Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Sunday, July 15, 2012

“BERTEMPUR” DALAM POLITIK

BENARKAH keterlibatan militer dalam politik semata-mata karena disebabkan nafsu militer untuk berpolitik? Pasca lengsernya sang Jenderal diktator di tahun 1998, militer mulai meninggalkan perannya dalam politik dan kembali pada apa yang disebut Samuel P. Huntington sebagai “tugas tradisional”, yakni fungsi untuk bertempur. Selain itu, pengakuan atas supremasi sipil yang ditunjukkan oleh militer di era reformasi merupakan suatu political will yang harus tetap dirawat.

Usulan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) beberapa tahun lalu agar TNI dan Polri diberi hak memilih dalam Pemilu bisa dikatakan sebagai sebuah upaya untuk meminjam istilah Alfred C. Stepan “mengetuk pintu” barak. Walaupun yang diwacanakan hanya pemberian hak memilih dalam Pemilu, bukan tidak mungkin nantinya militer akan menjadi alat politik untuk meraup dukungan oleh kandidat-kandidat tertentu. Jika ini terjadi, maka militer akan kembali “berperang” dalam politik. Orde Baru adalah sejarah yang harus dijadikan pelajaran penting di mana betapa mengerikannya sistem politik yang dikendalikan militer.

Partai yang berasaskan Islam ini meyakini bahwa militer tidak akan merongrong kekuasaan karena situasi politik kini telah stabil. Selain itu, jumlah militer yang tidak signifikan juga diyakini tidak akan menjadikan militer mempunyai peluang untuk bisa ikut campur tangan di bidang politik, misalnya dalam hal melakukan mobilisasi politik. Selanjutnya, militer hanya diberi hak untuk memilih, bukan dipilih. Jika ada anggota militer yang hendak mendapatkan hak dipilih dalam Pemilu maka terlebih dahulu ia harus mengundurkan diri.

Tidak ada jaminan jika nantinya militer tidak akan terlibat dalam mobilisasi massa dalam kampanye karena telah mendapat kebebasan untuk menetapkan dukungan atau memilih. Kecuali jika peraturan yang dibuat membatasi militer hanya boleh sebatas memilih ketika Pemilu dan diharamkan untuk ikut dalam kegiatan berkampanye. Kendati demikian, sekalipun militer tidak diperbolehkan untuk terlibat dalam kampanye politik di ranah sosial, namun bukan tidak mungkin mereka akan berkampanye di antara soldier to soldier.

Ini akan menciptakan fragmentasi di pihak militer. Akan muncul kubu-kubu pendukung dalam tubuh militer. Permasalahan ini akan membuat militer tidak solid. Apalagi sistem hirarki militer sangat bersifat komando: ketika atasan memberikan perintah maka prajurit harus mematuhinya. Jika seperti ini, prajurit-prajurit nantinya akan cenderung menjadi “prajurit kampanye” yang mendapat perintah dari atasan untuk mendukung kandidat tertentu.

Ini menandakan bahwa keterlibatan militer dalam politik tidak semata-mata timbul dari permasalahan yang ada pada pihak pihak militer, melainkan juga dari pihak sipil sendiri. Ada dua pendekatan yang bisa dipakai sebagai alat analisis mengapa militer mempunyai peluang untuk mengintervensi ranah politik jika diteropong dari permasalahan di pihak sipil. Pertama, Huntington (2004) menyebutkan bahwa ketidakmampuan pihak sipil dalam membangun lembaga politik yang kuat dan efektif adalah salah satu celah bagi militer untuk melakukan penetrasi dalam bidang politik.

Ketika lembaga politik yang dibangun pihak sipil justru sangat lemah, maka cenderung tidak mempunyai kemampuan untuk menghadapi dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang melanda negara.  Sebab “lembaga militer dan tokoh militer” ikut campur dalam urusan politik dikarenakan “kelemahan fungsi organisasi politik sipil dan ketidakmampuan tokoh-tokoh politisi sipil dalam mengatasi berbagai masalah genting yang dihadapi negara”.

Kedua, Desch (1996) menganggap bahwa “politisi sipil sering tidak dapat menahan godaan untuk memasukkan militer ke dalam arena politik domestik, baik itu untuk mendukung kelompok politiknya dalam persaingan dengan rivalnya maupun memastikan agar kelompok mereka dapat mengontrol militer”. Penggunaan militer sebagai alat untuk mencapai ambisi politik dapat menciptakan atmosfir politik yang tidak sejuk, terlebih lagi di negara demokrasi.

Pendekatan yang terakhir disebutkan ini boleh jadi yang paling tepat untuk menggambarkan apa sedang diupayakan oleh PKB untuk memperluas dukungan sebelum Pemilu 2014. Sementara itu pendekatan yang pertama disebut sedikit terbantahkan karena saat ini sipil telah mampu memabngun lembaga politik yang kuat dan menempatkan militer di bawah kontrol sipil. Meskipun PKB tidak secara gamblang menyebutkan bahwa usulan itu bukan untuk menambah kekuatan politik, namun secara tidak langsung telah menciptakan kedekatan tertentu dengan pihak militer jika usulan tersebut diterapkan. Militer akan menganggap PKB lah yang telah memperjuangkan agar mereka bisa mendapatkan hak untuk memilih.

Usulan PKB ini memang tidak menyeruak ke permukaan publik luas dan tidak menjadi suatu wacana yang kontroversi. Namun jika wacana seperti ini disuarakan oleh partai-partai besar, misalnya seperti Partai Demokrat atau PDIP, mungkin saja akan menjadi perbincangan luas bahkan tidak tertutup kemungkinan akan menjadi kotroversi. Namun penting kiranya wacana ini untuk dibahas, karena menjelang Pemilu 2014 nanti bukan tidak mungkin ada partai-partai lainnya yang tergoda untuk merangkul militer sebagai kekuatan politik.

“BERTEMPUR” DALAM POLITIK Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment