Ini menggambarkan
gurita korupsi di birokrasi memang direstui sistem. Demikian juga “sistem”
telah memberi peluang kepada perusahaan-perusahaan yang dimiliki para
pengurus partai (berkuasa?) untuk berburu rente dari rangkaian perjalanan
“dana projek” dari hulu ke hilir. Inilah sebenarnya penyebab kemiskinan yang
nyata.
Menjelang
dan pasca lebaran, begitu luas ladang amal kita untuk berbagi, dari mulai ke
luar rumah sampai dengan tempat-tempat tujuan kita begitu banyak
saudara-saudara kita sebangsa yang perlu kita bagi, mereka siap menerima
pemberian kita, mereka sering kita sebut pengemis. Dari perspektif religous
kita wajib berterima kasih karena masih ada pihak yang mau menerima pemberian,
infaq, sodaqoh dan zakat kita. Miris kita membayangkan akan datang satu masa
harta benda kita tak akan berguna lagi karena tidak ada lagi pihak-pihak yang
mau menerima pemberian, zakat, infaq atau sodaqoh kita, begitulah Al Quran
mengabarkan dan saya yakini masa itu akan datang, karena itu saya selalu
mengingatkan kepada diri sendiri dan keluarga saya untuk menjadikan “kebiasaan
memberi” sekecil apapun sebagai bagian dari sikap dan gaya hidup kita
selayaknya kebutuhan makan sehari-hari.
Persoalannya
menjadi dillematis, ketika melalui Bbm saya menerima gambar seseorang
berbaju batik rapih sedang berkomunikasi dengan HPnya dari puteri ragil saya.
Gambar itu diambil di stasiun Kereta Api Depok UI ketika puteri saya menuju
pulang sehabis membereskan keperluan di kampusnya. Di bawah photo itu puteri
saya memberi komentar: pa, ini orang yang di caman, saya belum mengerti apa
arti gambar & teks yang ditulis di bawahnya sampai kemudian saya men”zoom”
gambar itu dan mengamati dengan seksama, Astagfirullah al adhim ternyata
gambar itu adalah “pengemis buta” yang setiap hari kami temui di lampu merah
perempatan caman- kali malang seratus meter dari komplek perumahan kami.
Tambah lagi
ketika membaca artikel di detik.com : Mengemis di kota, hidup mewah di
desa (8/9/2011), Banyak uang dari sewakan anak dan orang buta (9/9/
2011), Ber truk-truk Pengemis didatangkan ke Jakarta
(5/9/2011) ternyata kemiskinan, ketidak berdayaan (cacat phisik), keterindasan
(psikis) dan marginalitas seseorang bisa dieksploitir menjadi peluang, ya
peluang bisnis. Kemiskinan, ketidak berdayaan, ketertindasan jika
dipertontonkan akan melahirkan produk baru yaitu “rasa belas kasihan”, produk
inilah yang laku dijual dikota-kota besar. Rasa belas kasihan sudah menjadi
komoditi yang bisa “dijual” dan menghasilkan in come, bayangkan
pendapatan sehari seorang pengemis (Rp.200 ribu) mengalahkan upah pekerja
bangunan di Jakarta yang berkisar antara Rp.70 ribu s/d Rp.90 ribu perhari,
ironis ya !
Dari pengamatan
dan penglihatan saya di jalanan, pengemis itu bisa dibagi dalam dua katagori,
pengemis jujur dan pengemis bertopeng. Memperlihatkan kecacatan pisik
(termasuk pura-pura) masuk katagori jujur, sedangkan yang bertopeng pengamen,
seragam kebersihan, seragam mahaisswa (Jaket yang seolah-olah milik almamater
tertentu) dan seragam lain masuk dalam katagori pengemis bertopeng, tapi yang
mengerikan adalah pengemis jujur yang tidak bertopeng, tapi menggunakan
“kapak merah”, ha..ha..!
Korupsi Kemiskinan
Para ahli
mengidentifikasi sebab-sebab kemiskinan diantaranya karena budaya dan sistem.
Kemiskinan bisa lahir karena budaya malas, etos kerja yang minimalis
menyebabkan orang malas bekerja keras. Faktor inilah salah satunya yang
menyebabkan orang memilih untuk mengemis ketimbang bekerja, dari kacamata ilmu
soial ini juga dikatagorikan sebagai “pathologi social” penyakit
kemasyarakatan. Dalam kiprahnya kelompok ini di jalanan kerap dihadapi oleh
Pemda-pemda dengan Perda Ketertiban Umum, mengusir semua stake holder jalanan,
pedagang kakilima, asongan, pengamen dan pengemis. Jika “aturan” itu
dimaksudkan untuk memberantas kemiskinan selain menciptakan ketertiban umum di
jalan, maka ini menjadi tidak akurat. Saya tidak anti ketertiban di jalan
karena itu kebutuhan saya juga, tetapi keberhasilan “operasi pembersihan” di
jalanan akan melahirkan persoalan sosial baru, karena hari hari ini jalanan
menjadi “kanal” bagi banjir kemiskinan di kota-kota besar.
Kemiskinan
karena sistem, oleh para ahli disebut sebagai “kemiskinan struktural”. Struktur
atau strata dan pola-pola hubungan dalam masyarakat yang diterjemahkan
dalam aturan-aturan hukum menciptakan peminggiran terhadap masyarakat-masyarakat
bawah. Sistem atau aturan hukum telah melahirkan lapangan kerja yang
membutuhkan pendidikan dan keahlian tertentu, sementara untuk meraih pendidikan
& keahlian tertentu membutuhkan biaya yang tak terjangkau akhirnya
melahirkan masyarakat yang uneducated muara dari kemiskinan.
Yang mengerikan
justru karena sistem yang ada telah menciptakan lofthole atau
celah-celah yang melahirkan para pemain korupsi, utamanya pada
projek-projek yang secara sadar dimaksudkan untuk memberantas kemiskinan, seperti
pembangunan infra struktur, Bantuan untuk Sekolah, bantuan raskin, rumah sakit
gratis dan semacamnya. Pemain-pemain ini dilahirkan oleh sistem, oleh
aturan mulai dari Staf khusus/ahli Menteri, para Direktur, Ses Dirjen
atau Dirjen dan bahkan Menterinya di jajaran birokrasi. Para pengusaha pemburu
proyek dan calo-calo anggaran yang bergentayangan di Badan Anggaran DPR, bahkan
tidak mustahil ada oknum anggota juga terlibat dalam mafia anggaran.
Ya, mafia
anggaran ini yang menyebabkan kemiskinan, belum lagi jika kita simak pernyataan
salah seorang anggota badan anggaran yang menyebutkan bahwa hampir 70%
uang rakyat yang digunakan operasional pemerintahan (APBN / APBD) hanya
digunakan untuk perjalanan dinas, seminar, penelitian dan sebagainya,
bukan untuk program-program yang langsung bersentuhan dengan kesejahteraan
rakyat (pendidikan, kesehatan, keamanan). Ini menggambarkan gurita
korupsi di birokrasi memang direstui sistem. Demikian juga “sistem” telah
memberi peluang kepada perusahaan-perusahaan yang dimiliki para pengurus
partai (berkuasa ?) untuk berburu rente dari rangkaian perjalanan “dana projek”
dari hulu ke hilir. Inilah sebenarnya penyebab kemiskinan yang nyata.
Siapa bilang
tidak ada hubungannya antara pilihan hidup menjadi pengemis dengan
korupsi, coretan diatas saya kira bisa membantu memahami hal itu. Karena
itu cobalah mulai saat ini energi positif kita dalam konteks melakukan
perbuatan baik dan menghindari kejahatan (amar ma’ruf nahi mungkar) kita
tafsir dan wujudkan dalam bentuk kerja-kerja untuk pencegahan dan pemberantasan
korupsi di semua lini dimanapun kita berada.
Ikut berusaha
menciptakan kesejahteraan kehidupan umum bagi sesama kita adalah adalah
bentuk-bentuk penciptaan “syurga” di dunia (fid dunya hasanah) dan syurga
diakhirat nanti (fil akhiraathi hasanah). Semoga Allah SWT meridhoi . Amin.
0 komentar:
Post a Comment