Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Wednesday, June 13, 2012

Penyederhanaan Parpol dan Stabilitas Pemerintahan

Di tengah simpang siur dan keragaman wacana penyederhanaan partai yang secara ringkas disederhanakan dalam dua besaran perdebatan hangat, penggunaan instrumen ambang batas parlemen (parliamentary threshold) sebagai upaya membatasi keragaman partai yang mungkin mengisi parlemen, dan pengecilan kuota caleg per dapil yang dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan keterwakilan caleg terpilih dan konstituen di samping pula mempersulit partai-partai 'recehan' memeroleh kursi, tulisan ini dibuat dengan agak 'serius' untuk memenuhi beberapa permintaan. Bagi para facebookers yang tak begitu tertarik dan tergganggu, penulis mohon maaf sebelumnya.
Wacana tentang Penyederhanaan Partai Politik dan Efektifitas Pemerintahan sejak reformasi 1998 telah mulai terdengar. Bahkan dalam 2 pemilu terakhir, 2009 dan 2004 aroma dan tekad itu terus diejawantahkan. Lebih jauh, dengan perkembangan beberapa tahun terakhir, disahkannya Undang-Undang tentang Partai Politik yang baru dan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu yang bakal digunakan sebagai aturan main dalam Pemilu 2014, secara tegas menyatakan agar berpijak pada persoalan mendasar, yaitu Governability dan Representativeness, stabilitas pemerintahan dan keterwakilan. Di atas dua persoalan dasar itulah rancang bangun pemerintahan dan sistem kepartaian Indonesia ke depan akan didirikan.
Membincangkan tentang kaitan stabilitas pemerintahan dan keterwakilan, dalam teori politik modern, tidak bisa dipisahkan dari tesis yang dibangun oleh Scott Mainwaring  (1993). Scott menesiskan,  dalam tulisannya “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination”, bahwa pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk merupakan kombinasi yang sulit dan dilematis. Tesis ini secara bersinambung menjadi perhatian serius kaitannya dengan demokratisasi yang harus mengakomodasi segenap potensi dan kelompok yang ada dalam suatu Negara.
Berangkat dari tesis inilah tulisan ini akan menyoroti beberapa hal hubungannya yang terkait dengan pembangunan sistem kepartaian dan stabilitas pemerintahan Indonesia ke depan.
Sistem Multipartai
Persoalan multipartai harus dibedakan dengan eksistensi model pemerintahan yang berjalan, seperti yang dikatakan oleh Mainwaring bahwa sistem multipartai dalam konteks sistem pemerintahan presidensial lebih akan menimbulkan berbagai macam masalah dibandingkan dengan sistem parlementer dengan sistem multipartai yang dianut.
Sistem multipartai pada sistem presidensial pada realitanya akan mendatangkan instabilitas pemerintahan. Instabilitas tersebut pada tataran lain disebabkan oleh sistem presidensial yang menerapkan “winner takes all” yang berarti eksekutif pemenang pemilu presidensial akan sepenuhnya memegang kendali kebijakan dan tentunya terdapat “bargaining politics” terhadap partai yang pernah mendukung presiden tersebut yang kemudian ditambah dengan adanya batasan waktu “fixed time” dari seorang presiden dalam memimpin, sehingga stabilitas demokrasi dan pemerintahan bukan menjadi isu utama namun justru bagaimana membagi-bagikan kekuasaan kepada partai yang telah mendukung.
Berbeda dengan sistem parlementer, meskipun pada kondisi yang serupa (multipartai) namun dalam sistem parlementer adalah parlemen yang kemudian memilih perdana menteri atas persetujuan partai yang berkoalisi dan tidak terbatas oleh waktu, sehingga kestabilan akan terjaga dan hal ini juga disebabkan partai yang ada di parlemen bertanggung jawab terhadap kinerja pemerintahan eksekutif yang tentunya berbeda dengan sistem presidensial dimana partai politik tidak perduli terhadap kinerja eksekutif, namun mereka lebih mementingkan posisi dan kepentingan partai-partai tersebut sehingga dapat diakomodir.
Lebih jauh, Mainwaring menyatakan bahwa the combination of presidentialism and multipartism is complicated by the difficulties of interparty coalition-buliding in presidential democracies. Terdapat komplikasi sistemik yang disebabkan oleh interpretasi bangunan koalisi dalam sistem presidensial. Karenanya, jika dibandingkan dengan pembentukan koalisi dalam sistem parlementer, Mainwaring mengemukakan tiga perbedaan koalisi multi-partai dalam sistem pemerintahan presidensial.
Pertama, dalam sistem parlementer, koalisi partai politik yang memilih menteri-menteri dan perdana menteri. Karenanya, mereka bertanggung jawab memberikan dukungan kepada pemerintah. Sedangkan dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya (presidents put together their own cabinets) dan partai politik punya komitmen yang rendah untuk mendukung presiden. Kedua, berbeda dengan sistem parlementer, dalam banyak sistem pemerintahan presidensial, anggota legislatif dari partai politik yang punya menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan partai politik untuk membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.
Lebih jauh, dalam cross-national survey yang dilakukan oleh Mainwaring terdapat temuan yang menarik. Menurutnya, tidak ada satupun dari 31 negara yang stabil demokrasinya yang menerapkan sistem multipartai dalam kepartaian mereka. Kombinasi rezim presidensial dan multipartai seperti terjadi dalam kasus Indonesia, menurut Mainwaring, adalah “difficult combination.” Hal ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, tiadanya kekuatan mayoritas partai yang menguasai parlemen akan mengakibatkandeadlock. Kedua, dibandingkan dengan sistem dua partai, sistem multipartai rentan melahirkan polarisasi ideologis. Ketiga, koalisi permanen antarpartai lebih sulit dibentuk dalam sistem presidensialisme ketimbang parlementer.
Efektifitas Pemerintahan
Mainwaring juga menyinggung pentingnya sistem pemerintahan yang efektif. Secara teoretis, pemerintahan yang efektif adalah suatu proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik oleh lembaga-lembaga publik yang selaras dengan aspirasi dan keinginan rakyat berdasarkan tata perundangan yang berlaku. Sedangkan pengertian sistem pemerintahan yang efektif adalah suatu pola hubungan antara berbagai lembaga-lembaga publik dalam rangka pembentukan dan pelaksanaan kebijakan publik dengan dasar-dasar prinsip tertentu untuk menterjemahkan aspirasi dan keinginan rakyat.
Pentingnya suatu sistem pemerintahan yang efektif, paling tidak karena 3 (tiga) alasan utama.Pertama, dengan adanya pemerintahan yang efektif, aktivitas pemerintahan menjadi lebih responsif. Pemerintah akan berusaha menterjemahkan keinginan rakyat menjadi kebijakan publik. Kedua, pemerintahan yang efektif akan membuat aktivitas pemerintahan lebih bisa didukung oleh berbagai kekuatan politik maupun masyarakat. Energi ini akan membuat pencapaian aktivitas pemerintah meluas oleh karena partisipasi masyarakat dan kekuatan politik dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan umum seperti memberikan pelayanan umum, mengatur konflik, maupun pembagian sumber-sumber ekonomi.Ketiga, pemerintahan yang efektif akan memungkinkan berlangsungnya aktivitas yang stabil dalam jangka panjang. Semakin minimnya distorsi dan interupsi proses pemerintahan akan membuat pencapaian tujuan bernegara dan berbangsa lebih mudah.
Untuk mendukung tercapainya sistem pemerintahan yang efektif, maka perlu suatu upaya serius untuk menguatkan berbagai elemen sistem pemerintahan bagi kebijakan publik yang aspiratif dan responsif. Jenis elemen-elemen tersebut sangat tergantung pada jenis sistem pemerintahan yang hendak dibangun. Sebagai sebuah sistem pemerintahan, untuk efektivitas fungsi pemerintahan maka lembaga presiden harus juga didukung oleh bekerjanya suatu sistem perwakilan yang efektif. Hubungan antara keduanya harus pula berimbang, yang didasarkan pada fondasi checks and balances yang efektif.
Secara umum dapat dikatakan bahwa penguatan sistem pemerintahan presidensiil membutuhkan penguatan lembaga kepresidenan, penguatan lembaga perwakilan, serta perimbangan hubungan kelembagaan antara presiden dan legislatif. Beberapa literatur menunjukkan adanya hubungan yang relatif konsisten antara sistem kepartaian dalam kaitannya dengan sistem presidensial. Multipartai, terutama yang bersifat terfragmentasi, menyebabkan implikasi deadlock dan immobilism bagi sistem presidensial murni. Alasannya adalah bahwa presiden akan mengalami kesulitan untuk memperoleh dukungan yang stabil dari legislatif sehingga upaya mewujudkan kebijakan akan mengalami kesulitan. Pada saat yang sama koalisi yang mengantarkan presiden untuk memenangkan pemilu tidak dapat dipertahankan untuk menjadi koalisi pemerintahan. Tidak ada mekanisme yang dapat mengikatnya. Alasan lain adalah bahwa komitmen anggota Dewan terhadap kesepakatan yang dibuat pimpinan partai jarang bisa dipertahankan. Dengan kata lain tidak adanya disiplin partai membuat dukungan terhadap presiden menjadi sangat tidak pasti. Perubahan dukungan dari pimpinan partai sangat juga ditentukan oleh perubahan kontekstual dari konstelasi politik yang ada.
Alternatif Sistemik
Berangkat dari permalasahan di atas, bila ingin tetap mempertahankan sistem pemerantahan presidensial, tampaknya pilihan pada Pemilu dengan sistem distrik menjadi penting. Atau setidak-tidaknya tetap menggunakan proporsioanal dengan varian yang terdekat ke sistem distrik. Hal ini berarti bahwa tesis memperkecil kuota kursi per daerah pemilihan untuk meningkatkan representasi wakil rakyat terpilih dapat dibenarkan dan dilakukan. Pada giliriannya, menyadari akan konsekuensi mahalnya harga kursi, akan ’memaksa’ partai-partai untuk melakukan koalisi sebelum pemilu. Dan pada gilirannya, kepesertaan pemilu pun akan semakin sederhana.
Dari sisi politik parlemen, konstruksi kekuatan parlemen terdesain menjadi 2 kekuatan (fraksi), yaitu,Fraksi Pemerintah (yang berkuasa) dan Fraksi Oposisi. Atau bisa ditolerir dengan 3 fraksi, yakni hadirnya kekuatan ketiga, Fraksi Netral. Meski terkesan aneh, kehadiran Fraksi Netral menjadi strategis dan sangat memungkinkan menjadi penyeimbang. Pengalaman politik pemerintahan dan parlemen di Indonesia, menjadi catatan penting lahirnya Fraksi Netral ini.
Bila posisi Fraksi Pemerintah jelas, dan Fraksi Oposisi pun jelas, kehadiran Fraksi Netral sangat tergantung situasi dan isu yang berkembang. Bisa jadi Fraksi Netral akan bersatu dengan Fraksi Pemerintah untuk satu isu (kebijakan), mendukung Penguasa. Dan sangat mungkin pula di satu keadaan untuk isu (kebijakan) yang lain berada di sisi Fraksi Oposisi, menentang kebijakan Penguasa. Dengan catatan rekam jejak perilaku partai-partai dan fraksi fraksi di parlemen, keadaan seperti ini menjadi niscaya. Bagaimana dengan governability dan representativeness? Secara teoretik sudah terjawab dan diselesaikan serta terpenuhi. Persoalannya, beranikah kita menempuh jalan itu?

Penyederhanaan Parpol dan Stabilitas Pemerintahan Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment