Pertanyaan yang
sering diajukan oleh kelompok yang sejak awal alergi terhadap bangkitnya
kesadaran bersyari‘at di kalangan umat Islam, baik dari luar ataupun dari
dalam, adalah seolah-olah tuntutan itutidak ilmiah dan a-historis.
Kategori ilmiah dan sinambung seolah menjadi alat ukur, yang memang sampai
sejauh ini belum mampu ditunjukkan utuh oleh kelompok yang memperjuangkan.
Sekadar catatan ini berniat membuka pintu ‘ilmiah’ dan relung ‘historis’ itu.
Adalah Émile
Durkheim (1858 –1917), yang sering disebut sebagai Bapak Sosiologi Modern,
karena usahanya sosiologi dapat diterima oleh komunitas ilmuwan sosial sebagai
sebuah ilmu yang objektif, terukur dan observable. Kata kunci yang
dilahirkan oleh Durkheim –dan membuat berbeda, adalah kehadiran fakta
sosial dalam sosiologi.
Melalui definisi
yang ketat, karya Durkhiem the Rules of Sociological Method (1895),
disebutkan bahwa, “a social fact is every way of action, fixed or not, capable
of exercising on the individual an external constraint; or again, every
way of acting which is general throughout a given society, while at the same
time existing in its own right independent of its individual manifestations”. Fakta
sosial adalah setiap cara bertindak, fiks atau tidak, yang mampu memaksa
individu dari luar, atau juga, setiap cara bertindak yang umumnya berlaku dalam
suatu masyarakat tertentu, sekaligus memiliki eksistensinya sendiri dan bebas
dari manifestasi individu. Lebih jauh, dalam promosinya, Durkheim menyebutkan
bahwa fakta sosial haruslah diperlakukan sebagaimana benda (consider social
facts as things). Hal ini mengguncangkan jagad komunitas ilmuwan sosial di
Eropah –Perancis khususnya.
Tidak cukup
sampai di situ, Durkheim terus bergerak dengan metoda barunya. Tidak
tanggung-tanggung, 2 karya berikutnya; Suicide (1897) dan the
Elementary Forms of the Religious Life (1912) menjadi bukti bagaimana
teguhnya Durkheim dengan metoda yang seharusnya digunakan dalam sosiologi.
Apa kaitan karya Durkheim dengan
tuntutan formalisasi syari‘at Islam?
Di sini arti
penting karya Durkheim. Dalam salah satu definisi yang dibangun Durkheim saat
meneliti fenomena keberagamaan pada masyarakat Arunta di Australia Utara, ia
mulai sadar akan arti norma. Baginya, norma adalah patokan perilaku individu
supaya bertindak, berpikir, berperasaan sesuai dengan anggota-anggota lainnya
dalam kelompok yang berfungsi untuk mempertahankan normalitas dalam suatu
masyarakat atau melindungi kepentingan kolektif. Dalam kaitannya dengan hal itu
maka dapat dipahami bila munculnya Perda bernuansa syari‘at di berbagai daerah
di Indonesia telah menjadi fakta sosial.
Sebagai fakta
sosial –bila mengikuti alur piker Durkheim, ia hanya dapat dijelaskan dengan
fakta sosial lain dalam rentang waktu tertentu. Di sini, lagi-lagi, argumentasi
historis menjadi penting.
Sejarah negeri
ini dengan beragam sebutannya; Nusantara, Hindia Belanda, telah memberi catatan
yang cukup untuk mendukung eksistennya formalisasi syari‘at sebagai suatu fakta
sosial. Mari sedikit menelaah beberapa lembaran sejarah di negeri ini.
