Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Tuesday, June 12, 2012

Realita Hukum Indonesia

Hukum sebaik penyusunannya sepanjang dilakukan manusia tetap saja hilang kesempurnaanya dan nilai kemanusiaannya ketika dijalankan dalam praktik. Hal ini sudah tentu di luar jangkauan persepsi dan pemikiran para pembentuk undang-undang dan para ahli teoritik hukum yang tak pernah menyelami realita hukum dalam kehidupan sehari-hari. Hukum dalam realita hanya ada dalam genggaman kekuasaan manusia sehingga karakter hukum bisa berubah-ubah sangat tergantung dari karakter manusia yang menggengam dan menjalankannnya. Janganlah mencari cita dan idealisme hukum di dalam kenyataan karena langkah seperti itu akan sia-sia belaka dan berujung kekecewaan karena cita hukum dan idealisme hukum yang terdapat dalam textbook layaknya garis pinggir di lapangan sepak bola; wasit yang menentukan tertib tidaknya permainan.Ciita hukum, kepastian hukum dan keadilan, hanya ilusi dan mimpi indah para akademisi. Jika hendak menemukan apa dan bagaimana hukum itu dilaksanakan , maka temukanlah di dalam di dalam kehidupan rumah tahanan (detention) dan di dalam kehidupan penjara (prisons) dan di dalam proses persidangan pengadilan. Pada proses tersebutlah dapat dirasakan denyut nadinya hukum; tidak akan ditemukan dan dirasakan di dalam proses perdebatan di Senayan. Hukum dalam realita Indonesia kira-kiran cocok dengan kata-kata Hobbes, “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, mereka saling membinasakan satu sama lain”(homo homini lupus, bellum omnium contra omnes). Dalam masyarakat modern, kata-kata Hobbes ini , dipraktekkan melalui hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Hukum dalam realita sangat jauh dari cita kepastian hukum dan keadilan. 
Pembangunan hukum bukan hanya melahirkan UU sebanyak-banyaknya (kuantitas) tetapi juga seharusnya memasukkan nilai-nilai kemanusian yang adil dan beradab di dalam Pancasila sehingga untuk itu diperlukan manusia pemegang amanah penegakan hukum yang berkarakter dan bermoral Pancasila. Pembangunan hukum adalah pembangunan nilai-nilai kepastian hukum dan keadilan serta nilai kemanfaatannya bagi kehidupan manusia. Pembangunan hukum dan penegakannya bukan sekedar mencapai target memasukkan sebanyak-banyaknya penjahat ke dalam bui, melainkan juga harus dipertimbangkan dan dikritisi bagaimana penjahat-penjahat itu diperlakukan berdasarkan hukum yang berlaku sampai memperoleh putusan pengadilan yang tetap.Kegagalan kita selama 60-an tahun merdeka dalam pembangunan hukum dan penegakan hukum adalah karena sering dilupakan karakter dan moral para pemegang amanah penegakan hukum. Sesungguhnya semakin banyak perkara yang masuk dan diputus pengadilan serta semakin banyak manusia yang dimasukkan ke dalam bui, itu suatu pertanda bahwa, pembangunan hukum dan penegakan hukum itu telah mengalami kegagalan, bukan harus dinilai dan ditafsirkan sebagai sukses. Sukses dalam pembangunan dan penegakan hukum adalah jika perkembangan kejahatan semakin menurun dan mereka yang dibui semakin berkurang sehingga dengan demikian merupakan bukti bahwa kehidupan masyarakat telah tertib dan aman. 
Prinsip peradilan cepat,singkat dan biaya murah, hanyalah slogan belaka karena dalam realita justru sebaliknya, dan keadaan ini disebabkan “kekeliruan “ pemikir dan pembentuk uu , yang tidak mempertimbangkan bahwa, subjek dan sekaligus objek penegakan hukum adalah manusia dengan segala ke-fitrahannya. Sebaliknya pembentuk UU bahkan, telah menetapkan jumlah masa penahanan mencapai, 400 hari sampai pada tingkat kasasi di MA; belum lagi pemeriksaan PK yang tidak ada batas waktunya di dalam KUHAP. Kita bisa bayangkan seseorang dalam tahanan, hari demi hari, bulan demi bulan sampai dengan 120 hari di tingkat penyidikan; 60 hari di tingkat penuntutan; 60 hari di tingkat pengadilan negeri, dst sampai di MA. Bayangkan kebebasan yang dibatasi selama 24 jam sehari sering tanpa kepastian hukum kapan akan diperiksa! 
Diskresi penyidik sangat luas dan tidak terbatas dalam menjalankan ketentuan penangkapan dan penahanan. Perpanjangan masa penahanan dalam praktik seperti “ban berjalan;”seorang tahanan diperlakukan sebagai “komoditi” tanpa nyawa. Batasan antara ditahan dan tidak ditahan sering tidak jelas dan terkadang hanya kekuasaan,uang, dan nepotisme-lah yang mampu membatasi atau menghentikan diskresi tersebut. Sekalipun secara yuridisi normatif, tahanan dan hukuman itu berbeda, tetapi dalam realita hukum, kedua-nya tidak berbeda; bahkan di dalam lingkungan para tahanan dan penegak hukum, dikenal pemeo,, “tahanan merupakan panjar hukuman”; persoalannya, bagaimanakah jika tahanan itu kemudian dibebaskan oleh pengadilan 
Dari sisi proses stigmatisasi, tidak ada perbedaan makna antara tahanan dan hukuman sekalipun secara yuridis normatif mereka dapat dibedakan. Dampak stigmatisasi sosial sebagai “penjahat” atau “koruptor” telah melekat sejak seseorang ditahan sampai dengan duduk sebagai terdakwa di sidang pengadilan dan diputus pengadilan dan bahkan setelah bebas dari hukuman. Masyarakat bahkan kawan terdekat sekalipun sering melihat seseorang yang ditahan dan dihukum sebagai berpenyakit kusta; tidak ada yang mau mendekat atau menyapa. Realita hukum inilah yang mendorong kita semua bahwa sebaik-baik menahan dan menghukum seseorang adalah lebih baik kita dapat mencegah seseorang melakukan kejahatan. Sebaik filosofi dan perlindungan hukum di dalam konsep dan aturan, maka tidak lebih baik lagi jika kita melihat dan mengamati kenyataan bagaimana pemegang amanah penegakan hukum, sering memberlakukan dan mempermainkan hukum atas dasar kepentingan pribadi,kelompok,atau kekuasaan; terlupa mereka terhadap sisi kemanusiaan yang adil dan berada di dalam Pancasila. Di dalam negara demokrasi seharusnya masalah perlakuan terhadapan tahanan dan di penjara dijadikan ukuran peradaban suatu bangsa bukan dijadikan ukuran keberhasilan untuk mempertahankan dan memelihara citra penegakan hukum; bahkan justru menambah beban anggaran negara dengan banyaknya orang dijebloskan ke dalam tahanan dan penjara. 

Realita Hukum Indonesia Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment