Kita harus
cerdas melihat fenomena ini, agar kita tidak disesatkan opini. Berbekal fakta
kontroversial diatas, di kolom ini penulis mencoba menegaskan kembali beberapa
dalih yang menjadi landasan pikir dalam menyikipi fenomena Gaga tersebut;
Pertama, dalam konstitusi tepatnya pada Pasal 29 UU No. 44 Tahun 2008 secara
tegas melarang pornoaksi dan pornografi dalam bentuk apa pun. Aksi panggung
Lady Gaga terlalu vulgar, busananya terlalu sexi dan mengumbar aurat,
implikasinya tidak mendidik. Ini tentu melawan undang-undang tersebut.
Lady Gaga dan
erotisme, adalah dua sisi yang tidak terpisahkan. Atraksi panggungnya tidak
pantas ditonton banyak orang. Sekalipun kebebasan berekspresi dijamin
dalam undang-undang, tapi efek moral yang akan di timbulkan dari konser
tersebut terlalu mahal untuk kita bayar.
Kedua, tafsir
agama dalam konteks ini adalah Islam, sangat jelas melarang untuk melihat dan
memperlihatkan aurat kepada yang bukan muhrim/mahram. Yang salah jika para
aktivis agama menafikkan kemajemukan dan pluralisme agama di negeri ini.
Sehingga memaksakan kehendak pada satu ajaran, sampai berujung aksi anarkisme.
Islam tidak pernah mengajarkan anarkisme, karena Islam adalah rahmatan lil
alamin. Yang lebih keliru, kita seakan digiring untuk memojokkan satu ormas.
Tanpa pernah mencoba berpikir simetris, berpikir sebab bukan akibat saja.
Karena tidak menutup kemungkinan aksi ormas anarkis, ditunggangi penumpang
gelap.
Kemudian yang
terakhir, semua aksi, style dan yang berkaitan dengan Gaga sangat bertentangan
dengan Budaya Ketimuran. Perilaku Gaga adalah sebuah kebebasan tampa batas
dalam berekspresi, konsep yang dicerca adab Timur yang mengutamakan unsur
nilai, moralaitas, kultur dan agama tentunya.
Jangan sampai
kita menjadi Bangsa yang gamang, tidak punya peradaban, terombang-abing
tampa prinsip. Ini tentu sebuah paradoks dengan apa yang dicita-citakan oleh
Founding Father kita Bung Karno, untuk menjadi bangsa yang berdaulat di bidang
politik, berdikari di bidang ekonomi, berkepribadian di bidang budaya.
Terlalu radikal
rasanya jika harus menyebut kedatangan Lady Gaga dalam rangka perang idiologis,
mencabik budaya kita. Tapi melirik kembali track record perjalanan karier
dan aksi panggungnya, tidak salah jika menyebutnya demikian.
Menolak Lady
Gaga dengan cara intimidasi ancaman kekerasan adalah suatu hal yang naif. Masih
banyak cara yang lebih baik dan beretika yang dapat kita tempuh. Salah satunya
dengan duduk bersama bermusyawarah untuk mufakat ala intelek.
Perbedaan
pendapat harus disampaikan dengan cara yang baik. Memperjuangkan kebenaran
sesuai aturan yang ada. Mereka yag menyebut dirinya Silent mayority harus
membuka diri kalau masih ada yang lebih mayoritas menolak, dari pada mereka.
Sekalipun kita
berbeda dalam menyikapi fenomena Gaga kita tetap harus berpandang paham, tidak
saling mencela, karena kita adalah masyarakat timur yang pahan etika keadaban.
Satu yang menjadi catatan penting dari semua ini bahwa Lady Gaga dianggap keliru jika merasa bisa diterima di mana saja di seluruh dunia dengan segala sensasi dan kontroversi yang dia buat.
Satu yang menjadi catatan penting dari semua ini bahwa Lady Gaga dianggap keliru jika merasa bisa diterima di mana saja di seluruh dunia dengan segala sensasi dan kontroversi yang dia buat.
0 komentar:
Post a Comment