Konstelasi
politik menjelang pemilihan gubernur (Pilgub) Sulsel makin dinamis, penuh
sandiwara dan kejutan bahkan ketegangan. Setidaknya aroma itu menyengat publik
hingga merambah dalam skala nasional, pilpres.
Dinamika politik
tersebut tidak terlepas dari dramaturgi politik Partai Golongan Karya (Golkar).
Terutama, mencermati sikap politik Golkar yang berupaya memuluskan jalan bagi
Aburizal Bakrie (Ical) selaku Ketua Umum DPP Partai Golkar, untuk
"didaulat" menjadi capres Golkar dengan mempercepat Rapimnas. Meski
masih ditentang Akbar Tandjung sebagai Dewan Pembina Partai Golkar.
Upaya politik
sejumlah elite Golkar itu menuai kritik internal partai, sebab ditengarai akan
menjegal langkah kader lain seperti Jusuf Kalla (JK), mantan Wakil Presiden
yang juga pernah menjadi Ketua Golkar sebelum Ical. Upaya penjegalan tersebut,
juga menjadi isu politik hangat di Sulsel, diprediksi berpengaruh terhadap
Pilgub mendatang. Tampaknya Golkar Sulsel berada diposisi sulit dalam merespons
isu tersebut.
Meskipun prospek
politik Golkar dalam pemilu mendatang cukup menjanjikan seiring meredupnya
Partai Demokrat yang dirundung berbagai masalah, popularitas Partai Demokrat
kian merunduk. Tapi Golkar mengalami kendala sosok figur yang memiliki nilai
jual politik sekaliber SBY. Menghadapi realitas tersebut, Golkar lebih condong
melakukan dramaturgi politik memuluskan Ical, sebelumnya dengan lihai bermain
selamat di tengah isu kenaikan BBM.
Bagi masyarakat
Sulsel, sosok JK bukan sekadar pemimpin politik, tapi juga legenda dan harga
diri. Bukan persoalan kalah atau menang, tapi harga diri orang Sulsel jadi
taruhannya. Lebih dari itu, dalam jagad politik Sulsel, JK yang merupakan ôguru
politikö SYL dan Ilham itu dianalogikan seperti pohon keramat yang bertuah,
(Tribun Timur, 15 April 2012). Sikap politik yang masih berkubang pada
emotional choice dan sentimental itu, justru kini menjadi mainan politik para
elite yang berkepentingan pada Pilgub Sulsel. Praktis, dramaturgi politik
begitu dominan.
Aroma sandiwara
itu kian terasa saat Partai Golkar Sulsel dikabarkan meninggalkan JK. Kemudian
PKS Sulsel mewacanakan akan mengajukan JK. Suasana lebih memanas lagi saat
Ilham Arief Sirajuddin, Ketua Partai Demokrat Sulsel yang juga maju dalam
Pilgub Sulsel itu berjanji akan memperjuangkan JK untuk diusung capres melalui
DPP Demokrat. Sikap Ilham adalah bentuk dramaturgi politik untuk menghadapi
SYL, Ketua Golkar Sulsel yang juga Gubernur Sulsel.
Sejatinya, pertarungan
dua petarung politik yang masing-masing dibesarkan di Golkar Sulsel, partai
yang pernah dipimpin JK sebelum Ical. Tegasnya, pertarungan kader-kader Golkar
Sulsel yang membahana hingga pentas perpolitikan nasional. Realitas ini kian
menguatkan asumsi dramaturgi politik dikisaran partai berlambang pohon
beringin.
Pesona persona
JK sebagai legenda sekaligus harga diri. Kini, wacana politik Sulsel bermuara
pada upaya berebut sosok JK. Berembusnya pemberitaan ihwal JK ditolak Golkar
Sulsel untuk diusung maju capres 2014 mendatang menjadi bumerang. PKS dan
Demokrat Sulsel justru hendak mengusungnya, sarat kepentingan. PKS berupaya
berebut simpati publik Sulsel untuk kepentingan Pemilu 2014.
Sementara
Demokrat Sulsel yang diketua Ilham Arief Sirajuddin memiliki kepentingan jangka
pendek untuk mendulang suara masyarakat dalam Pilgub Sulsel. Kepentingan
politik jangka panjang sama dengan PKS. Bargaining politik JK cukup tinggi
sehingga jika Golkar menolak sosok JK niscaya merugikan, baik untuk pilgub
Sulsel 2013 maupun pemilu 2014 nantinya.
Berdasar realitas politik yang diramaikan media itu terasa ada aroma penuh sandiwara atau dramaturgi politik belaka. Kemana muara sesungguhnya masih misteri. Realitas ini saling mendukung, saling menentang bahkan menantang itu, cerminan dramaturgi politik yang dimainkan para elite politik. Berlindung dari balik kata ôatas nama rakyatö, mereka melakukan politisasi yang bermuara pada pencitraan partai belaka.
Berdasar realitas politik yang diramaikan media itu terasa ada aroma penuh sandiwara atau dramaturgi politik belaka. Kemana muara sesungguhnya masih misteri. Realitas ini saling mendukung, saling menentang bahkan menantang itu, cerminan dramaturgi politik yang dimainkan para elite politik. Berlindung dari balik kata ôatas nama rakyatö, mereka melakukan politisasi yang bermuara pada pencitraan partai belaka.
Partai-partai
politik belakangan terbelah posisi antara koalisi dan oposisi. Partai yang
bergabung dalam koalisi pendukung SBY, sebut seperti, Partai Demokrat, Partai
Golkar, PPP, PKB, dan PKS. Sementara partai oposisi diperankan PDIP dan
sejumlah partai yang sealur dengannya. Hal inilah cerminan utuh dramaturgi politik
itu.
Dramaturgi
condong memangsa korban, tampaknya PKS salah satunya, sikap politiknya di
Sulsel selalu diperhadapkan pada titik dilematis. Antara memajukan kader
sendiri atau mengusung kandidat yang sudah ada, SYL atau IA. Kecuali itu, PKS
Sulsel tampil membuat wacana politik dengan mengusung JK belum menemukan
formula yang tepat untuk bersikap baik dalam pilgub maupun pilpres. Atau
mungkinkah PKS selalu ditakdirkan berada pada titik dilemanya?
Sesungguhnya, bukan hanya PKS tetapi sejumlah partai juga mengalami hal serupa,
betapa sulitnya mengikuti irama drama politik Golkar. Di Sulsel, SYL selaku
ketua Golkar mendaftar di partainya sendiri untuk maju pilgub, ternyata
disertai sejumlah elite partai-partai lain. Sebuah sandiwara menakjubkan
sekaligus pertanda hilangnya kewibawaan partai-partai di luar Golkar.
Benar-benar sebuah drama politik yang sulit ditebak oleh politisi sekalipun.
Lalu bagaimana dengan nasib JK dalam peta politik 2014, semoga bukan tumbal
dramaturgi politik Golkar!
0 komentar:
Post a Comment