Negeri
ini, memang negeri yang korup. Tidak salah jika ranking kita tetap bertengger
diatas. Jaringan mafia pun menggurita dinegeri yang dikenal “beragama” ini.
Mulai mafia peradilan, mafia pajak, mafia proyek, mafia anggaran, mafia pemilu
hingga mafia pendidikan. Singkatnya, semua sektor kehidupan yang berhubungan
dengan kekuasaan dan keadilan, pasti terdapat garong yang telah siap mengkorup.
Yang
sungguh ironis adalah, ternyata agamapun dikorupsi di negara yang
Berke’Tuhan’an Yang Maha Esa. Betapa tidak! Kasus pembongkaran mafia pajak di
Surabaya beberapa waktu lalu, ternyata ada tersangkanya yang terkenal dermawan
membagi-bagikan zakat setiap tahunnya, berkali-kali berangkat haji dan umroh,
serta menyumbang tempat ibadah. Dalam kasus Gayus Tambunan, hakim dan
penyidiknya, disebut-sebut menggnakan uang haram tersebut untuk Umrah ke tanah
suci.
Begitu
pula halnya dengan kasus cek perjalanan yang menyangkut Miranda Gultom.
Diantara rentetan jawaban “lupa”, terdapat terdakwa yang ingat menggunakan
sebagian uang sogok yang besarnya Rp. 500.000.000,- tersebut untuk
membantu rombongan ziarah ke Jerusalem. Kasus serupa pun pernah terjadi di
Buleleng-Bali. Saat pengusutan penyelewengan APBD, ternyata dananya digunakan untuktirtayatra
(ziarah) ke India dan sisanya dibagi-bagi.
Beberapa
contoh diatas, menjelaskan kepada kita. Ternyata korupsi turut menjarah konsep
keberagamaan kita. Contoh realistis (sesuai bahasan kita) adalah
Zakat! Dalam hal in, zakat hanya dijadikan sebagai cara untuk mensucikan harta.
Persoalannya
sekarang adalah. Kenapa orang beragama/ber-Tuhan tidak dapat mengekang hawa
nafsunya untuk mencegah agar dirinya tidak tergelincir pada perbuatan senista
korupsi? Ketika gairah/ritual keagamaan terus terjaga, kenapa beriringan dengan
tingginya tingkat korupsi?
Agama
berasal dari bahasa sangsekerta yang berasal dari kata “a” yang
berarti “tidak” dan “gama”yang berarti “salah”. Jadi agama
berarti tidak salah atau tidak menuntun pemeluknya pada perbuatan yang salah.
Merujuk pada firman Allah SWT: “Kalian adalah sebaik-baiknya umat yang
dilahirkan bagi manusia, kalian disuruh (berbuat) kebaikan dan mencegah
kemunkaran dan kalian beriman kepada Allah SWT.” (QS. Al-Imran:110)
Pada
perinsipnya, setiap agama tidak sekedar menuntun pemeluknya untuk hanya
beribadah secara vertikal saja (hablum minallah), tetapi juga beribadah
secara horizontal (hablum minannas). Dan semua bentuk ritual dalam agama
apapun, memiliki dimensi individual dan sosial (contohnya zakat).
Dalam
ritual zakat dan sedekah lainnya yang diajarkan didalam Islam. Jika dicermati,
sangat kental dengan nuansa sosial. Zakat yang sejatinya bermakna pensucian
harta (zazkiyat al’mal) acapkali disalah arti dan disalah manfaatkan
oleh sebagian umat Islam seperti para penguasa, pejabat dan koruptor sebagai
cara untuk mensucikan harta yang mereka peroleh dari hasil korupsi (sin
and money laundering). Dengan pemahaman demikian, maka zakat telah kehilangan
makna substansialnya untuk mensucikan diri dari harta yang diperoleh dengan
cara halal (maslahat). Padahal, harta yang diperoleh dari hasil praktek
korupsi, selamanya tidak akan pernah tersucikan dengan hanya membayar zakat.
Sebab, agama bukanlah tempat pensucian terhadap segala macam praktek haram yang
telah dilarang oleh agama itu sendiri. Lebih dari itu, agama justru memberikan
justifikasi teologis, bahwa orang yang telah melakukan korupsi (menganiaya
dan memakan hak orang lain), tidak akan mendapatkan keberkahan (mudharat) dalam
hartanya dan akan mendapat laknat didunia dan siksa diakhirat. Merujuk pada
Firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang suka menghimpun (menyimpan) emas
dan perak (harta kekayaan) dan tidak membelanjakannya (menafkahkannya) dijalan Allah
SWT”,maka beritahulah mereka dengan siksa yang amat pedih. Pada hari
dipanaskannya emas dan perak itu didalam neraka jahanam, lalu dibakardengannya
dahi mereka, lambung dan punggung mereka, (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah
harta bendamu yang kau simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang
apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Taubah:34-35)
Shalahuddin
al-Jursyi (Tokoh HAM dari Tunisia) didalam karyanya “Al-Islamiyyun
wa al-Taqaddamiyyun (2000)” mengatakan: “Perbuatan korupsi
(al-ikhtilash) telah mencederai cara pendistribusian kekayaan negara yang
disimpangkan, sehingga bisa menimbulkan kesengsaraan, etidak adilan, sekaligus
kemarahan dari masyarakat (al-ijtimaiyyah).”
Karena
itulah, korupsi adalah salah satu bentuk penyimpangan sosial dari makna zakat
yang bertujuan menciptakan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran. Dalam
konteks tersebut, korupsi berarti penindasan terhadap kaum lemah dan perampokan
terhadap harta orang banyak yang didalamnya terdapat hak-hak orang yang lebih
membutuhkan (fakir miskin/kaum dhuafa, yatim piatu dll). Merujuk pada
firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang yang suka menyantap harta anak
yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu suka menyantap bara api sepenuh
perutnya dan mereka terjerumus kedalam neraka Sa’ir”, (QS. An-Nisaa:10)
Bersabda Rasulullah SAW: “Kecelakaan besar bagi orang-orang kaya dari
orang-orang fakir pada hari kiamat. Kaum fakir berkata: “Mereka telah
menganiaya kami dalam hak-hak yang telah diwajibkan atas mereka.” Berfirman
Allah SWT: “Demi keagungan-Ku dan keluhuran-Ku. Sungguh Aku akan mendekatkanmu
dan sungguh Aku akan menjauhkan mereka. Kemudian Rasulullah SAW membaca: “Dan
orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang yang
meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa.” (Al-Ma’arij:24-25)
Disinilah,
zakat memberikan makna teologis. Betapa harta yang hendak kita miliki dan
belanjakan dijalan Allah SWT, hendaknya dipeoleh dengan jalan/cara yang halal (maslahat).
Dan
yang perlu kita sadari adalah;
- Bahwa hidup didunia ini adalah sementara, dan ternyata akhiratlah kehdupan yang sesungguhnya.
- Harta benda hanyalah hiasan semata, karena amalan-amalan shalehlah yang kekal disisi Allah SWT.
- Kita harus menyadari, bahwa apa yang kita perbuat pasti menghasilkan sesuatu. Bila itu baik, maka kebaikan (pahala) pulalah yang akan kita terima. Sedang perbuatan yang buruk, maka buruk (azab didunia dan diakhirat) pulalah yang akan kita terima.
Mari
jadikan bulan Ramadhan ini sebagai bulan introfeksi bagi kita untuk dapat
membenahi/memperbaiki diri kita atas kekuarangan-kekurangan,
kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa yang pernah kita lakukan, agar tidak
terulang kembali dan menuju keridhoan dan rahmat ilahi.
0 komentar:
Post a Comment