Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Saturday, June 9, 2012

JK dalam Politik Golkar

Konstelasi politik menjelang pemilihan gubernur (Pilgub) Sulsel makin dinamis, penuh sandiwara dan kejutan bahkan ketegangan. Setidaknya aroma itu menyengat publik hingga merambah dalam skala nasional, pilpres. 
Dinamika politik tersebut tidak terlepas dari dramaturgi politik Partai Golongan Karya (Golkar). Terutama, mencermati sikap politik Golkar yang berupaya memuluskan jalan bagi Aburizal Bakrie (Ical) selaku Ketua Umum DPP Partai Golkar, untuk "didaulat" menjadi capres Golkar dengan mempercepat Rapimnas. Meski masih ditentang Akbar Tandjung sebagai Dewan Pembina Partai Golkar. 
Upaya politik sejumlah elite Golkar itu menuai kritik internal partai, sebab ditengarai akan menjegal langkah kader lain seperti Jusuf Kalla (JK), mantan Wakil Presiden yang juga pernah menjadi Ketua Golkar sebelum Ical. Upaya penjegalan tersebut, juga menjadi isu politik hangat di Sulsel, diprediksi berpengaruh terhadap Pilgub mendatang. Tampaknya Golkar Sulsel berada diposisi sulit dalam merespons isu tersebut.
Meskipun prospek politik Golkar dalam pemilu mendatang cukup menjanjikan seiring meredupnya Partai Demokrat yang dirundung berbagai masalah, popularitas Partai Demokrat kian merunduk. Tapi Golkar mengalami kendala sosok figur yang memiliki nilai jual politik sekaliber SBY. Menghadapi realitas tersebut, Golkar lebih condong melakukan dramaturgi politik memuluskan Ical, sebelumnya dengan lihai bermain selamat di tengah isu kenaikan BBM. 
Bagi masyarakat Sulsel, sosok JK bukan sekadar pemimpin politik, tapi juga legenda dan harga diri. Bukan persoalan kalah atau menang, tapi harga diri orang Sulsel jadi taruhannya. Lebih dari itu, dalam jagad politik Sulsel, JK yang merupakan ôguru politikö SYL dan Ilham itu dianalogikan seperti pohon keramat yang bertuah, (Tribun Timur, 15 April 2012). Sikap politik yang masih berkubang pada emotional choice dan sentimental itu, justru kini menjadi mainan politik para elite yang berkepentingan pada Pilgub Sulsel. Praktis, dramaturgi politik begitu dominan.
Aroma sandiwara itu kian terasa saat Partai Golkar Sulsel dikabarkan meninggalkan JK. Kemudian PKS Sulsel mewacanakan akan mengajukan JK. Suasana lebih memanas lagi saat Ilham Arief Sirajuddin, Ketua Partai Demokrat Sulsel yang juga maju dalam Pilgub Sulsel itu berjanji akan memperjuangkan JK untuk diusung capres melalui DPP Demokrat. Sikap Ilham adalah bentuk dramaturgi politik untuk menghadapi SYL, Ketua Golkar Sulsel yang juga Gubernur Sulsel. 
Sejatinya, pertarungan dua petarung politik yang masing-masing dibesarkan di Golkar Sulsel, partai yang pernah dipimpin JK sebelum Ical. Tegasnya, pertarungan kader-kader Golkar Sulsel yang membahana hingga pentas perpolitikan nasional. Realitas ini kian menguatkan asumsi dramaturgi politik dikisaran partai berlambang pohon beringin. 
Pesona persona JK sebagai legenda sekaligus harga diri. Kini, wacana politik Sulsel bermuara pada upaya berebut sosok JK. Berembusnya pemberitaan ihwal JK ditolak Golkar Sulsel untuk diusung maju capres 2014 mendatang menjadi bumerang. PKS dan Demokrat Sulsel justru hendak mengusungnya, sarat kepentingan. PKS berupaya berebut simpati publik Sulsel untuk kepentingan Pemilu 2014. 
Sementara Demokrat Sulsel yang diketua Ilham Arief Sirajuddin memiliki kepentingan jangka pendek untuk mendulang suara masyarakat dalam Pilgub Sulsel. Kepentingan politik jangka panjang sama dengan PKS. Bargaining politik JK cukup tinggi sehingga jika Golkar menolak sosok JK niscaya merugikan, baik untuk pilgub Sulsel 2013 maupun pemilu 2014 nantinya.
Berdasar realitas politik yang diramaikan media itu terasa ada aroma penuh sandiwara atau dramaturgi politik belaka. Kemana muara sesungguhnya masih misteri. Realitas ini saling mendukung, saling menentang bahkan menantang itu, cerminan dramaturgi politik yang dimainkan para elite politik. Berlindung dari balik kata ôatas nama rakyatö, mereka melakukan politisasi yang bermuara pada pencitraan partai belaka.  
Partai-partai politik belakangan terbelah posisi antara koalisi dan oposisi. Partai yang bergabung dalam koalisi pendukung SBY, sebut seperti, Partai Demokrat, Partai Golkar, PPP, PKB, dan PKS. Sementara partai oposisi diperankan PDIP dan sejumlah partai yang sealur dengannya. Hal inilah cerminan utuh dramaturgi politik itu.
Dramaturgi condong memangsa korban, tampaknya PKS salah satunya, sikap politiknya di Sulsel selalu diperhadapkan pada titik dilematis. Antara memajukan kader sendiri atau mengusung kandidat yang sudah ada, SYL atau IA. Kecuali itu, PKS Sulsel tampil membuat wacana politik dengan mengusung JK belum menemukan formula yang tepat untuk bersikap baik dalam pilgub maupun pilpres. Atau mungkinkah PKS selalu ditakdirkan berada pada titik dilemanya?  Sesungguhnya, bukan hanya PKS tetapi sejumlah partai juga mengalami hal serupa, betapa sulitnya mengikuti irama drama politik Golkar. Di Sulsel, SYL selaku ketua Golkar mendaftar di partainya sendiri untuk maju pilgub, ternyata disertai sejumlah elite partai-partai lain. Sebuah sandiwara menakjubkan sekaligus pertanda hilangnya kewibawaan partai-partai di luar Golkar. Benar-benar sebuah drama politik yang sulit ditebak oleh politisi sekalipun. Lalu bagaimana dengan nasib JK dalam peta politik 2014, semoga bukan tumbal dramaturgi politik Golkar!

JK dalam Politik Golkar Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment