Pada tanggal 10 November 1945, atau tepatnya 66 tahun yang lalu terjadi
Pertempuran di Surabaya, antara para pejuang bangsa kita melawan tentara
Belanda yang membonceng tentara sekutu (atau lebih dikenal dengan istilah
NICA). Dan tentunya peristiwa tersebut tak akan pernah dilupakan oleh
bangsa dan rakyat Indonesia. Untuk memperingati peristiwa tersebut, maka
kita sering menggelar upacara atau kegiatan lainnya (terlebih di kota Surabaya
sendiri). Pada tanggal dan bulan ini pun, rakyat Indonesia mengenalnya sebagai
Hari Pahlawan, dan pada setiap tanggal ini, pemerintah sering mengumumkan dan
memberi gelar pahlawan nasional pada orang-orang yang dianggap berjasa bagi
bangsa dan Negara.
Empat bulan sesudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 (tepatnya
tanggal 10 November 1945), Bangsa Indonesia yang baru saja
memproklamasikan kemerdekaannya, dengan gagah berani membuktikan tekad dan
cita-cita untuk merdeka dari penjajahan bangsa asing dengan tak mundur
setapakpun dari ancaman bala tentara Inggris yang merupakan salah satu pemenang
perang dunia II. Dengan begitu pertempuran 10 November menegaskan semangat
Bangsa Indonesia untuk merdeka dan ketulusan rakyat Indonesia untuk/dalam berjuang
sampai tetes darah penghabisan demi terbebas dari penjajahan asing yang telah
berabad-abad mencengkeram. Tak salah bila hari itu kemudian ditetapkan sebagai
Hari Pahlawan.
Keberanian dan kepahlawanan 66 tahun yang lalu itu, kini seakan dituntut
kembali bila kita menengok pada problem bangsa sekarang ini. Kita memerdekakan
diri dari penjajahan asing tentu untuk kebebasan/kemerdekaan, keadilan,
kemakmuran dan kesejahteraan. Tak ada jiwa-jiwa inlander yang merasa hina dan
rendah di hadapan bangsa lain. Tak ada pendidikan yang diskriminatif tapi
setiap rakyat Indonesia diberi kesempatan untuk maju dan cerdas, menguasai
sains dan teknologi yang semakin memajukan hidup rakyat dan bangsa.
Kolonialisme tentu akan menghalangi rakyat jajahan menjadi pintar, cerdas dan
berilmu. Untuk itulah kolonialisme selalu mendapatkan perlawanan. Tapi setelah
66 tahun proklamasi kemerdekaan dan tekad merdeka seperti yang ditunjukkan
rakyat Indonesia pada pertempuran 10 November itu, kemiskinan, korupsi, ketidak
sanggupan memahami bencana masih menghantui. Kekayaan alam yang melimpah tak
sanggup diolah untuk kemakmuran rakyat negeri. Justru yang tampak kekayaan alam
itu dikuasai dan diolah untuk kemakmuran asing. Kemerdekaan 66 tahun yang lalu
itu seakan tidak menjadi modal untuk memajukan rakyat Indonesia dalam bidang
ekonomi, ilmu, teknologi dan pengetahuan tapi justru tampak kembali pada rel
menjadi bangsa terjajah, miskin, susah ilmu, teknologi dan pengetahuan.
Dengan begitu nilai kepahlawanan/patriotisme atau keberanian untuk membela
bangsa dan rakyat di berbagai bidang tidak tampak dan tidak mengakar kepada
rakyat. Rakyat justru dibuat takut, dipecah belah dengan berbagai isu, rendah
diri karena kurang pendidikan dan kurang gizi yang semua itu jauh dari
cita-cita republik yang dimerdekakan dengan gagah berani oleh para pahlawan.
Dengan begitu jelas menjadi pahlawan untuk zaman sekarang dapat dilakukan
dalam berbagai cara. Nilai kepahlawanan yang identik dengan pengorbanan dan
keberanian (patriotisme) juga harus ditanamkan di tengah masyarakat
agar dapat mengatasi persoalan bangsa akhir-akhir ini. Pahlawan-pahlawan yang
diangkat pun seharusnya dapat menginspirasi: persatuan dan perjuangan anti
kolonial yang kini juga semakin terasa serta membela rakyat dari berbagai
bidang: ilmu, teknologi, seni dan budaya, termasuk olah raga.
Sekali lagi, mari kita berjuang demi kemerdekaan kita dari penjajahan asing
dan antek-anteknya yang berasal dari bangsa kita sendiri, karena mereka telah
merampas hak-hak asasi kita (gaji/upah murah/menjadi budak dinegeri
sendiri, peraturan dan perundang-undangan yang tidak memihak kepada rakyat,
dsb) serta mereka telah menggadai dan menjual asset bangsa dan negara ini.
Bagaimana nasib anak cucu kita dimasa yang akan datang?
Selamat Hari Pahlawan! Mari lanjutkan perjuangan para pahlawan, demi
kemerdekaan yang hakiki!
0 komentar:
Post a Comment