Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Sunday, April 8, 2012

SURAT UNTUK PENGUASA, PENGUSAHA, PEJABAT DAN PARA KORUPTOR

Negeri ini, memang negeri yang korup. Tidak salah jika ranking kita tetap bertengger diatas. Jaringan mafia pun menggurita dinegeri yang dikenal “beragama” ini. Mulai mafia peradilan, mafia pajak, mafia proyek, mafia anggaran, mafia pemilu hingga mafia pendidikan. Singkatnya, semua sektor kehidupan yang berhubungan dengan kekuasaan dan keadilan, pasti terdapat garong yang telah siap mengkorup.
Yang sungguh ironis adalah, ternyata agamapun dikorupsi di negara yang Berke’Tuhan’an Yang Maha Esa. Betapa tidak! Kasus pembongkaran mafia pajak di Surabaya beberapa waktu lalu, ternyata ada tersangkanya yang terkenal dermawan membagi-bagikan zakat setiap tahunnya, berkali-kali berangkat haji dan umroh, serta menyumbang tempat ibadah. Dalam kasus Gayus Tambunan, hakim dan penyidiknya, disebut-sebut menggnakan uang haram tersebut untuk Umrah ke tanah suci.
Begitu pula halnya dengan kasus cek perjalanan yang menyangkut Miranda Gultom. Diantara rentetan jawaban “lupa”, terdapat terdakwa yang ingat menggunakan sebagian uang sogok yang besarnya Rp. 500.000.000,- tersebut  untuk membantu rombongan ziarah ke Jerusalem. Kasus serupa pun pernah terjadi di Buleleng-Bali. Saat pengusutan penyelewengan APBD, ternyata dananya digunakan untuktirtayatra (ziarah) ke India dan sisanya dibagi-bagi.
Beberapa contoh diatas, menjelaskan kepada kita. Ternyata korupsi turut menjarah konsep keberagamaan kita. Contoh realistis (sesuai bahasan kita) adalah Zakat! Dalam hal in, zakat hanya dijadikan sebagai cara untuk mensucikan harta.
Persoalannya sekarang adalah. Kenapa orang beragama/ber-Tuhan tidak dapat mengekang hawa nafsunya untuk mencegah agar dirinya tidak tergelincir pada perbuatan senista korupsi? Ketika gairah/ritual keagamaan terus terjaga, kenapa beriringan dengan tingginya tingkat korupsi?
Agama berasal dari bahasa sangsekerta yang berasal dari kata “a” yang berarti “tidak” dan “gama”yang berarti “salah”. Jadi agama berarti tidak salah atau tidak menuntun pemeluknya pada perbuatan yang salah. Merujuk pada firman Allah SWT: “Kalian adalah sebaik-baiknya umat yang dilahirkan bagi manusia, kalian disuruh (berbuat) kebaikan dan mencegah kemunkaran dan kalian beriman kepada Allah SWT.” (QS. Al-Imran:110)
Pada perinsipnya, setiap agama tidak sekedar menuntun pemeluknya  untuk hanya beribadah secara vertikal saja (hablum minallah), tetapi juga beribadah secara horizontal (hablum minannas). Dan semua bentuk ritual dalam agama apapun, memiliki dimensi individual dan sosial (contohnya zakat).
Dalam ritual zakat dan sedekah lainnya yang diajarkan didalam Islam. Jika dicermati, sangat kental dengan nuansa sosial. Zakat yang sejatinya bermakna pensucian harta (zazkiyat al’mal) acapkali disalah arti dan disalah manfaatkan oleh sebagian umat Islam seperti para penguasa, pejabat dan koruptor sebagai cara untuk mensucikan harta yang mereka peroleh dari hasil korupsi (sin and money laundering). Dengan pemahaman demikian, maka zakat telah kehilangan makna substansialnya untuk mensucikan diri dari harta yang diperoleh dengan cara halal (maslahat). Padahal, harta yang diperoleh dari hasil praktek korupsi, selamanya tidak akan pernah tersucikan dengan hanya membayar zakat. Sebab, agama bukanlah tempat pensucian terhadap segala macam praktek haram yang telah dilarang oleh agama itu sendiri. Lebih dari itu, agama justru memberikan justifikasi  teologis, bahwa orang yang telah melakukan korupsi (menganiaya dan memakan hak orang lain), tidak akan mendapatkan keberkahan (mudharat) dalam hartanya dan akan mendapat laknat didunia dan siksa diakhirat. Merujuk pada Firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang suka menghimpun (menyimpan) emas dan perak (harta kekayaan) dan tidak membelanjakannya (menafkahkannya) dijalan Allah SWT”,maka beritahulah mereka dengan siksa yang amat pedih. Pada hari dipanaskannya emas dan perak itu didalam neraka jahanam, lalu dibakardengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka, (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kau simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Taubah:34-35)
Shalahuddin al-Jursyi (Tokoh HAM dari Tunisia) didalam karyanya “Al-Islamiyyun wa al-Taqaddamiyyun (2000)” mengatakan: “Perbuatan korupsi (al-ikhtilash) telah mencederai cara pendistribusian kekayaan negara yang disimpangkan, sehingga bisa menimbulkan kesengsaraan, etidak adilan, sekaligus kemarahan dari masyarakat (al-ijtimaiyyah).”
Karena itulah, korupsi adalah salah satu bentuk penyimpangan sosial dari makna zakat yang bertujuan menciptakan kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran. Dalam konteks tersebut, korupsi berarti penindasan terhadap kaum lemah dan perampokan terhadap harta orang banyak yang didalamnya terdapat hak-hak orang yang lebih membutuhkan (fakir miskin/kaum dhuafa, yatim piatu dll). Merujuk pada firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang yang suka menyantap harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu suka menyantap bara api sepenuh perutnya dan mereka terjerumus kedalam neraka Sa’ir”, (QS. An-Nisaa:10) Bersabda Rasulullah SAW: “Kecelakaan besar bagi orang-orang kaya dari orang-orang fakir pada hari kiamat. Kaum fakir berkata: “Mereka telah menganiaya kami dalam hak-hak yang telah diwajibkan atas mereka.” Berfirman Allah SWT: “Demi keagungan-Ku dan keluhuran-Ku. Sungguh Aku akan mendekatkanmu dan sungguh Aku akan menjauhkan mereka. Kemudian Rasulullah SAW membaca: “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa.” (Al-Ma’arij:24-25)
Disinilah, zakat memberikan makna teologis. Betapa harta yang hendak kita miliki dan belanjakan dijalan Allah SWT, hendaknya dipeoleh dengan jalan/cara yang halal (maslahat).
Dan yang perlu kita sadari adalah;
  • Bahwa hidup didunia ini adalah sementara, dan ternyata akhiratlah kehdupan yang sesungguhnya.
  • Harta benda hanyalah hiasan semata, karena amalan-amalan shalehlah yang kekal disisi Allah SWT.
  • Kita harus menyadari, bahwa apa yang kita perbuat pasti menghasilkan sesuatu. Bila itu baik, maka kebaikan (pahala) pulalah yang akan kita terima. Sedang perbuatan yang buruk, maka buruk (azab didunia dan diakhirat) pulalah yang akan kita terima.

Mari jadikan bulan Ramadhan ini sebagai bulan introfeksi bagi kita untuk dapat membenahi/memperbaiki diri kita atas kekuarangan-kekurangan, kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa yang pernah kita lakukan, agar tidak terulang kembali dan menuju keridhoan dan rahmat ilahi.

SURAT UNTUK PENGUASA, PENGUSAHA, PEJABAT DAN PARA KORUPTOR Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment