Berbagai
penyelesaian kasus korupsi di tanah air ini dipastikan mandeg ditengah jalan,
apalagi kasus yang berhubungan dengan penguasa negara, keluarga, kabinetnya,
partai dan anggota partai penguasa. Ambil contoh; kasus Nazaruddin (Mantan
Bendahara Partai Demokrat, Kasus Pembangunan Wisma Atlet-Hambalang yang
dipastikan menyeret nama-nama beken seperti Andi Malarangeng-Menpora &
rekan-rekan 1 partainya; Angelina Sondach, Ibas dll), Nunun Nurbaeti (Kasus
Travel Check), Kasus Muhaimin Iskandar (Mennakertrans) dan Kasus Gayus Tambunan
(Pegawai Dirjen Pajak), tahanan korupsi kelas kakap yang dapat leluasa
melancong ke Bali untuk menonton pertandingan tenis, telah menyita perhatian
rakyat Indonesia. Konon kabarnya, Gayus mengeluarkan uang sebesar Rp. 368 juta
untuk menembus dinding penjara Mako Brimob Kelapa Dua Depok, yaitu dengan
menyuap kepala penjara.
Cerita seperti
ini dulunya kita saksikan di film-film, terutama sekali kisah sebuah negeri
yang hukumnya sudah dikuasai penjahat. Sekarang ini, cerita seperti ini sudah
hadir di hadapan kita, dan cerita-cerita mengenai gayus-gayus lainnya akan
menyusul pada episode berikutnya. Sebelum ini, ada cerita mengenai koruptor
yang hidup enak di dalam rutan.
Anehnya, semakin
SBY menekankan akan memberantas korupsi, makin banyak pula perlakuan khusus
untuk koruptor; makin sering SBY menyebut-nyebut prestasi memberantas korupsi,
semakin tumbuh subur pula korupsi itu bak jamur di musim hujan. Kita semakin
menemukan jurang yang lebar antara ucapan dan tindakan.
Lantas, tidak
lama kemudian menguat pula gagasan mengenai hukuman mati atau pemiskinan. Dari
aliran yang cukup keras, mereka memandang hukuman mati sebagai cara paling
efektif untuk membuat jera (Shock Therapy) para koruptor. Sebaliknya, dari
aliran yang cukup moderat, yang menilai hukuman mati sebagai pelanggaran HAM,
mengusulkan agar dilakukan pemiskinan terhadap koruptor.
Kedua model
penghukuman diatas berbicara soal penciptaan efek jera bagi koruptor dan calon
koruptor, namun tidak membicarakan bagaimana membersihkan budaya kita dari
korupsi. Di sini ada faktor struktur sosial yang memelihara korupsi, ada soal
budaya (konsumsi lebih tinggi dari produksi), soal informasi, dan lain
sebagainya.
Di Tiongkok,
negeri yang selalu menjadi rujukan untuk hukuman mati bagi koruptor, tidak
hanya bersandar pada soal cara menghukum korutor, tetapi juga berfikir untuk
menciptakan sebuah situasi dimana orang tidak bisa korupsi. Sebab, kalaupun
hukuman mati diberlakukan, tetapi jika struktur sosial dan politiknya tidak
diubah, maka koruptor yang dihukum mati hanyalah mereka yang tidak punya
kekuasaan.
Begitu pula
dengan wacana pemiskinan, yang menurut kami, akan sangat sulit untuk dilakukan
di Indonesia saat ini, mengingat praktik korupsi merajalela di segala aspek
kehidupan birokrasi. Sebagai missal, siapa yang bisa memastikan proses
pemiskinan bisa berjalan, sementara kita selalu gagal untuk melacak aliran uang
para koruptor. Tidak usah jauh-jauh bicara soal pemiskinan, dana aliran century
saja tidak pernah diungkap sampai sekarang.
Lagi pula, dalam
kasus Gayus Tambunan, kita tidak bisa berbicara sekedar personal, melainkan
sebuah jaringan yang tersebar luas. Orang macam gayus tersebar di hampir
seluruh lembaga negara, termasuk aparat penegak hukum, dan bisa bekerjasama
satu sama lain untuk melakukan “permufakatan jahat”.
Ada yang
mengatakan, hukuman setinggi apapun tidak akan bisa membersihkan masyarakat
dari korupsi, jikalau struktur sosial-nya memang masih menyediakan ruang untuk
praktik korupsi.
Ada baiknya
membangun gerakan anti-korupsi, yaitu massa rakyat secara luas. Hanya dengan
gerakan massa, maka koruptor tidak akan punya celah untuk melakukan korupsi dan
menyembunyikan hasil korupsinya. Perlu membangun kembali posko-posko anti
korupsi di setiap tingkatan terendah (mulai dari tingkat desa/kelurahan),
dan didalamnya ada pendidikan dan penyebaran informasi mengenai anti-korupsi.
Ada kemajuan
pesat ketika rakyat makin kritis terhadap korupsi. Misalnya, hampir setiap
kampanye kepala desa hingga presiden mulai memasukkan anti-korupsi sebagai
agendanya. Terlepas dilaksanakan atau tidak, namun ini menjelaskan bahwa
sentimen anti-korupsi mulai tumbuh di rakyat dan mulai diperhitungkan oleh para
politisi.
Di beberapa
daerah, rakyat mulai terlibat dalam gerakan-gerakan anti-korupsi, terutama
dalam penjatuhan kepala desa, camat, dan bupati/kepala daerah yang korupsi.
Ini adalah
sebuah kemajuan, tinggal bagaimana ditingkatkan lebih maju lagi; dari sekedar
kritisisme menjadi gerakan. Hanya dengan gerakan dari bawah (rakyat), struktur
sosial yang menjadi lahan subur korupsi ini, dapat kita hancurkan!
0 komentar:
Post a Comment