Di tengah
simpang siur dan keragaman wacana penyederhanaan partai yang secara ringkas
disederhanakan dalam dua besaran perdebatan hangat, penggunaan instrumen ambang
batas parlemen (parliamentary threshold) sebagai upaya membatasi keragaman
partai yang mungkin mengisi parlemen, dan pengecilan kuota caleg per dapil yang
dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan keterwakilan caleg terpilih dan
konstituen di samping pula mempersulit partai-partai 'recehan' memeroleh kursi,
tulisan ini dibuat dengan agak 'serius' untuk memenuhi beberapa permintaan.
Bagi para facebookers yang tak begitu tertarik dan tergganggu,
penulis mohon maaf sebelumnya.
Wacana tentang Penyederhanaan
Partai Politik dan Efektifitas Pemerintahan sejak reformasi 1998
telah mulai terdengar. Bahkan dalam 2 pemilu terakhir, 2009 dan 2004 aroma dan
tekad itu terus diejawantahkan. Lebih jauh, dengan perkembangan beberapa tahun
terakhir, disahkannya Undang-Undang tentang Partai Politik yang baru dan
penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu yang bakal digunakan sebagai
aturan main dalam Pemilu 2014, secara tegas menyatakan agar berpijak pada
persoalan mendasar, yaitu Governability dan Representativeness,
stabilitas pemerintahan dan keterwakilan. Di atas dua persoalan dasar itulah
rancang bangun pemerintahan dan sistem kepartaian Indonesia ke depan akan
didirikan.
Membincangkan
tentang kaitan stabilitas pemerintahan dan keterwakilan, dalam teori politik
modern, tidak bisa dipisahkan dari tesis yang dibangun oleh Scott
Mainwaring (1993). Scott menesiskan, dalam tulisannya
“Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination”,
bahwa pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk merupakan
kombinasi yang sulit dan dilematis. Tesis ini secara bersinambung menjadi
perhatian serius kaitannya dengan demokratisasi yang harus mengakomodasi
segenap potensi dan kelompok yang ada dalam suatu Negara.
Berangkat dari
tesis inilah tulisan ini akan menyoroti beberapa hal hubungannya yang terkait
dengan pembangunan sistem kepartaian dan stabilitas pemerintahan Indonesia ke
depan.
Sistem Multipartai
Persoalan
multipartai harus dibedakan dengan eksistensi model pemerintahan yang berjalan,
seperti yang dikatakan oleh Mainwaring bahwa sistem multipartai dalam konteks
sistem pemerintahan presidensial lebih akan menimbulkan berbagai macam masalah
dibandingkan dengan sistem parlementer dengan sistem multipartai yang dianut.
Sistem
multipartai pada sistem presidensial pada realitanya akan mendatangkan
instabilitas pemerintahan. Instabilitas tersebut pada tataran lain disebabkan
oleh sistem presidensial yang menerapkan “winner takes all” yang berarti
eksekutif pemenang pemilu presidensial akan sepenuhnya memegang kendali
kebijakan dan tentunya terdapat “bargaining politics” terhadap partai yang
pernah mendukung presiden tersebut yang kemudian ditambah dengan adanya batasan
waktu “fixed time” dari seorang presiden dalam memimpin, sehingga stabilitas
demokrasi dan pemerintahan bukan menjadi isu utama namun justru bagaimana
membagi-bagikan kekuasaan kepada partai yang telah mendukung.
Berbeda dengan
sistem parlementer, meskipun pada kondisi yang serupa (multipartai) namun dalam
sistem parlementer adalah parlemen yang kemudian memilih perdana menteri atas
persetujuan partai yang berkoalisi dan tidak terbatas oleh waktu, sehingga
kestabilan akan terjaga dan hal ini juga disebabkan partai yang ada di parlemen
bertanggung jawab terhadap kinerja pemerintahan eksekutif yang tentunya berbeda
dengan sistem presidensial dimana partai politik tidak perduli terhadap kinerja
eksekutif, namun mereka lebih mementingkan posisi dan kepentingan partai-partai
tersebut sehingga dapat diakomodir.
Lebih jauh,
Mainwaring menyatakan bahwa the combination of presidentialism and
multipartism is complicated by the difficulties of interparty
coalition-buliding in presidential democracies. Terdapat komplikasi sistemik
yang disebabkan oleh interpretasi bangunan koalisi dalam sistem presidensial.
Karenanya, jika dibandingkan dengan pembentukan koalisi dalam sistem
parlementer, Mainwaring mengemukakan tiga perbedaan koalisi multi-partai dalam
sistem pemerintahan presidensial.
Pertama, dalam
sistem parlementer, koalisi partai politik yang memilih menteri-menteri dan
perdana menteri. Karenanya, mereka bertanggung jawab memberikan dukungan kepada
pemerintah. Sedangkan dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri
kabinetnya (presidents put together their own cabinets) dan partai politik
punya komitmen yang rendah untuk mendukung presiden. Kedua, berbeda dengan
sistem parlementer, dalam banyak sistem pemerintahan presidensial, anggota
legislatif dari partai politik yang punya menteri di kabinet tidak mendukung
pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan partai politik untuk
membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.
Lebih jauh,
dalam cross-national survey yang dilakukan oleh Mainwaring terdapat
temuan yang menarik. Menurutnya, tidak ada satupun dari 31 negara yang stabil
demokrasinya yang menerapkan sistem multipartai dalam kepartaian mereka.
Kombinasi rezim presidensial dan multipartai seperti terjadi dalam kasus
Indonesia, menurut Mainwaring, adalah “difficult combination.” Hal ini
disebabkan oleh tiga hal. Pertama, tiadanya kekuatan mayoritas partai yang
menguasai parlemen akan mengakibatkandeadlock. Kedua, dibandingkan dengan
sistem dua partai, sistem multipartai rentan melahirkan polarisasi ideologis. Ketiga,
koalisi permanen antarpartai lebih sulit dibentuk dalam sistem presidensialisme
ketimbang parlementer.
Efektifitas Pemerintahan
Mainwaring juga
menyinggung pentingnya sistem pemerintahan yang efektif. Secara teoretis,
pemerintahan yang efektif adalah suatu proses pembentukan dan pelaksanaan
kebijakan publik oleh lembaga-lembaga publik yang selaras dengan aspirasi dan
keinginan rakyat berdasarkan tata perundangan yang berlaku. Sedangkan
pengertian sistem pemerintahan yang efektif adalah suatu pola hubungan antara
berbagai lembaga-lembaga publik dalam rangka pembentukan dan pelaksanaan
kebijakan publik dengan dasar-dasar prinsip tertentu untuk menterjemahkan
aspirasi dan keinginan rakyat.
Pentingnya suatu
sistem pemerintahan yang efektif, paling tidak karena 3 (tiga) alasan utama.Pertama,
dengan adanya pemerintahan yang efektif, aktivitas pemerintahan menjadi lebih
responsif. Pemerintah akan berusaha menterjemahkan keinginan rakyat menjadi
kebijakan publik. Kedua, pemerintahan yang efektif akan membuat aktivitas
pemerintahan lebih bisa didukung oleh berbagai kekuatan politik maupun
masyarakat. Energi ini akan membuat pencapaian aktivitas pemerintah meluas oleh
karena partisipasi masyarakat dan kekuatan politik dalam pelaksanaan fungsi
pemerintahan umum seperti memberikan pelayanan umum, mengatur konflik, maupun
pembagian sumber-sumber ekonomi.Ketiga, pemerintahan yang efektif akan memungkinkan
berlangsungnya aktivitas yang stabil dalam jangka panjang. Semakin minimnya
distorsi dan interupsi proses pemerintahan akan membuat pencapaian tujuan
bernegara dan berbangsa lebih mudah.
Untuk mendukung
tercapainya sistem pemerintahan yang efektif, maka perlu suatu upaya serius
untuk menguatkan berbagai elemen sistem pemerintahan bagi kebijakan publik yang
aspiratif dan responsif. Jenis elemen-elemen tersebut sangat tergantung pada
jenis sistem pemerintahan yang hendak dibangun. Sebagai sebuah sistem
pemerintahan, untuk efektivitas fungsi pemerintahan maka lembaga presiden harus
juga didukung oleh bekerjanya suatu sistem perwakilan yang efektif. Hubungan
antara keduanya harus pula berimbang, yang didasarkan pada fondasi checks
and balances yang efektif.
Secara umum
dapat dikatakan bahwa penguatan sistem pemerintahan presidensiil membutuhkan
penguatan lembaga kepresidenan, penguatan lembaga perwakilan, serta perimbangan
hubungan kelembagaan antara presiden dan legislatif. Beberapa literatur menunjukkan
adanya hubungan yang relatif konsisten antara sistem kepartaian dalam kaitannya
dengan sistem presidensial. Multipartai, terutama yang bersifat terfragmentasi,
menyebabkan implikasi deadlock dan immobilism bagi sistem
presidensial murni. Alasannya adalah bahwa presiden akan mengalami kesulitan
untuk memperoleh dukungan yang stabil dari legislatif sehingga upaya mewujudkan
kebijakan akan mengalami kesulitan. Pada saat yang sama koalisi yang
mengantarkan presiden untuk memenangkan pemilu tidak dapat dipertahankan untuk
menjadi koalisi pemerintahan. Tidak ada mekanisme yang dapat mengikatnya.
Alasan lain adalah bahwa komitmen anggota Dewan terhadap kesepakatan yang
dibuat pimpinan partai jarang bisa dipertahankan. Dengan kata lain tidak adanya
disiplin partai membuat dukungan terhadap presiden menjadi sangat tidak pasti.
Perubahan dukungan dari pimpinan partai sangat juga ditentukan oleh perubahan
kontekstual dari konstelasi politik yang ada.
Alternatif Sistemik
Berangkat dari
permalasahan di atas, bila ingin tetap mempertahankan sistem pemerantahan
presidensial, tampaknya pilihan pada Pemilu dengan sistem distrik menjadi
penting. Atau setidak-tidaknya tetap menggunakan proporsioanal dengan
varian yang terdekat ke sistem distrik. Hal ini berarti bahwa tesis memperkecil
kuota kursi per daerah pemilihan untuk meningkatkan representasi wakil rakyat
terpilih dapat dibenarkan dan dilakukan. Pada giliriannya, menyadari akan
konsekuensi mahalnya harga kursi, akan ’memaksa’ partai-partai untuk melakukan
koalisi sebelum pemilu. Dan pada gilirannya, kepesertaan pemilu pun akan
semakin sederhana.
Dari sisi
politik parlemen, konstruksi kekuatan parlemen terdesain menjadi 2 kekuatan
(fraksi), yaitu,Fraksi Pemerintah (yang berkuasa) dan Fraksi Oposisi.
Atau bisa ditolerir dengan 3 fraksi, yakni hadirnya kekuatan ketiga, Fraksi
Netral. Meski terkesan aneh, kehadiran Fraksi Netral menjadi strategis dan
sangat memungkinkan menjadi penyeimbang. Pengalaman politik pemerintahan dan
parlemen di Indonesia, menjadi catatan penting lahirnya Fraksi Netral ini.
Bila posisi Fraksi
Pemerintah jelas, dan Fraksi Oposisi pun jelas, kehadiran Fraksi
Netral sangat tergantung situasi dan isu yang berkembang. Bisa jadi Fraksi
Netral akan bersatu dengan Fraksi Pemerintah untuk satu isu (kebijakan),
mendukung Penguasa. Dan sangat mungkin pula di satu keadaan untuk isu
(kebijakan) yang lain berada di sisi Fraksi Oposisi, menentang kebijakan
Penguasa. Dengan catatan rekam jejak perilaku partai-partai dan fraksi fraksi
di parlemen, keadaan seperti ini menjadi niscaya. Bagaimana dengan governability dan representativeness?
Secara teoretik sudah terjawab dan diselesaikan serta terpenuhi. Persoalannya,
beranikah kita menempuh jalan itu?
0 komentar:
Post a Comment