaan kolektif produksi dan konsumsi tidak menciptakan ‘pemegang’ otoritas atau tirani baru? Bagaimana dengan kian kompleksnya kebutuhan (dan pembutuhan) akan barang dan jasa konsumsi serta pola hidup masyarakat bisa membangun masyarakat yang otonomi?

Anarkisme dan Aktivisme Sosial Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment