Hukum sebaik
penyusunannya sepanjang dilakukan manusia tetap saja hilang kesempurnaanya dan
nilai kemanusiaannya ketika dijalankan dalam praktik. Hal ini sudah tentu di
luar jangkauan persepsi dan pemikiran para pembentuk undang-undang dan para
ahli teoritik hukum yang tak pernah menyelami realita hukum dalam kehidupan
sehari-hari. Hukum dalam realita hanya ada dalam genggaman kekuasaan manusia
sehingga karakter hukum bisa berubah-ubah sangat tergantung dari karakter
manusia yang menggengam dan menjalankannnya. Janganlah mencari cita dan
idealisme hukum di dalam kenyataan karena langkah seperti itu akan sia-sia belaka
dan berujung kekecewaan karena cita hukum dan idealisme hukum yang terdapat
dalam textbook layaknya garis pinggir di lapangan sepak bola; wasit yang
menentukan tertib tidaknya permainan.Ciita hukum, kepastian hukum dan keadilan,
hanya ilusi dan mimpi indah para akademisi. Jika hendak menemukan apa dan
bagaimana hukum itu dilaksanakan , maka temukanlah di dalam di dalam kehidupan
rumah tahanan (detention) dan di dalam kehidupan penjara (prisons) dan di dalam
proses persidangan pengadilan. Pada proses tersebutlah dapat dirasakan denyut
nadinya hukum; tidak akan ditemukan dan dirasakan di dalam proses perdebatan di
Senayan. Hukum dalam realita Indonesia kira-kiran cocok dengan kata-kata
Hobbes, “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, mereka saling membinasakan
satu sama lain”(homo homini lupus, bellum omnium contra omnes). Dalam
masyarakat modern, kata-kata Hobbes ini , dipraktekkan melalui hukum sebagai
sarana untuk mencapai tujuannya. Hukum dalam realita sangat jauh dari cita
kepastian hukum dan keadilan.
Pembangunan
hukum bukan hanya melahirkan UU sebanyak-banyaknya (kuantitas) tetapi juga
seharusnya memasukkan nilai-nilai kemanusian yang adil dan beradab di dalam
Pancasila sehingga untuk itu diperlukan manusia pemegang amanah penegakan hukum
yang berkarakter dan bermoral Pancasila. Pembangunan hukum adalah pembangunan
nilai-nilai kepastian hukum dan keadilan serta nilai kemanfaatannya bagi
kehidupan manusia. Pembangunan hukum dan penegakannya bukan sekedar mencapai
target memasukkan sebanyak-banyaknya penjahat ke dalam bui, melainkan juga
harus dipertimbangkan dan dikritisi bagaimana penjahat-penjahat itu
diperlakukan berdasarkan hukum yang berlaku sampai memperoleh putusan
pengadilan yang tetap.Kegagalan kita selama 60-an tahun merdeka dalam
pembangunan hukum dan penegakan hukum adalah karena sering dilupakan karakter
dan moral para pemegang amanah penegakan hukum. Sesungguhnya semakin banyak
perkara yang masuk dan diputus pengadilan serta semakin banyak manusia yang
dimasukkan ke dalam bui, itu suatu pertanda bahwa, pembangunan hukum dan
penegakan hukum itu telah mengalami kegagalan, bukan harus dinilai dan
ditafsirkan sebagai sukses. Sukses dalam pembangunan dan penegakan hukum adalah
jika perkembangan kejahatan semakin menurun dan mereka yang dibui semakin
berkurang sehingga dengan demikian merupakan bukti bahwa kehidupan masyarakat
telah tertib dan aman.
Prinsip
peradilan cepat,singkat dan biaya murah, hanyalah slogan belaka karena dalam
realita justru sebaliknya, dan keadaan ini disebabkan “kekeliruan “ pemikir dan
pembentuk uu , yang tidak mempertimbangkan bahwa, subjek dan sekaligus objek
penegakan hukum adalah manusia dengan segala ke-fitrahannya. Sebaliknya
pembentuk UU bahkan, telah menetapkan jumlah masa penahanan mencapai, 400 hari
sampai pada tingkat kasasi di MA; belum lagi pemeriksaan PK yang tidak ada
batas waktunya di dalam KUHAP. Kita bisa bayangkan seseorang dalam tahanan,
hari demi hari, bulan demi bulan sampai dengan 120 hari di tingkat penyidikan;
60 hari di tingkat penuntutan; 60 hari di tingkat pengadilan negeri, dst sampai
di MA. Bayangkan kebebasan yang dibatasi selama 24 jam sehari sering tanpa
kepastian hukum kapan akan diperiksa!
Diskresi
penyidik sangat luas dan tidak terbatas dalam menjalankan ketentuan penangkapan
dan penahanan. Perpanjangan masa penahanan dalam praktik seperti “ban
berjalan;”seorang tahanan diperlakukan sebagai “komoditi” tanpa nyawa. Batasan
antara ditahan dan tidak ditahan sering tidak jelas dan terkadang hanya
kekuasaan,uang, dan nepotisme-lah yang mampu membatasi atau menghentikan
diskresi tersebut. Sekalipun secara yuridisi normatif, tahanan dan hukuman itu
berbeda, tetapi dalam realita hukum, kedua-nya tidak berbeda; bahkan di dalam
lingkungan para tahanan dan penegak hukum, dikenal pemeo,, “tahanan merupakan
panjar hukuman”; persoalannya, bagaimanakah jika tahanan itu kemudian
dibebaskan oleh pengadilan
Dari sisi proses
stigmatisasi, tidak ada perbedaan makna antara tahanan dan hukuman sekalipun
secara yuridis normatif mereka dapat dibedakan. Dampak stigmatisasi sosial
sebagai “penjahat” atau “koruptor” telah melekat sejak seseorang ditahan sampai
dengan duduk sebagai terdakwa di sidang pengadilan dan diputus pengadilan dan
bahkan setelah bebas dari hukuman. Masyarakat bahkan kawan terdekat sekalipun sering
melihat seseorang yang ditahan dan dihukum sebagai berpenyakit kusta; tidak ada
yang mau mendekat atau menyapa. Realita hukum inilah yang mendorong kita semua
bahwa sebaik-baik menahan dan menghukum seseorang adalah lebih baik kita dapat
mencegah seseorang melakukan kejahatan. Sebaik filosofi dan perlindungan hukum
di dalam konsep dan aturan, maka tidak lebih baik lagi jika kita melihat dan
mengamati kenyataan bagaimana pemegang amanah penegakan hukum, sering
memberlakukan dan mempermainkan hukum atas dasar kepentingan
pribadi,kelompok,atau kekuasaan; terlupa mereka terhadap sisi kemanusiaan yang
adil dan berada di dalam Pancasila. Di dalam negara demokrasi seharusnya
masalah perlakuan terhadapan tahanan dan di penjara dijadikan ukuran peradaban
suatu bangsa bukan dijadikan ukuran keberhasilan untuk mempertahankan dan
memelihara citra penegakan hukum; bahkan justru menambah beban anggaran negara
dengan banyaknya orang dijebloskan ke dalam tahanan dan penjara.
0 komentar:
Post a Comment