Sesungguhnya,
pemberlakuan hukum Islam di Indonesia (Nusantara, Hindia Belanda, telah
didokumentasi dengan baik oleh tokoh-tokoh Belanda sendiri. Sebagian kecil di
antaranya; Teori yang dikembangkan oleh Lodewijk Willem Christian Van den Berg
(1845-1927), yaitu Teori Receptio in Complexu, di mana dimaknai bahwa
orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya
dan sebagai satu kesatuan, bagi rakyat pribumi berlaku hukum agamanya. Teori
ini dibenarkan oleh Solomon Keyzer (1823-1868), penulis buku Pedoman Hukum
Islam dan Hukum Pidana Islam untuk Masyarakat Islam Jawa.
Namun, tampaknya
teori ini sungguh-sungguh meresahkan Peemerintah Hindia Belanda, yang memang
menghendaki ketaatan hukum bagi Boemipoetra. Karenanya, diutus dan
dimintakan saran kepada Christian Snouck Hurgonje (1857-1936). Snouck
menyanggupinya dan melakukan penyelidikan cukup serius, dan berhasil melahirkan
rekomendasi berupavteori yang sering dikenal sebagai Teori Receptie. Teori
ini, berkebalikan dengan pendahulunya menyebutkan bahwa hukum Islam hanya
dapat diterima sebagai hukum apabila telah dilaksanakan oleh masyarakat adat.
Artinya tidak ada hukum Islam kecuali yang diterima sebagai hukum adat.
Akibat saran
ini, Pemerintah Hindi Belanda memunculkan kebijakan Islam Policy yang
pada intinya, hukum Islam harus dijauhkan dari masyarakat Indonesia yang
mayoritas Islam dan menarik rakyat pribumi agar lebih dekat dengan tradisi dan
budaya pemerintah kolonial Belanda dan Eropa lainnya. Bahkan kebijakan ini
terus mendapat dukungan. Tokoh seperti Cornellis van Vollenhoven (1874-1933)
kembali memunculkan teori yang pada intinya mengokohkan Snouck. Vollenhoven
membangun Het adatrech van Nederlandsch-Indie, Kitab Hukum Adat
Hindia Belanda, yang berisi tradisi adat dari 19 wilayah yang berbeda dan
tradisi adat dari ‘kaum pendatang’ seperti Arab, Tionghoa, India, dan lain
sebagainya.
Lagi-lagi,
sebagai sebuah fakta sosial atas eksistensi formalisasi syari‘at di Nusanatara,
tampak jelas dalam lintasan sejarah. Dari dua hal di atas, kriteria fakta
sosial yang diperkenalkan Durkheim dapat dipenuhi.
Bagaimana dengan kritik dan
penolakan atasnya?
Sekali lagi,
dengan metoda yang dibangun oleh Durkheim sendiri, terbukti eksistensi yang
ditolak itu sebagai sebuah fakta sosial yang memenuhi kaedah-kaedah
ke-Ilmiah-an dan historisitas yang objektif.
Di bagian lain
dari buku yang ditulis Durkheim tentang Aturan-Aturan dalam Metoda Sosiologi,
di mana fakta-fakta dibagi kepada dua macam; normal dan patologikal.
Suatu fakta sosial dapat disebut normal untuk suatu jenis masyarakat tertentu
saja dalam hubungannya dengan suatu fase perkembangannya. Karena suatu fakta
sosial dapat ditafsirkan sebagai normal atau patologikal (abnormal) hanya dalam
hubungannya dengan suatu jenis masyarakat tertentu saja maka kreasi dan
klasifikasi masyarakat menjadi niscaya.’
Karenanya, bila
sikap penolakan sekelompok tertentu atas tuntutan formalisasi syari‘at karena
dianggap sebagai sesuatu yang berbeda (patologikal), maka rasionalitas
objektifnya adalah menjelaskan kenormalan patologi –sebagaimana disyaratkan
Durkheim. Dengan kata lain, mafhum mukhalafah-nya (beyond the text) adalah
eksistensi yang rasional dan objektif.
Sebagai akhir
atas catatan ini, perlu kiranya kita merenungkan ucapan Durkheim, ”all
preconceptions must be eradicated”. Agar semua kelompok bisa menjaga sikap
objektifitasnya masing-masing.
0 komentar:
Post a Comment