Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Wednesday, June 13, 2012

Formalisasi Syari‘at di Indonesia

Pertanyaan yang sering diajukan oleh kelompok yang sejak awal alergi terhadap bangkitnya kesadaran bersyari‘at di kalangan umat Islam, baik dari luar ataupun dari dalam, adalah seolah-olah tuntutan itutidak ilmiah dan a-historis. Kategori ilmiah dan sinambung seolah menjadi alat ukur, yang memang sampai sejauh ini belum mampu ditunjukkan utuh oleh kelompok yang memperjuangkan. Sekadar catatan ini berniat membuka pintu ‘ilmiah’ dan relung ‘historis’ itu.
Adalah Émile Durkheim (1858 –1917), yang sering disebut sebagai Bapak Sosiologi Modern, karena usahanya sosiologi dapat diterima oleh komunitas ilmuwan sosial sebagai sebuah ilmu yang objektif, terukur dan observable. Kata kunci yang dilahirkan oleh Durkheim –dan membuat berbeda, adalah kehadiran fakta sosial dalam sosiologi.
Melalui definisi yang ketat, karya Durkhiem the Rules of Sociological Method (1895), disebutkan bahwa, “a social fact is every way of action, fixed or not, capable of exercising on the individual an external constraint; or again, every way of acting which is general throughout a given society, while at the same time existing in its own right independent of its individual manifestations”. Fakta sosial adalah setiap cara bertindak, fiks atau tidak, yang mampu memaksa individu dari luar, atau juga, setiap cara bertindak yang umumnya berlaku dalam suatu masyarakat tertentu, sekaligus memiliki eksistensinya sendiri dan bebas dari manifestasi individu. Lebih jauh, dalam promosinya, Durkheim menyebutkan bahwa fakta sosial haruslah diperlakukan sebagaimana benda (consider social facts as things). Hal ini mengguncangkan jagad komunitas ilmuwan sosial di Eropah –Perancis khususnya.
Tidak cukup sampai di situ, Durkheim terus bergerak dengan metoda barunya. Tidak tanggung-tanggung, 2 karya berikutnya; Suicide (1897) dan the Elementary Forms of the Religious Life (1912) menjadi bukti bagaimana teguhnya Durkheim dengan metoda yang seharusnya digunakan dalam sosiologi.
Apa kaitan karya Durkheim dengan tuntutan formalisasi syari‘at Islam?
Di sini  arti penting karya Durkheim. Dalam salah satu definisi yang dibangun Durkheim saat meneliti fenomena keberagamaan pada masyarakat Arunta di Australia Utara, ia mulai sadar akan arti norma. Baginya, norma adalah patokan perilaku individu supaya bertindak, berpikir, berperasaan sesuai dengan anggota-anggota lainnya dalam kelompok yang berfungsi untuk mempertahankan normalitas dalam suatu masyarakat atau melindungi kepentingan kolektif. Dalam kaitannya dengan hal itu maka dapat dipahami bila munculnya Perda bernuansa syari‘at di berbagai daerah di Indonesia telah menjadi fakta sosial.
Sebagai fakta sosial –bila mengikuti alur piker Durkheim, ia hanya dapat dijelaskan dengan fakta sosial lain dalam rentang waktu tertentu. Di sini, lagi-lagi, argumentasi historis menjadi penting.
Sejarah negeri ini dengan beragam sebutannya; Nusantara, Hindia Belanda, telah memberi catatan yang cukup untuk mendukung eksistennya formalisasi syari‘at sebagai suatu fakta sosial. Mari sedikit menelaah beberapa lembaran sejarah di negeri ini.
Sesungguhnya, pemberlakuan hukum Islam di Indonesia (Nusantara, Hindia Belanda, telah didokumentasi dengan baik oleh tokoh-tokoh Belanda sendiri. Sebagian kecil di antaranya; Teori yang dikembangkan oleh Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845-1927), yaitu Teori Receptio in Complexu, di mana dimaknai bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan, bagi rakyat pribumi berlaku hukum agamanya. Teori ini dibenarkan oleh Solomon Keyzer (1823-1868), penulis buku Pedoman Hukum Islam dan Hukum Pidana Islam untuk Masyarakat Islam Jawa.
Namun, tampaknya teori ini sungguh-sungguh meresahkan Peemerintah Hindia Belanda, yang memang menghendaki ketaatan hukum bagi Boemipoetra. Karenanya, diutus dan dimintakan saran kepada Christian Snouck Hurgonje (1857-1936). Snouck menyanggupinya dan melakukan penyelidikan cukup serius, dan berhasil melahirkan rekomendasi berupavteori yang sering dikenal sebagai Teori Receptie. Teori ini, berkebalikan dengan pendahulunya menyebutkan bahwa hukum Islam hanya dapat diterima sebagai hukum apabila telah dilaksanakan oleh masyarakat adat. Artinya tidak ada hukum Islam kecuali yang diterima sebagai hukum adat.
Akibat saran ini, Pemerintah Hindi Belanda memunculkan kebijakan Islam Policy yang pada intinya, hukum Islam harus dijauhkan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam dan menarik rakyat pribumi agar lebih dekat dengan tradisi dan budaya pemerintah kolonial Belanda dan Eropa lainnya. Bahkan kebijakan ini terus mendapat dukungan. Tokoh seperti Cornellis van Vollenhoven (1874-1933) kembali memunculkan teori yang pada intinya mengokohkan Snouck. Vollenhoven membangun  Het adatrech van Nederlandsch-Indie, Kitab Hukum Adat Hindia Belanda, yang berisi tradisi adat dari 19 wilayah yang berbeda dan tradisi adat dari ‘kaum pendatang’ seperti Arab, Tionghoa, India, dan lain sebagainya.
Lagi-lagi, sebagai sebuah fakta sosial atas eksistensi formalisasi syari‘at di Nusanatara, tampak jelas dalam lintasan sejarah. Dari dua hal di atas, kriteria fakta sosial yang diperkenalkan Durkheim dapat dipenuhi.
Bagaimana dengan kritik dan penolakan atasnya?
Sekali lagi, dengan metoda yang dibangun oleh Durkheim sendiri, terbukti eksistensi yang ditolak itu sebagai sebuah fakta sosial yang memenuhi kaedah-kaedah ke-Ilmiah-an dan historisitas yang objektif.
Di bagian lain dari buku yang ditulis Durkheim tentang Aturan-Aturan dalam Metoda Sosiologi, di mana fakta-fakta dibagi kepada dua macam; normal dan patologikal. Suatu fakta sosial dapat disebut normal untuk suatu jenis masyarakat tertentu saja dalam hubungannya dengan suatu fase perkembangannya. Karena suatu fakta sosial dapat ditafsirkan sebagai normal atau patologikal (abnormal) hanya dalam hubungannya dengan suatu jenis masyarakat tertentu saja maka kreasi dan klasifikasi masyarakat menjadi niscaya.’
Karenanya, bila sikap penolakan sekelompok tertentu atas tuntutan formalisasi syari‘at karena dianggap sebagai sesuatu yang berbeda (patologikal), maka rasionalitas objektifnya adalah menjelaskan kenormalan patologi –sebagaimana disyaratkan Durkheim. Dengan kata lain, mafhum mukhalafah-nya (beyond the text) adalah eksistensi yang rasional dan objektif.
Sebagai akhir atas catatan ini, perlu kiranya kita merenungkan ucapan Durkheim, ”all preconceptions must be eradicated”. Agar semua kelompok bisa menjaga sikap objektifitasnya masing-masing.

Formalisasi Syari‘at di Indonesia Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment