Jika
membicarakan soal seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), maka
banyangan kita adalah kolusi dan nepotisme. Dua kata itu telah menjadi “kunci
pembuka pintu” untuk menjadi PNS.
Memiliki
kemampuan otak dan skill saja bukan jaminan, jikalau anda tidak mempunyai uang
yang banyak untuk menyogok. Sebaliknya, meskipun hanya dengan skill dan
kemampuan yang pas-pasan, tetapi kekuatan uang dapat membuat mereka melompati
rintangan.
Di Pinrang,
Sulawesi Selatan, seorang calon CPNS harus mempersiapkan Rp. 60 juta untuk
mendapatkan “kemudahan”. Di daerah lainnya, kondisinya hampir serupa,
yaitu berkisar Rp. 40 juta – Rp. 70 juta. Begitu pula dengan kejadian
perekrutan CPNS di Sumbawa, dimana nama orang yang lulus bisa ditutupi oleh
nama orang lain.
Dengan nilai
sogokan yang sangat tinggi itu, maka orang-orang yang memiliki kompetensi,
yaitu orang cerdas, punya skill, jujur, dan berdedikasi, tetapi karena tidak
memiliki uang, maka mereka tidak akan punya peluang sama sekali. Bagi kalangan
ekonomi menengah yang tetap mau memaksa masuk, mereka harus menjual harta
benda, seperti sawah, kebun, ternak, dan lain sebagainya.
Faktor nepotisme
juga menjadi faktor penting untuk mendapatkan kemudahan. Jika anda keluarga
pejabat, atau punya koneksi dengan pejabat, maka peluang anda untuk masuk
kekuasaan akan semakin mudah. Situasi ini diperparah oleh kurangnya akses
informasi dan pengetahuan masyarakat, sehingga mereka sulit untuk kritis dengan
praktik-praktik kolusi ini.
Ya, tentu saja,
tidak semua yang masuk menjadi CPNS berasal dari jalur “gelap”, tetapi
banyak juga yang lulus melalui perjuangan seleksi murni. Akan tetapi, karena
perbandingan jumlah antara mereka yang menggunakan jalur gelap dan lulus murni
sangat tipis, maka mentalitas birokrasi secara umum pun sangat terpengaruh.
Sudah bukan
rahasia umum pula, bahwa tampilan birokrasi Indonesia sangat identik dengan
persoalan ekonomi biaya tinggi, seperti suap, korupsi, dan lain sebagainya.
Sampai-sampai, dalam sebuah konferensi ornop di tahun 2004, Pramoedya Ananta
Toer pernah berkata: “Keinginan menjadi pegawai negeri adalah salah satu
faktor kenapa korupsi mustahil diberantas. Di birokrasi itulah korupsi
merajalela. Orang suci pun bisa jadi korup di sana. Dan pegawai negeri sudah
bertumpuk-tumpukan. Pendidikan yang membentuk itu semua.”
Dan, sejarah
dengan baik telah mencatat, bahwa sisa-sisa mental feodalisme dan kolonialisme
sangat mempengaruhi mental birokrasi kita sekarang ini, seperti tercermin dalam
sikap ambtenaar di jaman kolonial. Pada zaman Bung Karno, yang bertepatan
dengan fase-fase bergejolaknya revolusi, masalah-masalah itu hendak dikikis
melalui gerakan rakyat untuk memperluas demokrasi.
Akan tetapi,
ketika Soeharto berkuasa selama puluhan tahun, praktik-praktik jaman kolonial
itu seolah dikembalikan lagi, hingga tercipta sebuah frase yang sangat
terkenal; Asal Bapak Senang (ABS). Jaman Soeharto dikenal dengan tumbuh
suburnya praktik Korupsi-Kolusi dan Nepotisme (KKN) itu.
Faktor
pendidikan juga sangat memainkan peranan yang penting, sebagaimana dikatakan
oleh Pramoedya Ananta Toer, kemajuan bisa dicapai jika unsur mitos yang
mencandra akal dan feodalisme yang membungkam rasio bisa ditusuk tumpas dengan
pendidikan. Sekarang ini, pendidikan kita pun berkarakter kolonial, sehingga
yang dilahirkannya pun sangat kuat mental inlandernya.
Dengan buruknya
mental birokrasi yang ada, maka pelayanan publik kepada rakyat pun tak kalah
buruknya. Di sana-sini, kita menemukan pelayanan birokrasi yang mengabaikan
kepentingan rakyat, namun begitu tunduk kepada kepentingan klas berkuasa (pejabat
tinggi dan kalangan pengusaha).
Kesemuanya itu
harus diakhiri. Sudah tiba saatnya sistim penermaan CPNS diselenggarakan secara
transparan, demokratis, dan dapat dikontrol langsung oleh rakyat. Kita tidak
bisa berharap bahwa pemerintah-lah yang akan membersihkan birokrasi yang korup
ini, sebab mereka merupakan bagian dari sistim yang sudah rusak. Hanya melalui
gerakan rakyat-lah, maka pembersihan terhadap birokrat korup alias pencoleng
uang negara bisa dijalankan.
0 komentar:
Post a Comment