Pada
tanggal 9 September 2003 lalu, dilakukan penandatanganan konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melawan korupsi. Dan pada tanggal 9 Desember, setiap
tahun diperingati sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia. Acara tahunan ini
dimaksudkan untuk mengingatkan masyarakat tentang bahaya korupsi dan bagaimana
mengatasi/melawannya. Pada momentum peringatan tahun 2009 dan 2010 lalu di
Indonesia, terjadi aksi massa besar-besaran di Jakarta serta sejumlah kota
lain, sehubungan dengan terangkatnya kembali kasus aliran dana Bail-out Bank
Century, Hal tersebut juga terkait dengan kasus kriminalisasi terhadap pejabat
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ingin mengusutnya. Aksi tersebut untuk
sementara waktu berhasil mencegah proses kriminalisasi terhadap dua pejabat
dimaksud, tapi masih sangat kecil untuk mampu mengatasi masalah korupsi di negeri
ini, bahkan untuk mengungkap kasus Century.
Dalam
dimensi yang luas, persoalan korupsi berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem
politik, sistem hukum dan budaya. Terkait dengan sistem ekonomi, korupsi dapat
dilihat sebagai hasil dari sistem ekonomi tidak produktif yang berdiri sejajar
dengan tingginya ‘tuntutan’ konsumsi. Pada kondisi demikian sistem politik dan
sistem hukum didirikan sesuai ‘tuntutan’ untuk membiarkan atau bahkan mendukung
praktek korupsi di berbagai tingkatan pemerintahan. Mengutip perkataan Bung
Hatta, "korupsi sudah menjelma menjadi suatu budaya", kemudian
berkait dengan persoalan etik dan moral: bagaimana tanpa ‘rasa malu’ para
aparatur negara terus mencuri sesuatu yang bukan hasil kerjanya, atau
menyelewengkan kekuasaan yang dimandatkan kepadanya untuk kepentingan diri dan
kelompok.
Situasi
aktual negeri ini kurang lebih menunjukkan keadaan di atas. Kasus Century,
kasus Gayus Tambunan, kasus Nazaruddin dan berbagai kasus lain yang terjadi
sebelumnya, telah menelanjangi hampir seluruh aparatus penegak hukum sebagai
bagian dari pelaku korupsi. Ironi ini sangat nyata sehingga sering diungkap
dalam pepatah “menyapu lantai dengan sapu yang penuh kotoran”, yang hasilnya
tentu tidak akan bersih. Semakin memprihatinkan, karena kondisi tersebut tidak
segera diatasi oleh pemerintah, misalnya dengan perombakan total terhadap
lembaga-lembaga dimaksud, tapi malah dimanfaatkannya untuk kepentingan
politiknya.
Pemerintahan
berkuasa, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, gemar mengkampanyekan perang
melawan korupsi (sampai membuat iklan anti korupsi dengan latar partai yang
menjadi kendaraan politiknya), tapi dalam prakteknya justru menyuburkan
korupsi, sambil menggunakan alat-alat negara yang dipercayakan ada di tangannya
(kepolisian, kejaksaan, dan KPK) untuk mementung lawan-lawan politik.
Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum pun semakin
merosot, dan sebagai gantinya, di beberapa tempat rakyat sendiri yang bergerak
untuk ‘menuntaskan’ kasus-kasus yang terungkap.
Di
sini kami kembali teringat kesimpulan dari seorang ilmuwan klasik, Friedrich
Carl Von Savigny, bahwa hukum merupakan produk politik pada zamannya. Politik
yang korup menghasilkan hukum yang korup pula. Sejauh ini masih terbukti bahwa
gerakan rakyat merupakan cara yang paling efektif untuk memeranggi korupsi.
Kontrol rakyat terhadap aparatus pemerintahan mensyaratkan adanya alat kontrol (organisasi)
rakyat di luar institusi formal yang sudah berdiri. Posko-posko perjuangan
rakyat untuk kesejahteraan yang ada sudah saatnya ditambah muatannya sebagai
posko anti-korupsi. Sejalan dengan itu diperlukan bangunan tata ekonomi baru
yang produktif dan budaya baru yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan
sosial sebagai dasar bagi negeri baru tanpa korupsi. Lagi-lagi, untuk
perombakan ini tentu saja dibutuhkan sebuah gerakan politik.
0 komentar:
Post a Comment