Oleh
: A HASYIM MUZADI
Sekjen
ICIS; Presiden WCRP
Berita
mengejutkan datang dari sidang Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB di Jenewa,
Swiss, pekan lalu. Sejumlah negara menyoroti persoalan penegakan HAM di
Indonesia.
Persoalan yang
disoroti terutama soal intoleransi beragama di Indonesia. Selain intoleransi
beragama, hal lain yang disoroti adalah keadilan bagi kelompok etnik minoritas
seperti di Papua. Dalam sidang itu, sejumlah negara seperti Korea Selatan,
Swedia,Swiss,dan Timor Leste secara spesifik mengangkat isu itu. Bahkan,
permintaan spesifik disampaikan delegasi Swedia yang mempertanyakan masalah
intoleransi beragama yang kerap terjadi di Indonesia.
Mereka meminta
Pemerintah Indonesia bisa merevisi seluruh peraturan perundangundangan yang
dinilai berpotensi memicu persoalan terkait isu intoleransi. Adapun delegasi
Swiss meminta Pemerintah Indonesia, bisa lebih menghormati toleransi beragama
dan hak-hak kelompok etnik minoritas. Selain itu, Swiss secara spesifik meminta
Indonesia segera membebaskan para aktivis Papua, karena menurut mereka apa yang
mereka lakukan sebelumnya sekadar mengekspresikan pendapat secara damai.
Selaku presiden
World Conference on Religions for Peace (WCRP) dan sekjen International Conference
of Islamic Scolars (ICIS), saya sangat menyayangkan tuduhan intoleransi
beragama di Indonesia yang diungkapkan peserta sidang PBB di Swiss. Saya
meyakini, Pembahasan di forum dunia itu pasti berdasarkan laporan pihak-pihak
tertentu dari dalam negeri Indonesia sendiri. Tuduhan itu jelas tidak sesuai
dengan kenyataan situasi Indonesia selama ini. Indonesia masih menjadi negara
yang paling toleran di dunia.
Selama puluhan
tahun berkeliling dunia, saya belum pernah menemukan negara dengan penduduk
muslim terbesar, yang setoleran Indonesia dalam beragama. Indonesia sampai
sekarang masih menjadi contoh bagi dunia internasional dalam menjaga kerukunan
beragama. Yang perlu dipertanyakan adalah dasar yang dipakai peserta sidang PBB
sehingga muncul tuduhan Indonesia intoleran dalam beragama.Kalau yang dipakai
ukuran adalah masalah Ahmadiyah, hal itu jelas tak bisa dipakai ukuran. Sebab,
Ahmadiyah memang menyimpang dari pokok ajaran Islam, tetapi selalu menggunakan
stempel Islam dan berorientasi politik Barat.
Seandainya
Ahmadiyah merupakan agama tersendiri, pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam
Indonesia. Kasus GKI Yasmin Bogor juga tidak bisa dijadikan ukuran Indonesia
intoleran dalam beragama. Saya berkali kali datang ke sana untuk mencari akar
masalah dan mencari jalan keluarnya, namun tampaknya mereka yang terkait dengan
persoalan tersebut tidak ingin masalah segera selesai. Ada pihak-pihak yang
lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional dan dunia untuk kepentingan
daripada masalahnya selesai . Lalu, kalau ukuran intoleransi beragama itu
pendirian gereja, faktornya adalah lingkungan.
Perlu diketahui,
di Jawa, pendirian gereja sulit, tapi di Kupang (Batuplat) pendirian masjid
juga sangat sulit. Belum lagi pendirian masjid di Papua. Selalu Sekjen ICIS dan
Presiden WCRP, saya selalu melakukan mediasi untuk mencari jalan keluar
terhadap masalah-masalah muncul terkait isu agama. Selanjutnya, jika yang
dijadikan ukuran peserta kongres PBB adalah protes terhadap konser Lady Gaga
dan diskusi Irshad Manji, maka bangsa Indonesia berhak menjaga tata nilai dan
norma bangsa agar tidak dirusak orang lain.
Pertanyaannya,
bangsa mana yang ingin tata nilainya dirusak,kecuali mereka yang ingin menjual
bangsanya sendiri untuk kebanggaan intelektualisme kosong? Kalau ukurannya HAM
di Papua,kenapa TNI,Polri,dan imam masjid berguguran tidak ada yang bicara HAM?
Perlu diketahui, Indonesia lebih baik toleransinya dari Swiss yang sampai
sekarang tidak memperbolehkan menara masjid. Saat berkunjung ke PBNU, 14
Oktober 2009, Duta besar Swiss untuk Indonesia Bernardino Regazzoni sempat
menjelaskan masalah prakarsa pelarangan menara masjid yang diajukan oleh komite
independen yang mewakili berbagai partai politik pada 8 Juli 2008.
Prakarsa itu
ditandatangani 113.540 orang. Saat itu, Regazzoni juga menjelaskan, pemerintah
dan parlemen menentang keberadaan prakarsa itu dan merekomendasikan pemilik hak
suara untuk menentangnya. Namun, kenyataannya, lebih dari 57% rakyat Swiss
mendukung larangan itu. Usulan larangan itu juga didukung oleh
provinsi-provinsi utama, sehingga disahkan sebagai undang-undang. Larangan
mendirikan menara masjid di Swiss juga patut disayangkan. Sebab, itu
menunjukkan kurang toleransinya masyarakat Swiss terhadap kebebasan beragama,
di saat sikap saling menghormati berbagai agama sedang tumbuh di dunia.
Diskriminasi
dalam bentuk yang lain dikhawatirkan merembet ke negara-negara Eropa lainnya.
Indonesia juga lebih baik dari lebih Prancis yang masih mempersoalkan perempuan
muslim mengenakan jilbab. Kebijakan pelarangan jilbab yang disahkan sejak 2010
itu disetujui Parlemen Dewan Perwakilan Prancis. Dari 336 pemilih untuk
rancangan undangundang tersebut, hanya satu yang menentangnya di dalam Majelis
Nasional. Para penentang berpendapat bahwa undang-undang tersebut melanggar
legislasi hak-hak asasi manusia Prancis dan Eropa.
Prancis memiliki
populasi muslim terbesar di Eropa,diperkirakan sekitar 5 juta dari keseluruhan
jumlah penduduk 64 juta orang.Dan,sebagian muslimah Prancis menggunakan jilbab
dalam keseharian. Pelarangan yang merupakan bentuk intoleransi beragama itu
sangat disayangkan karena bisa meluas ke negara Eropa lain. Kemudian, Indonesia
juga lebih baik dari Denmark,Swedia dan Norwegia yang tidak menghormati
agama,karena di sana ada Undang-undang perkawinan sejenis. Perkawinan sejenis
bukan hanya bertentangan dengan nilai agamaagama, tapi juga bertentangan dengan
kodrat.
Di Eropa Barat
dan Amerika, gerakan ini dinakhodai oleh kaum atheis. Homoseksual dan lesbian
adalah penyakit kejiwaan dan sosial yang harus disembuhkan dengan psikoterapi
dan pembinaan, bukan dilegalisir. Akhirnya kembali kepada bangsa Indonesia dan
kaum muslimin sendiri yang harus sadar dan tegas membedakan HAM yang benar
(humanisme) dan HAM yang sekadar westernisme. Dewasa ini yang paling sering
menaiki HAM adalah kelompok yang selalu menggunakan ukuran western.
Karena kalau
ukurannya humanisme seharusnya kecaman seimbang antara kecaman terhadap Timur
dan Barat. Sekarang ini mana ada HAM westernis mengecam Israel? Sebe_narnya yang paling Indonesiawi
adalah HAM di Indonesia haruslah untuk kepentingan Indonesia dalam hal nilai,
norma, hukum, budaya, dan sebagainya. Bukan malah menjadi monster untuk
menghancurkan semuanya itu.
0 komentar:
Post a Comment