BENARKAH keterlibatan militer dalam
politik semata-mata karena disebabkan nafsu militer untuk berpolitik? Pasca
lengsernya sang Jenderal diktator di tahun 1998, militer mulai meninggalkan
perannya dalam politik dan kembali pada apa yang disebut Samuel P. Huntington
sebagai “tugas tradisional”, yakni fungsi untuk bertempur. Selain itu,
pengakuan atas supremasi sipil yang ditunjukkan oleh militer di era reformasi
merupakan suatu political will yang harus tetap dirawat.
Usulan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) beberapa
tahun lalu agar TNI dan Polri diberi hak memilih dalam Pemilu bisa dikatakan
sebagai sebuah upaya untuk meminjam istilah Alfred C. Stepan “mengetuk pintu”
barak. Walaupun yang diwacanakan hanya pemberian hak memilih dalam Pemilu,
bukan tidak mungkin nantinya militer akan menjadi alat politik untuk meraup
dukungan oleh kandidat-kandidat tertentu. Jika ini terjadi, maka militer akan
kembali “berperang” dalam politik. Orde Baru adalah sejarah yang harus
dijadikan pelajaran penting di mana betapa mengerikannya sistem politik yang
dikendalikan militer.
Partai yang berasaskan Islam ini
meyakini bahwa militer tidak akan merongrong kekuasaan karena situasi politik
kini telah stabil. Selain itu, jumlah militer yang tidak signifikan juga
diyakini tidak akan menjadikan militer mempunyai peluang untuk bisa ikut campur
tangan di bidang politik, misalnya dalam hal melakukan mobilisasi politik.
Selanjutnya, militer hanya diberi hak untuk memilih, bukan dipilih. Jika ada
anggota militer yang hendak mendapatkan hak dipilih dalam Pemilu maka terlebih
dahulu ia harus mengundurkan diri.
Tidak ada jaminan jika nantinya militer
tidak akan terlibat dalam mobilisasi massa dalam kampanye karena telah mendapat
kebebasan untuk menetapkan dukungan atau memilih. Kecuali jika peraturan yang
dibuat membatasi militer hanya boleh sebatas memilih ketika Pemilu dan
diharamkan untuk ikut dalam kegiatan berkampanye. Kendati demikian, sekalipun
militer tidak diperbolehkan untuk terlibat dalam kampanye politik di ranah
sosial, namun bukan tidak mungkin mereka akan berkampanye di antara soldier
to soldier.
Ini akan menciptakan fragmentasi di
pihak militer. Akan muncul kubu-kubu pendukung dalam tubuh militer.
Permasalahan ini akan membuat militer tidak solid. Apalagi sistem hirarki
militer sangat bersifat komando: ketika atasan memberikan perintah maka
prajurit harus mematuhinya. Jika seperti ini, prajurit-prajurit nantinya akan
cenderung menjadi “prajurit kampanye” yang mendapat perintah dari atasan untuk
mendukung kandidat tertentu.
Ini menandakan bahwa keterlibatan
militer dalam politik tidak semata-mata timbul dari permasalahan yang ada pada
pihak pihak militer, melainkan juga dari pihak sipil sendiri. Ada dua
pendekatan yang bisa dipakai sebagai alat analisis mengapa militer mempunyai
peluang untuk mengintervensi ranah politik jika diteropong dari permasalahan di
pihak sipil. Pertama, Huntington (2004) menyebutkan bahwa ketidakmampuan
pihak sipil dalam membangun lembaga politik yang kuat dan efektif adalah salah satu
celah bagi militer untuk melakukan penetrasi dalam bidang politik.
Ketika lembaga politik yang dibangun
pihak sipil justru sangat lemah, maka cenderung tidak mempunyai kemampuan untuk
menghadapi dan menyelesaikan berbagai permasalahan yang melanda negara.
Sebab “lembaga militer dan tokoh militer” ikut campur dalam urusan
politik dikarenakan “kelemahan fungsi organisasi politik sipil dan
ketidakmampuan tokoh-tokoh politisi sipil dalam mengatasi berbagai masalah
genting yang dihadapi negara”.
Kedua, Desch (1996) menganggap bahwa
“politisi sipil sering tidak dapat menahan godaan untuk memasukkan militer ke
dalam arena politik domestik, baik itu untuk mendukung kelompok politiknya
dalam persaingan dengan rivalnya maupun memastikan agar kelompok mereka dapat
mengontrol militer”. Penggunaan militer sebagai alat untuk mencapai ambisi
politik dapat menciptakan atmosfir politik yang tidak sejuk, terlebih lagi di
negara demokrasi.
Pendekatan yang terakhir disebutkan ini
boleh jadi yang paling tepat untuk menggambarkan apa sedang diupayakan oleh PKB
untuk memperluas dukungan sebelum Pemilu 2014. Sementara itu pendekatan yang
pertama disebut sedikit terbantahkan karena saat ini sipil telah mampu
memabngun lembaga politik yang kuat dan menempatkan militer di bawah kontrol
sipil. Meskipun PKB tidak secara gamblang menyebutkan bahwa usulan itu bukan
untuk menambah kekuatan politik, namun secara tidak langsung telah menciptakan
kedekatan tertentu dengan pihak militer jika usulan tersebut diterapkan. Militer
akan menganggap PKB lah yang telah memperjuangkan agar mereka bisa mendapatkan
hak untuk memilih.
Usulan PKB ini memang tidak menyeruak ke
permukaan publik luas dan tidak menjadi suatu wacana yang kontroversi. Namun
jika wacana seperti ini disuarakan oleh partai-partai besar, misalnya seperti
Partai Demokrat atau PDIP, mungkin saja akan menjadi perbincangan luas bahkan
tidak tertutup kemungkinan akan menjadi kotroversi. Namun penting kiranya
wacana ini untuk dibahas, karena menjelang Pemilu 2014 nanti bukan tidak
mungkin ada partai-partai lainnya yang tergoda untuk merangkul militer sebagai
kekuatan politik.
0 komentar:
Post a Comment