Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Friday, June 8, 2012

Sastra Indonesia Hari ini

Sastra kita sejak awal perkembangannya hingga kini besar dan dibesarkan di tengah berbagai kekhawatiran dan kecemasan. Mulai dari kekhawatiran akan penyaringan model Balai Pustaka, sloganisme sastra, pertarungan tradisi versus modernisme,pertarungan ideologi dan sebagainya. 
Kini salah satu dari kecemasan itu adalah bahwa dua puluhan tahun ke depan sastra Indonesia bisa jadi akan menjadi merana,menyendiri dan tak berdaya di hadapan kegagahan globalisasi. Kecemasan ini didasarkan sebuah anggapan,bahwa akibat globalisasi dan kecanggihan komunikasi, bahasa Indonesia sebagai media ekspresi sastra Indonesia menjadi rapuh menghadapi gelontoran bahasa global,bahasa Inggris.
Dibayangkan kelak,akibat globalisasi itu,bagaimana sebuah keluarga Indonesia lebih terbiasa dan lebih fasih berbahasa Inggris daripada bahasa Indonesia akibatnya dice-maskan pula kelak sastrawan Indonesia akan lebih suka menulis karya sastra dalam bahasa Inggris sekaligus lebih suka meluncurkan karyanya ke kota-kota metropolis mancanegara. 
Kecemasan ini mungkin sekadar kecemasan kecil belaka.Pemakaian bahasa Inggris dalam masyarakat kita bukan untuk aktivitas literasi tapi lebih cenderung bersifat pragmatis meladeni zaman dalam bentuk kerja,mode, komunikasi praktis atau aksesori identitas saja. Rembesannya ke ranah sastra memerlukan keajaiban nalar dan imajinasi serta tentu saja sangat bergantung biografi kultural kita dan imperatif kapitalisme.
Kemungkinan bergesernya bahasa Indonesia ke bahasa internasional (Inggris) dalam literasi tidaklah persoalan sederhana karena bahasa “nasional” menyimpan berbagai hal yang bersifat “ke dalam”khusus, spesifik,dan melibatkan aspek emosional–bahkan bisa saja irasional–yang tidak begitu saja dengan mudah digeser dengan bahasa lainnya.
Berjubelnya tokotoko dengan buku-buku berbahasa Inggris, maraknya internet,serta kecanggihan komunikasi, tidak otomatis akan gampang menggusur bahasa dan sastra Indonesia begitu saja.Kasus Mahabarata dan Ramayana,misalnya, menunjukkan bagaimana kita mengatasi masalah gempuran bahasa dan budaya ini.Sejak India menulari kita dengan kemampuan beraksara sekaligus mengenalkan Mahabarata dan Ramayana itu,kita tidak serta-merta menjadi orang India atau orang yang berbahasa India.
Justru dengan kelenturan budaya kita berhasil menjadikan Ramayana dan Mahabarata memiliki cita rasa dan ekspresi yang berbeda dari tanah leluhurnya. Singgungan dan geseran dengan budaya lain terbukti sudah berabad-abad menghasilkan kesusastraan seperti gurindam,hikayat, novel,puisi dan lain-lain yang semuanya berasal dari asing. Dan dalam perjalanannya, sastra dan sastrawan Indonesia tidak pernah larut dan menjadi orang asing yang berbahasa asing meskipun sastrawan-sastrawan kita membuka diri misalnya pada soneta-soneta Belanda,Lorca, Camus,dan lain sebagainya. 
Namun,justru dengan melahap sastra manca itu, Chairil Anwar misalnya,malah membuka perkembangan bahasa Indonesia dalam berbagai kemungkinan linguistik yang menakjubkan yang sebelumnya tak terbayangkan di era sebelumnya. Selain itu,meski jagat semakin hari semakin kencang berlari dan “ruang” yang semakin penuh sesak sehingga nyaris tak ada lagi “ruang kosong”,selalu ada upaya untuk menafsir ulang, mengekspresi ulang apa yang telah dimiliki kesusastraan dan kebudayaan kita sebelumnya.
Justru dalam jagat yang tungganglanggang, semakin terbuka kemungkinan bahasa dan sastra Indonesia untuk meledakkan daya ungkap dan jati dirinya.Globalisasi akan menyimpan paradoksnya. Pada satu sisi mengakibatkan ketergantungan pada yang lain,ingin menjadi yang “tunggal”,namun sekaligus pada sisi yang lain menumbuhkan keinginan untuk mandiri serta keinginan terpendam untuk menonjolkan identitas dan ini akan memungkinkan munculnya karya sebanyakbanyaknya yang khas Indonesia dengan penafsiran baru.
Dengan demikian,masa depan sastra Indonesia akan menjadi semakin “Indonesia”. Kosmologi Indonesia justru akan menjadi lebih jelas ketimbang kosmologi Indonesia saat ini yang masih “remang-remang”. Di tengah gelontoran budaya global dan (mungkin) bahasa global,sastra Indonesia kelak akan semakin menemukan jati dirinya yang berbeda dengan sastra Amerika,sastra Inggris,India, Afrika,atau yang lainnya lagi. 
Sebab,justru dalam himpitan global itu akan selalu muncul “mitos”baru sebagai tanggapan atau tandingan atas mitos yang sudah ada sebelumnya.Tradisi inilah yang menyebabkan sastra kita memiliki masa lampau sekaligus masa depan.Di tengah gelontoran global itu pula sastrawan Indonesia yang mampu memanfaatkan sejarah yang tidak saja sekadar sebagai pas significancenamun lebih menyikapinya sebagai sebuah pendekatan antikurian dan kritis yang dapat meletakkannya dengan hubungannya dengan masa kini (present of meaning), bahkan sebagai future meaningakan semakin berhasil mengukuhkan identitas sastra Indonesia.

Sastra Indonesia Hari ini Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment