IDEOLOGI menjadi landasan dalam
membangun dan menyelenggarakan negara. Tanpa ideologi, sebuah negara tidak akan
petunjuk atau acuan dalam roda perjalanannya. Semua negara butuh ideologi. Maka
dari itu, selain wilayah, penduduk, pemerintahan yang berdaulat dan pengakuan
dari negara lain (legitimate), hal lain yang paling dibutuhkan untuk membangun
dan mengokohkan negara adalah ideologi.
Tanpa ideologi yang diterima dan dianut
bersama oleh warga negara sangat sulit untuk mewujudkan persatuan antarwarga
negara, baik yang terpisah atau berbeda secara wilayah (geografis), keyakinan
(agama), suku maupun budaya. Lebih lanjut, tanpa ideologi yang kuat dan
dihayati bersama, penduduk dalam sebuah negara tidak akan punya semangat kuat
dalam membangun dan membela negaranya. Dan negara tanpa ideologi, tidak akan
punya pijakan yang bisa dipakai dalam hal merumuskan atau membuat
undang-undang.
Indonesia, oleh para founding
fathers, telah menetapkan Pancasila sebagai ideologi. Sebagai “dasar negara”,
Pancasila dirumuskan dengan menghendaki adanya “keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia” di samping empat sila lainnya yang menjadi kompas bagi
perjalanan Indonesia. Namun seiring perjalanan, Pancasila digempur oleh aneka
ideologi yang bertebaran dalam ruang interaksi globalisasi.
Kini, Pancasila pun sudah mati: tinggal
bangkai. Mengapa Pancasila mati? Bukankah ia masih dibicarakan, juga masih
diajarkan di sekolah-sekolah, yang berarti menandakan ia masih hidup? Lalu,
kalau sudah mati, siapa pula yang sudah berani membunuhnya?
Sebagai ideologi, salah satu fungsi
Pancasila adalah menjadi rujukan untuk merumuskan perundang-undangan yang
mengatur segala tata tertib pelaksanaan negara dan kehidupan bangsa. Namun
kini, tidak sedikit undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945, yang dirumuskan dengan menyertakan anjuran nilai-nilai Pancasila. Tanah,
air dan udara dieskploitasi oleh aneka korporasi rakus, bukan lagi digunakan
untuk kepentingan rakyat banyak.
Faktanya, kini tidak sedikit warga
negara yang hidup di atas tanahnya yang subur, yang mengandung banyak kekayaan
alam seperti air atau minyak, namun tidak bisa menikmati air bersih untuk
kebutuhan sehari-hari. Di lingkungan-lingkungan kumuh, anak-anak dari mereka
yang miskin mandi dengan air sungai yang tercemar sampah-sampah. Parahnya lagi,
meski hidup di atas tanah yang mengandung kekayaan minyak, warga negara justru
kesulitan dan tidak mampu membeli minyak yang terkandung di dalam tanah
negaranya sendiri.
Ketimpangan ekonomi dan sosial pun kian
menjalar. Tidak jauh dari gubuk-gubuk derita si miskin, berdiri kokoh
gedung-gedung mewah. Ini bukan pemandangan yang adil. Dari kenyataan tersebut,
hanya orang gila yang berani berujar bahwa sudah ada pemerataan kesejahteraan
di Indonesia. Yang semakin tampak jelas adalah yang kaya terus menumpuk
kekayaannya, yang miskin terus menumpuk beban kemelaratannya.
Akibat kemiskinan, konflik akan lebih
mudah terbakar. Apalagi jika sentimen agama yang dimainkan, konflik bisa jadi
semakin parah. Celakanya, pertikaian tidak hanya terjadi antarwarga yang
berbeda agama, bahkan pula antarsesama penganut agama yang sama. Toleransi
kerap tidak dikedepankan, padahal Pancasila menghendaki adanya “persatuan
Indonesia” yang berlandaskan “Ketuhanan yang maha esa”.
Ironisnya, negara tidak hanya ikut
terlibat dalam pemudaran nilai-nilai “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”, bahkan juga tidak mampu mengatasi konflik-konflik yang merajalela
di ranah sosial. Ini menandakan bahwa Pancasila tidak lagi dianut dan dihayati,
baik oleh kebanyakan warga negara maupun pemerintah yang menjalankan roda
negara. Ia hanya dibicarakan, anjuran-anjurannya tidak dikerjakan.
Warga negara diwajibkan belajar dan
menghayati Pancasila, namun mereka tidak bisa mendapat “kenikmatan” dari ideologi
yang dianutnya. Justru negara lah yang patut diragukan komitmennya dalam
berpegang teguh pada ideologi Pancasila. Saat ini, gempuran ideologi-ideologi
jahat semacam neoliberalisme, meski belum menjangkiti Indonesia secara penuh,
tetapi setidaknya telah membunuh Pancasila dan perlahan menggerogoti setiap
sendi-sendiri negara. Oleh perusahaan-perusahaan yang di bawah kendali pebisnis
yang liar dan rakus, pemerintah dituntut untuk menciptakan stabilitas guna
melindungi aneka kepentingan mereka.
Alhasil, ketika rakyat memprotes
perusahaan-perusahaan yang merugikan mereka, misalnya karena melakukan
pencemaran lingkungan atau menyerobot lahan tempat mereka mencari nafkah,
negara lebih berpihak kepada para pengusaha. Peluru senjata yang seharusnya
melindungi rakyat, justru dipakai untuk membunuh rakyat. Tidak ada “kemanusiaan
yang adil dan beradab”. Yang bisa disaksikan hanyalah “kemanusiaan yang
diskriminatif dan biadab”.
Jadi yang membunuh Pancasila adalah
bangsa dan Pemerintah Indonesia sendiri. Presiden boleh saja mengagung-agungkan
Pancasila dalam pidatonya, tetapi ia sendiri pula yang membunuhnya. Bukti dari
tidak adanya penghormatan terhadap Pancasila oleh Presiden dapat dilihat dari
banyak kebijakan-kebijakan yang diambilnya, yang merugikan rakyatnya dan
bertentangan dengan Pancasila.
Seorang Presiden yang cinta rakyatnya
tentu tidak akan membela pengusaha ketika terjadi sengketa. Presiden yang cinta
rakyatnya akan berpihak kepada rakyat dalam hal mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan, bukan kepada para birokrat yang korup, politisi busuk dan
pengusaha rakus. Presiden yang baik tidak akan mengeluarkan kebijakan pasar
bebas yang dapat membangkrutkan industri masyarakat menengah ke bawah. Presiden
yang baik tidak akan menaikkan biaya pendidikan. Presiden yang baik adalah
presiden yang menghayati ideologi negaranya, bukan ideologi yang datang dari
luar.
Kini Pancasila hanya sebatas menjadi
pembicaraan. Ia hanya diajarkan di sekolah-sekolah sementara nilai-nilainya
tidak dihayati penuh oleh orang-orang yang mempelajarinya. Ini bukti bahwa
Pancasila tidak lagi “laku” sebagai ideologi. Pancasila sudah mati, dan sekali
lagi, ia sudah jadi bangkai. Hening cipta, mulai. RIP, Pancasila.
0 komentar:
Post a Comment