Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Tuesday, June 12, 2012

Komoditifikasi “rasa belas kasihan”, Sodaqoh dan Korupsi

Ini  menggambarkan gurita korupsi di birokrasi memang direstui sistem. Demikian juga “sistem” telah memberi peluang kepada  perusahaan-perusahaan yang dimiliki para pengurus partai (berkuasa?) untuk berburu rente dari rangkaian perjalanan “dana projek” dari hulu ke hilir. Inilah sebenarnya penyebab kemiskinan yang nyata.
Menjelang  dan pasca lebaran, begitu luas ladang amal kita untuk berbagi, dari mulai ke luar rumah sampai dengan tempat-tempat tujuan  kita begitu banyak saudara-saudara kita sebangsa yang perlu kita bagi, mereka siap menerima pemberian kita, mereka sering kita sebut pengemis. Dari perspektif religous kita wajib berterima kasih karena masih ada pihak yang mau menerima pemberian, infaq, sodaqoh dan zakat kita. Miris kita membayangkan akan datang satu masa harta benda kita tak akan berguna lagi karena tidak ada lagi pihak-pihak yang mau menerima pemberian, zakat, infaq atau sodaqoh kita, begitulah Al Quran mengabarkan dan saya yakini masa itu akan datang, karena itu saya selalu mengingatkan kepada diri sendiri dan keluarga saya untuk menjadikan “kebiasaan memberi” sekecil apapun sebagai bagian dari sikap dan gaya hidup kita selayaknya kebutuhan makan  sehari-hari.
Persoalannya menjadi dillematis, ketika melalui  Bbm saya menerima gambar seseorang berbaju batik rapih sedang berkomunikasi dengan HPnya dari puteri ragil saya. Gambar itu diambil di stasiun Kereta Api Depok UI ketika puteri saya menuju pulang sehabis membereskan keperluan di kampusnya. Di bawah photo itu puteri saya memberi komentar: pa, ini orang yang di caman, saya belum mengerti apa arti gambar & teks yang ditulis di bawahnya sampai kemudian saya men”zoom” gambar itu dan mengamati dengan seksama, Astagfirullah al adhim ternyata gambar itu adalah “pengemis buta” yang setiap hari kami temui di lampu merah perempatan caman- kali malang  seratus meter dari komplek perumahan kami.
Tambah lagi ketika membaca artikel di detik.com  : Mengemis di kota, hidup mewah di desa (8/9/2011),  Banyak uang dari sewakan anak dan orang buta  (9/9/ 2011), Ber truk-truk Pengemis didatangkan ke Jakarta   (5/9/2011) ternyata kemiskinan, ketidak berdayaan (cacat phisik), keterindasan (psikis) dan marginalitas seseorang bisa dieksploitir menjadi peluang, ya peluang bisnis.  Kemiskinan, ketidak berdayaan, ketertindasan jika dipertontonkan akan melahirkan produk baru yaitu “rasa belas kasihan”, produk inilah yang laku dijual dikota-kota besar. Rasa belas kasihan sudah menjadi komoditi  yang bisa “dijual” dan menghasilkan in come, bayangkan pendapatan sehari seorang pengemis (Rp.200 ribu) mengalahkan upah pekerja bangunan di Jakarta yang berkisar antara Rp.70 ribu s/d Rp.90 ribu perhari, ironis ya !
Dari pengamatan dan penglihatan saya di jalanan, pengemis itu bisa dibagi dalam dua katagori, pengemis jujur dan pengemis bertopeng.  Memperlihatkan kecacatan pisik (termasuk pura-pura) masuk katagori jujur, sedangkan yang bertopeng pengamen, seragam kebersihan, seragam mahaisswa (Jaket yang seolah-olah milik almamater tertentu) dan seragam lain masuk dalam katagori pengemis bertopeng, tapi yang mengerikan adalah pengemis jujur yang tidak bertopeng, tapi  menggunakan “kapak merah”, ha..ha..!
Korupsi Kemiskinan
Para ahli mengidentifikasi sebab-sebab kemiskinan diantaranya karena budaya dan sistem. Kemiskinan bisa lahir karena budaya malas, etos kerja yang minimalis menyebabkan orang malas bekerja keras.  Faktor inilah salah satunya yang menyebabkan orang memilih untuk mengemis ketimbang bekerja, dari kacamata ilmu soial ini juga dikatagorikan sebagai “pathologi social” penyakit kemasyarakatan. Dalam kiprahnya kelompok ini di jalanan kerap dihadapi oleh Pemda-pemda dengan Perda Ketertiban Umum, mengusir semua stake holder jalanan, pedagang kakilima, asongan, pengamen dan pengemis. Jika “aturan” itu dimaksudkan untuk memberantas kemiskinan selain menciptakan ketertiban umum di jalan, maka ini menjadi tidak akurat. Saya tidak anti ketertiban di jalan karena itu kebutuhan saya juga, tetapi keberhasilan “operasi pembersihan” di jalanan akan melahirkan persoalan sosial baru, karena hari hari ini jalanan menjadi “kanal”  bagi banjir kemiskinan di kota-kota besar.
Kemiskinan karena sistem, oleh para ahli disebut sebagai “kemiskinan struktural”. Struktur atau strata dan  pola-pola hubungan dalam masyarakat yang diterjemahkan dalam aturan-aturan hukum menciptakan peminggiran terhadap masyarakat-masyarakat bawah. Sistem atau aturan hukum telah melahirkan lapangan kerja yang membutuhkan pendidikan dan keahlian tertentu, sementara untuk meraih pendidikan & keahlian  tertentu membutuhkan biaya yang tak terjangkau akhirnya melahirkan masyarakat yang uneducated muara dari kemiskinan.
Yang mengerikan justru karena sistem yang ada  telah menciptakan lofthole atau celah-celah yang melahirkan para pemain korupsi, utamanya pada  projek-projek yang secara sadar dimaksudkan untuk memberantas kemiskinan, seperti pembangunan infra struktur, Bantuan untuk Sekolah, bantuan raskin, rumah sakit gratis dan semacamnya.  Pemain-pemain ini dilahirkan oleh sistem, oleh aturan mulai dari  Staf khusus/ahli Menteri, para Direktur, Ses Dirjen atau Dirjen dan bahkan Menterinya di jajaran birokrasi. Para pengusaha pemburu proyek dan calo-calo anggaran yang bergentayangan di Badan Anggaran DPR, bahkan tidak mustahil ada oknum anggota juga terlibat dalam mafia anggaran.
Ya, mafia anggaran ini yang menyebabkan kemiskinan, belum lagi jika kita simak pernyataan salah seorang anggota badan anggaran yang menyebutkan bahwa hampir 70%  uang rakyat yang digunakan operasional pemerintahan (APBN / APBD) hanya digunakan  untuk perjalanan dinas, seminar, penelitian dan sebagainya, bukan untuk program-program yang langsung bersentuhan dengan kesejahteraan rakyat (pendidikan, kesehatan, keamanan).  Ini menggambarkan gurita korupsi di birokrasi memang direstui sistem. Demikian juga “sistem” telah memberi peluang kepada  perusahaan-perusahaan yang dimiliki para pengurus partai (berkuasa ?) untuk berburu rente dari rangkaian perjalanan “dana projek” dari hulu ke hilir. Inilah sebenarnya penyebab kemiskinan yang nyata.
Siapa bilang tidak ada hubungannya antara pilihan hidup menjadi pengemis dengan korupsi,  coretan diatas saya kira bisa membantu memahami hal itu. Karena itu cobalah mulai saat ini  energi positif kita dalam konteks melakukan perbuatan baik dan menghindari  kejahatan (amar ma’ruf nahi mungkar) kita tafsir dan wujudkan dalam bentuk kerja-kerja untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi di semua lini dimanapun kita berada.
Ikut berusaha menciptakan kesejahteraan kehidupan umum bagi sesama kita adalah adalah bentuk-bentuk penciptaan “syurga” di dunia (fid dunya hasanah) dan syurga diakhirat nanti (fil akhiraathi hasanah). Semoga Allah SWT meridhoi . Amin.

Komoditifikasi “rasa belas kasihan”, Sodaqoh dan Korupsi Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment