Fiat Money (alat tukar jadi-jadian)
adalah suatu barang yang diterbitkan oleh negara (dalam hal ini bank sentral)
yang secara hukum dianggap memiliki nilai ekonomi, yakni memiliki daya tukar
terhadap barang dan jasa yang ditransaksikan di tengah-tengah masyarakat.
Artinya, barang itu aslinya tidak memiliki daya tukar, sebab secara intrinsik
dia tidak memiliki nilai ekonomi. Ia bisa digunakan dalam transaksi hanya
karena adanya keputusan hukum. Contohnya adalah “kertas ber-angka” yang setiap
hari kita gunakan untuk melakukan transaksi ekonomi.
Ada dua hal yang dipaksa melekat pada
fiat money: 1. nilai nominal; 2. nilai tukar. Nilai nominal adalah nilai yang
tertera pada uang jadi-jadian, seperti Rp. 1.000 atau Rp. 100.000. Sedangkan
nilai tukar adalah daya tukar dari uang tersebut terhadap barang lain.
Contohnya, uang Rp. 5.000 dapat ditukar dengan satu mangkuk bakso, itu artinya
satu rupiah bernilai 1/5.000 (satu per limaribu) mangkuk bakso. Nilai tukar ini
sepenuhnya bergantung kepada kepercayaan, tidak ada yang lain.
Nilai nominal selembar uang bisa jadi
tidak berubah, tapi nilai tukarnya bisa berubah-ubah. Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi perubahan nilai tukar suatu mata uang terhadap barang dan jasa,
bisa faktor ekonomi maupun non-ekonomi. Yang jelas, fiat money sangat mudah
mengalami penurunan nilai, bahkan ia terus mengalami penurunan secara permanen,
sehingga yang dirasakan oleh masyarakat adalah kenaikan harga barang dan jasa
(inflasi) yang tak berkesudahan. Jadi, inflasi adalah teman sejati fiat money
alias “uang jadi-jadian” itu.
Salah satu kelemahan fiat money dalam
perekonomian yang terus mengalami inflasi akan terasa pada transaksi-transaksi
yang tidak tunai (hutang). Kerugian akan ditanggung oleh pihak kreditor
(pemberi utang). Pasalnya, nilai utang selalu diukur dengan nominal (misal Rp.
5.000), sementara nilai nominal itu tidak mencerminkan nilai tukar secara
konstan, bahkan cenderung terus mengalami penurunan. Misalnya, seseorang
memberi pinjaman uang senilai Rp. 5.000 kepada temannya untuk membeli semangkuk
bakso. Temannya itu baru mengembalikan Rp. 5.000 tersebut dua bulan kemudian.
Padahal, pada saat itu, harga semangkuk bakso sudah naik menjadi Rp. 6.000.
Jika hutang itu diukur dengan nilai bakso, maka hutang satu mangkuk bakso cuma
dibayar dengan 5/6 mangkuk bakso. Tentu ini tidak adil.
Inilah yang merupakan salah satu alasan
“logis” untuk menerapkan bunga (riba) pada pinjaman sebagai bentuk kompensasi
atas tertundanya pembayaran -yang salah satunya berupa resiko inflasi. Padahal,
riba justru akan memperburuk keadaan. Pasalnya, dia akan membuat jumlah uang
yang beredar semakin besar (minimal dalam bentuk simpanan angka di rekening).
apalagi jika transaksi ekonomi cuma dilakukan dengan memindahkan angka antar
rekening, sehingga meskipun uang baru tidak dicetak, transaksi ekonomi bisa
terus membengkak. Kondisi ini akan membuat nilai uang semakin turun dan inflasi
semakin menjadi-jadi. Itu karena perbankan menerapkan system “syarat cadangan
minimun” (fractional reserve requirement), sehingga angka-angka yang tercatat
bisa jauh lebih besar dari uang yang sebenarnya ada.
Untuk itulah, Islam mewajibkan pemakaian
mata uang yang memiliki harga secara intrinsik, yakni logam-logam mulia yang
mengandung nilai ekonomi pada dirinya sendiri (seperti Dinar dan Dirham).
Sekalipun ia kadang kala juga mengalami naik-turun jika ditukar dengan barang
lain, tapi kisarannya tidak akan jauh, dan perubahan itu bersifat elastis,
artinya tidak bersifat permanen dan mudah untuk kembali ke titik kesetimbangan
lagi. Di satu sisi, Islam juga mengharamkan riba secara mutlak. So, mari kita
bubarkan sistem ekonomi yang masih saja mengandalkan “uang jadi-jadian” dan
riba ini.
KOMEN SAMPAH!
ReplyDelete