Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Sunday, June 24, 2012

Potret Mahasiswa di Layar Kaca

Mahasiswa merupakan pressure group yang terbilang ampuh. Bukti kekuatan mahasiswa sebagai kelompok penekan tercatat dalam sejarah emas reformasi. Tidak terbayangkan, Soeharto yang menjadi sosok sentral Orde Baru selama lebih 30 tahun, mampu ditumbangkan melalui aksi massif hanya dalam tempo hitungan hari. Rekam jejak kiprah mahasiswa yang mengubah wajah perpolitikan Indonesia dan kebijakan pemerintah tergambarkan dari periode ke periode. Ada gerakan mahasiswa 1966 dengan berbagai kesatuan aksinya yang mengakhiri masa kepresidenan Soekarno. Ada gerakan Malari di tahun 1974 yang menolak dominasi Jepang. Ada pula angkatan 1998, yang para pentolannya kini mengisi posisi-posisi strategis di panggung politik dan pemerintahan. Jauh sebelum itu, barisan kelompok mahasiswa juga getol berjuang selama masa pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Bukti kepekaan dan keberpihakan mahasiswa terhadap beragam persoalan masyarakatt dan bangsanya terdokumentasi melalui aksi-aksi sporadis yang sigap tanggap merespons isu-isu krusial di masyarakat. Sehingga, layak jika mahasiswa dijuluki sebagai agent of change. Meski memiliki daya dobrak, namun aksi-aksi itu sebatas moral force yang sejatinya tidak berorientasi pada kekuasaan. Melalui gerakan parlemen jalanan, suara-suara kritis mahasiswa sering terdengar lebih vokal dibanding mereka yang secara formal diberi amanah sebagai penyeimbang kekuasaan. Tak jarang, mahasiswa begitu tulus dan rela pasang badan. Militansi mahasiswa terkadang justru membuat mereka abai terhadap keselamatan jiwanya sendiri. Tapi begitulah cara mereka, anak muda idealis ini, mengekspresikan diri. Meski nyawa taruhannya.
Intensitas demontrasi mahasiswa yang hampir setiap hari tersuguhkan di layar kaca, membuat mahasiswa identik dengan demonstrasi. Hanya saja, gambaran tentang aksi demontrasi dengan tujuan mulia ternyata tidak selalu ditemukan. Entah sudah berapa kali penulis mendengar aksi-aksi demontrasi yang sekadar dilakukan agar bisa masuk TV. Demonstrasi semu ini bukan semata-mata untuk memperjuangkan kemasan isu yang diusungnya tapi demi menarik perhatian wartawan TV. Kisah-kisah demonstran seleb seperti ini kerap menjadi bagian dari diskusi yang mempertanyakan aksi-aksi mahasiswa yang dinilai bias dan jauh dari substansi masalah. Namun, mereka membela diri dengan mengatakan, jika aksi demonstrasinya tidak diliput media, terutama televisi, maka aksinya kurang seru. Bagi mereka, media menjadi pelantang yang memberi efek tekanan psikologis terhadap pihak-pihak yang menjadi sasaran aksinya. Para demonstran seleb ini bahkan tidak segan-segan bersikap anarkis dan siap bentrok agar unsur dramatiknya terpenuhi.
Sosok mahasiswa di layar kaca memang tidak selalu sedap dipandang. Sulit dibayangkan, mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa kemudian tercitrakan tak lebih pecundang yang kehilangan gelanggang. Pertarungan mahasiswa di ranah akademik nyaris tertutupi oleh berbagai tindakan mereka sendiri yang membuat orang lupa tentang posisi mahasiswa yang sedemikian strategis dalam ikut menentukan nasib bangsa ini ke depan. Mau di bawa ke mana bangsa dan negara ini, bila mahasiswa lebih sibuk mengasah badik, parang, samurai, tombak, sangkur, dan busur daripada mengasah mata pena mereka untuk menelorkan karya-karya agung? Mengapa mahasiswa tidak memilih melakukan eksperimen untuk menciptakan temuan-temuan baru, malah lebih tertarik membuat bom molotov dan senjata rakitan? Tentu kita tidak dapat mengharapkan tumbuhnya tradisi keilmuan di kalangan oknum mahasiswa yang berperilaku seperti ini. Bahkan, maaf, mereka lebih tampak sebagai kelompok preman dan kriminal daripada sosok intelektual muda dengan pikiran-pikiran yang bernas.

Potret Mahasiswa di Layar Kaca Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment