Sastra kita
sejak awal perkembangannya hingga kini besar dan dibesarkan di tengah berbagai
kekhawatiran dan kecemasan. Mulai dari kekhawatiran akan penyaringan model
Balai Pustaka, sloganisme sastra, pertarungan tradisi versus
modernisme,pertarungan ideologi dan sebagainya.
Kini salah satu
dari kecemasan itu adalah bahwa dua puluhan tahun ke depan sastra Indonesia
bisa jadi akan menjadi merana,menyendiri dan tak berdaya di hadapan kegagahan
globalisasi. Kecemasan ini didasarkan sebuah anggapan,bahwa akibat globalisasi
dan kecanggihan komunikasi, bahasa Indonesia sebagai media ekspresi sastra
Indonesia menjadi rapuh menghadapi gelontoran bahasa global,bahasa Inggris.
Dibayangkan
kelak,akibat globalisasi itu,bagaimana sebuah keluarga Indonesia lebih terbiasa
dan lebih fasih berbahasa Inggris daripada bahasa Indonesia akibatnya
dice-maskan pula kelak sastrawan Indonesia akan lebih suka menulis karya sastra
dalam bahasa Inggris sekaligus lebih suka meluncurkan karyanya ke kota-kota
metropolis mancanegara.
Kecemasan ini
mungkin sekadar kecemasan kecil belaka.Pemakaian bahasa Inggris dalam
masyarakat kita bukan untuk aktivitas literasi tapi lebih cenderung bersifat
pragmatis meladeni zaman dalam bentuk kerja,mode, komunikasi praktis atau
aksesori identitas saja. Rembesannya ke ranah sastra memerlukan keajaiban nalar
dan imajinasi serta tentu saja sangat bergantung biografi kultural kita dan imperatif
kapitalisme.
Kemungkinan
bergesernya bahasa Indonesia ke bahasa internasional (Inggris) dalam literasi
tidaklah persoalan sederhana karena bahasa “nasional” menyimpan berbagai hal
yang bersifat “ke dalam”khusus, spesifik,dan melibatkan aspek emosional–bahkan
bisa saja irasional–yang tidak begitu saja dengan mudah digeser dengan bahasa
lainnya.
Berjubelnya
tokotoko dengan buku-buku berbahasa Inggris, maraknya internet,serta
kecanggihan komunikasi, tidak otomatis akan gampang menggusur bahasa dan sastra
Indonesia begitu saja.Kasus Mahabarata dan Ramayana,misalnya, menunjukkan
bagaimana kita mengatasi masalah gempuran bahasa dan budaya ini.Sejak India
menulari kita dengan kemampuan beraksara sekaligus mengenalkan Mahabarata dan
Ramayana itu,kita tidak serta-merta menjadi orang India atau orang yang berbahasa
India.
Justru dengan
kelenturan budaya kita berhasil menjadikan Ramayana dan Mahabarata memiliki
cita rasa dan ekspresi yang berbeda dari tanah leluhurnya. Singgungan dan
geseran dengan budaya lain terbukti sudah berabad-abad menghasilkan
kesusastraan seperti gurindam,hikayat, novel,puisi dan lain-lain yang semuanya
berasal dari asing. Dan dalam perjalanannya, sastra dan sastrawan Indonesia
tidak pernah larut dan menjadi orang asing yang berbahasa asing meskipun
sastrawan-sastrawan kita membuka diri misalnya pada soneta-soneta
Belanda,Lorca, Camus,dan lain sebagainya.
Namun,justru
dengan melahap sastra manca itu, Chairil Anwar misalnya,malah membuka
perkembangan bahasa Indonesia dalam berbagai kemungkinan linguistik yang
menakjubkan yang sebelumnya tak terbayangkan di era sebelumnya. Selain
itu,meski jagat semakin hari semakin kencang berlari dan “ruang” yang semakin
penuh sesak sehingga nyaris tak ada lagi “ruang kosong”,selalu ada upaya untuk
menafsir ulang, mengekspresi ulang apa yang telah dimiliki kesusastraan dan
kebudayaan kita sebelumnya.
Justru dalam
jagat yang tungganglanggang, semakin terbuka kemungkinan bahasa dan sastra
Indonesia untuk meledakkan daya ungkap dan jati dirinya.Globalisasi akan
menyimpan paradoksnya. Pada satu sisi mengakibatkan ketergantungan pada yang
lain,ingin menjadi yang “tunggal”,namun sekaligus pada sisi yang lain
menumbuhkan keinginan untuk mandiri serta keinginan terpendam untuk menonjolkan
identitas dan ini akan memungkinkan munculnya karya sebanyakbanyaknya yang khas
Indonesia dengan penafsiran baru.
Dengan
demikian,masa depan sastra Indonesia akan menjadi semakin “Indonesia”.
Kosmologi Indonesia justru akan menjadi lebih jelas ketimbang kosmologi
Indonesia saat ini yang masih “remang-remang”. Di tengah gelontoran budaya
global dan (mungkin) bahasa global,sastra Indonesia kelak akan semakin
menemukan jati dirinya yang berbeda dengan sastra Amerika,sastra Inggris,India,
Afrika,atau yang lainnya lagi.
Sebab,justru
dalam himpitan global itu akan selalu muncul “mitos”baru sebagai tanggapan atau
tandingan atas mitos yang sudah ada sebelumnya.Tradisi inilah yang menyebabkan
sastra kita memiliki masa lampau sekaligus masa depan.Di tengah gelontoran
global itu pula sastrawan Indonesia yang mampu memanfaatkan sejarah yang tidak
saja sekadar sebagai pas significancenamun lebih menyikapinya sebagai sebuah
pendekatan antikurian dan kritis yang dapat meletakkannya dengan hubungannya
dengan masa kini (present of meaning), bahkan sebagai future meaningakan
semakin berhasil mengukuhkan identitas sastra Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment