Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Sunday, July 15, 2012

Inflasi, Fiat Money, Riba dan Islam

Fiat Money (alat tukar jadi-jadian) adalah suatu barang yang diterbitkan oleh negara (dalam hal ini bank sentral) yang secara hukum dianggap memiliki nilai ekonomi, yakni memiliki daya tukar terhadap barang dan jasa yang ditransaksikan di tengah-tengah masyarakat. Artinya, barang itu aslinya tidak memiliki daya tukar, sebab secara intrinsik dia tidak memiliki nilai ekonomi. Ia bisa digunakan dalam transaksi hanya karena adanya keputusan hukum. Contohnya adalah “kertas ber-angka” yang setiap hari kita gunakan untuk melakukan transaksi ekonomi. 

Ada dua hal yang dipaksa melekat pada fiat money: 1. nilai nominal; 2. nilai tukar. Nilai nominal adalah nilai yang tertera pada uang jadi-jadian, seperti Rp. 1.000 atau Rp. 100.000. Sedangkan nilai tukar adalah daya tukar dari uang tersebut terhadap barang lain. Contohnya, uang Rp. 5.000 dapat ditukar dengan satu mangkuk bakso, itu artinya satu rupiah bernilai 1/5.000 (satu per limaribu) mangkuk bakso. Nilai tukar ini sepenuhnya bergantung kepada kepercayaan, tidak ada yang lain.

Nilai nominal selembar uang bisa jadi tidak berubah, tapi nilai tukarnya bisa berubah-ubah. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perubahan nilai tukar suatu mata uang terhadap barang dan jasa, bisa faktor ekonomi maupun non-ekonomi. Yang jelas, fiat money sangat mudah mengalami penurunan nilai, bahkan ia terus mengalami penurunan secara permanen, sehingga yang dirasakan oleh masyarakat adalah kenaikan harga barang dan jasa (inflasi) yang tak berkesudahan. Jadi, inflasi adalah teman sejati fiat money alias “uang jadi-jadian” itu.

Salah satu kelemahan fiat money dalam perekonomian yang terus mengalami inflasi akan terasa pada transaksi-transaksi yang tidak tunai (hutang). Kerugian akan ditanggung oleh pihak kreditor (pemberi utang). Pasalnya, nilai utang selalu diukur dengan nominal (misal Rp. 5.000), sementara nilai nominal itu tidak mencerminkan nilai tukar secara konstan, bahkan cenderung terus mengalami penurunan. Misalnya, seseorang memberi pinjaman uang senilai Rp. 5.000 kepada temannya untuk membeli semangkuk bakso. Temannya itu baru mengembalikan Rp. 5.000 tersebut dua bulan kemudian. Padahal, pada saat itu, harga semangkuk bakso sudah naik menjadi Rp. 6.000. Jika hutang itu diukur dengan nilai bakso, maka hutang satu mangkuk bakso cuma dibayar dengan 5/6 mangkuk bakso. Tentu ini tidak adil.

Inilah yang merupakan salah satu alasan “logis” untuk menerapkan bunga (riba) pada pinjaman sebagai bentuk kompensasi atas tertundanya pembayaran -yang salah satunya berupa resiko inflasi. Padahal, riba justru akan memperburuk keadaan. Pasalnya, dia akan membuat jumlah uang yang beredar semakin besar (minimal dalam bentuk simpanan angka di rekening). apalagi jika transaksi ekonomi cuma dilakukan dengan memindahkan angka antar rekening, sehingga meskipun uang baru tidak dicetak, transaksi ekonomi bisa terus membengkak. Kondisi ini akan membuat nilai uang semakin turun dan inflasi semakin menjadi-jadi. Itu karena perbankan menerapkan system “syarat cadangan minimun” (fractional reserve requirement), sehingga angka-angka yang tercatat bisa jauh lebih besar dari uang yang sebenarnya ada.

Untuk itulah, Islam mewajibkan pemakaian mata uang yang memiliki harga secara intrinsik, yakni logam-logam mulia yang mengandung nilai ekonomi pada dirinya sendiri (seperti Dinar dan Dirham). Sekalipun ia kadang kala juga mengalami naik-turun jika ditukar dengan barang lain, tapi kisarannya tidak akan jauh, dan perubahan itu bersifat elastis, artinya tidak bersifat permanen dan mudah untuk kembali ke titik kesetimbangan lagi. Di satu sisi, Islam juga mengharamkan riba secara mutlak. So, mari kita bubarkan sistem ekonomi yang masih saja mengandalkan “uang jadi-jadian” dan riba ini.

Inflasi, Fiat Money, Riba dan Islam Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

1 komentar: