Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Saturday, April 7, 2012

Memerangi Korupsi, Butuh Sebuah Gerakan Politik

Pada tanggal 9 September 2003 lalu, dilakukan penandatanganan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melawan korupsi. Dan pada tanggal 9 Desember, setiap tahun diperingati sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia. Acara tahunan ini dimaksudkan untuk mengingatkan masyarakat tentang bahaya korupsi dan bagaimana mengatasi/melawannya. Pada momentum peringatan tahun 2009 dan 2010 lalu di Indonesia, terjadi aksi massa besar-besaran di Jakarta serta sejumlah kota lain, sehubungan dengan terangkatnya kembali kasus aliran dana Bail-out Bank Century, Hal tersebut juga terkait dengan kasus kriminalisasi terhadap pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ingin mengusutnya. Aksi tersebut untuk sementara waktu berhasil mencegah proses kriminalisasi terhadap dua pejabat dimaksud, tapi masih sangat kecil untuk mampu mengatasi masalah korupsi di negeri ini, bahkan untuk mengungkap kasus Century.
Dalam dimensi yang luas, persoalan korupsi berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem politik, sistem hukum dan budaya. Terkait dengan sistem ekonomi, korupsi dapat dilihat sebagai hasil dari sistem ekonomi tidak produktif yang berdiri sejajar dengan tingginya ‘tuntutan’ konsumsi. Pada kondisi demikian sistem politik dan sistem hukum didirikan sesuai ‘tuntutan’ untuk membiarkan atau bahkan mendukung praktek korupsi di berbagai tingkatan pemerintahan. Mengutip perkataan Bung Hatta, "korupsi sudah menjelma menjadi suatu budaya", kemudian berkait dengan persoalan etik dan moral: bagaimana tanpa ‘rasa malu’ para aparatur negara terus mencuri sesuatu yang bukan hasil kerjanya, atau menyelewengkan kekuasaan yang dimandatkan kepadanya untuk kepentingan diri dan kelompok.
Situasi aktual negeri ini kurang lebih menunjukkan keadaan di atas. Kasus Century, kasus Gayus Tambunan, kasus Nazaruddin dan berbagai kasus lain yang terjadi sebelumnya, telah menelanjangi hampir seluruh aparatus penegak hukum sebagai bagian dari pelaku korupsi. Ironi ini sangat nyata sehingga sering diungkap dalam pepatah “menyapu lantai dengan sapu yang penuh kotoran”, yang hasilnya tentu tidak akan bersih. Semakin memprihatinkan, karena kondisi tersebut tidak segera diatasi oleh pemerintah, misalnya dengan perombakan total terhadap lembaga-lembaga dimaksud, tapi malah dimanfaatkannya untuk kepentingan politiknya.
Pemerintahan berkuasa, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, gemar mengkampanyekan perang melawan korupsi (sampai membuat iklan anti korupsi dengan latar partai yang menjadi kendaraan politiknya), tapi dalam prakteknya justru menyuburkan korupsi, sambil menggunakan alat-alat negara yang dipercayakan ada di tangannya (kepolisian, kejaksaan, dan KPK) untuk mementung lawan-lawan politik. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum pun semakin merosot, dan sebagai gantinya, di beberapa tempat rakyat sendiri yang bergerak untuk ‘menuntaskan’ kasus-kasus yang terungkap.
Di sini kami kembali teringat kesimpulan dari seorang ilmuwan klasik, Friedrich Carl Von Savigny, bahwa hukum merupakan produk politik pada zamannya. Politik yang korup menghasilkan hukum yang korup pula. Sejauh ini masih terbukti bahwa gerakan rakyat merupakan cara yang paling efektif untuk memeranggi korupsi. Kontrol rakyat terhadap aparatus pemerintahan mensyaratkan adanya alat kontrol (organisasi) rakyat di luar institusi formal yang sudah berdiri. Posko-posko perjuangan rakyat untuk kesejahteraan yang ada sudah saatnya ditambah muatannya sebagai posko anti-korupsi. Sejalan dengan itu diperlukan bangunan tata ekonomi baru yang produktif dan budaya baru yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan sosial sebagai dasar bagi negeri baru tanpa korupsi. Lagi-lagi, untuk perombakan ini tentu saja dibutuhkan sebuah gerakan politik.

Memerangi Korupsi, Butuh Sebuah Gerakan Politik Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment