Sistem
kamasyarakatan sudah rusak akibat prilaku politisi, diibaratkan: kolam ikan
yang airnya kotor. Dengan demikian, kalau ada seorang politisi yang tertangkap
karena kasus korupsi, masalah ini hanyalah sebuah kesialan. Secara etika
politik, seorang politisi yang melakukan tindakan memperkaya diri secara tidak
jujur dengan mengabaikan kepentingan rakyat akan merusak karakter bangsa.
Filosof Immanuel
Kant pernah menyindir watak politisi dimetaforakan sebagai merpati dan ular.
Politisi berwatak merpati digambarkan penuh dengan kelembutan dalam
memperjuangkan idealisme untuk kepentingan rakyat. Namun sebaliknya, politisi
berwatak ular mempunyai sifat licik yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan
partainya, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati.
Ironisnya, dalam
realitas politik yang sering terjadi pada seorang politisi justru sisi ular
bukan merpati-nya. Metafora Kant yang normatif dan simbolik sudah menjadi
rahasia umum di negeri ini, ketika kita berbicara masalah etika politik
politisi.
Politisi
berwatak ular memaknai politik sebagai kekuasaan yang serba elitis daripada
kekuasaan berwajah populis untuk mensejahterakan rakyat. Kekuasaan diraih
dengan cara apa pun, meski bertentangan dengan norma yang berlaku dalam
masyarakat, sebagaimana dikembangkan Machiavelli yang menghalalkan segala cara
untuk meraih kekuasaan.
Oleh sebab itu,
dalam praktik ketatanegaraan diperlukan aturan legal formal berupa konstitusi
dan legal informal berupa etik bagi politisi untuk membatasi, meregulasi,
melarang, dan memerintahkan tindakan mana yang diperlukan dan mana yang harus
dijauhi.
Namun, akibat kuatnya watak ular dari para politisi mengakibatkan telah terjadi penghianatan yang dilakukan oleh para politisi terhadap rakyat. Keteladanan dari politisi sulit dimunculkan akibat dari para politisi yang tidak jujur terhadap dirinya sendiri dan rakyatnya. Semuanya bersembunyi di balik kelicikan para politisi yang berwatak ular dengan menciptakan sistem sebagai alat pembenaran terhadap semua tindakannya, walaupun bertentangan dengan etik yang ada di masyarakat.
Namun, akibat kuatnya watak ular dari para politisi mengakibatkan telah terjadi penghianatan yang dilakukan oleh para politisi terhadap rakyat. Keteladanan dari politisi sulit dimunculkan akibat dari para politisi yang tidak jujur terhadap dirinya sendiri dan rakyatnya. Semuanya bersembunyi di balik kelicikan para politisi yang berwatak ular dengan menciptakan sistem sebagai alat pembenaran terhadap semua tindakannya, walaupun bertentangan dengan etik yang ada di masyarakat.
Kita bisa
melihat realitas ini di dalam rapat perlemen, para politisi selalu berbicara
atas nama rakyat yang berjuang untuk kepentingan rakyat, namun sesungguhnya
para politisi hanya memperjuangkan kepentingan pribadi dan partainya. Banyak
kasus yang menunjukkan bagaimana tingkah laku dari politisi yang menilap dana
APBN yang diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat digunakan untuk kepentingan
pribadi dan partainya.
Oleh karena itu,
para politis seharusnya belajar dari kesederhanaan dari seorang pendiri negeri
ini yang berwatak merpati, seorang negarawan Moh Hatta yang menjabat
sebagi wakil presiden pertama di negeri ini yang tidak mampu membeli sepatu
impiannya hingga di akhir hayatnya.
0 komentar:
Post a Comment