Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Saturday, April 7, 2012

Hukuman Bagi Para Koruptor, Hanya Sebuah Retorika


Berbagai penyelesaian kasus korupsi di tanah air ini dipastikan mandeg ditengah jalan, apalagi kasus yang berhubungan dengan penguasa negara, keluarga, kabinetnya, partai dan anggota partai penguasa. Ambil contoh; kasus Nazaruddin (Mantan Bendahara Partai Demokrat, Kasus Pembangunan Wisma Atlet-Hambalang yang dipastikan menyeret nama-nama beken seperti Andi Malarangeng-Menpora & rekan-rekan 1 partainya; Angelina Sondach, Ibas dll), Nunun Nurbaeti (Kasus Travel Check), Kasus Muhaimin Iskandar (Mennakertrans) dan Kasus Gayus Tambunan (Pegawai Dirjen Pajak), tahanan korupsi kelas kakap yang dapat leluasa melancong ke Bali untuk menonton pertandingan tenis, telah menyita perhatian rakyat Indonesia. Konon kabarnya, Gayus mengeluarkan uang sebesar Rp. 368 juta untuk menembus dinding penjara Mako Brimob Kelapa Dua Depok, yaitu dengan menyuap kepala penjara.
Cerita seperti ini dulunya kita saksikan di film-film, terutama sekali kisah sebuah negeri yang hukumnya sudah dikuasai penjahat. Sekarang ini, cerita seperti ini sudah hadir di hadapan kita, dan cerita-cerita mengenai gayus-gayus lainnya akan menyusul pada episode berikutnya. Sebelum ini, ada cerita mengenai koruptor yang hidup enak di dalam rutan.
Anehnya, semakin SBY menekankan akan memberantas korupsi, makin banyak pula perlakuan khusus untuk koruptor; makin sering SBY menyebut-nyebut prestasi memberantas korupsi, semakin tumbuh subur pula korupsi itu bak jamur di musim hujan. Kita semakin menemukan jurang yang lebar antara ucapan dan tindakan.
Lantas, tidak lama kemudian menguat pula gagasan mengenai hukuman mati atau pemiskinan. Dari aliran yang cukup keras, mereka memandang hukuman mati sebagai cara paling efektif untuk membuat jera (Shock Therapy) para koruptor. Sebaliknya, dari aliran yang cukup moderat, yang menilai hukuman mati sebagai pelanggaran HAM, mengusulkan agar dilakukan pemiskinan terhadap koruptor.
Kedua model penghukuman diatas berbicara soal penciptaan efek jera bagi koruptor dan calon koruptor, namun tidak membicarakan bagaimana membersihkan budaya kita dari korupsi. Di sini ada faktor struktur sosial yang memelihara korupsi, ada soal budaya (konsumsi lebih tinggi dari produksi), soal informasi, dan lain sebagainya.
Di Tiongkok, negeri yang selalu menjadi rujukan untuk hukuman mati bagi koruptor, tidak hanya bersandar pada soal cara menghukum korutor, tetapi juga berfikir untuk menciptakan sebuah situasi dimana orang tidak bisa korupsi. Sebab, kalaupun hukuman mati diberlakukan, tetapi jika struktur sosial dan politiknya tidak diubah, maka koruptor yang dihukum mati hanyalah mereka yang tidak punya kekuasaan.
Begitu pula dengan wacana pemiskinan, yang menurut kami, akan sangat sulit untuk dilakukan di Indonesia saat ini, mengingat praktik korupsi merajalela di segala aspek kehidupan birokrasi. Sebagai missal, siapa yang bisa memastikan proses pemiskinan bisa berjalan, sementara kita selalu gagal untuk melacak aliran uang para koruptor. Tidak usah jauh-jauh bicara soal pemiskinan, dana aliran century saja tidak pernah diungkap sampai sekarang.
Lagi pula, dalam kasus Gayus Tambunan, kita tidak bisa berbicara sekedar personal, melainkan sebuah jaringan yang tersebar luas. Orang macam gayus tersebar di hampir seluruh lembaga negara, termasuk aparat penegak hukum, dan bisa bekerjasama satu sama lain untuk melakukan “permufakatan jahat”.
Ada yang mengatakan, hukuman setinggi apapun tidak akan bisa membersihkan masyarakat dari korupsi, jikalau struktur sosial-nya memang masih menyediakan ruang untuk praktik korupsi.
Ada baiknya membangun gerakan anti-korupsi, yaitu massa rakyat secara luas. Hanya dengan gerakan massa, maka koruptor tidak akan punya celah untuk melakukan korupsi dan menyembunyikan hasil korupsinya. Perlu membangun kembali posko-posko anti korupsi di setiap tingkatan terendah (mulai dari tingkat desa/kelurahan), dan didalamnya ada pendidikan dan penyebaran informasi mengenai anti-korupsi.
Ada kemajuan pesat ketika rakyat makin kritis terhadap korupsi. Misalnya, hampir setiap kampanye kepala desa hingga presiden mulai memasukkan anti-korupsi sebagai agendanya. Terlepas dilaksanakan atau tidak, namun ini menjelaskan bahwa sentimen anti-korupsi mulai tumbuh di rakyat dan mulai diperhitungkan oleh para politisi.
Di beberapa daerah, rakyat mulai terlibat dalam gerakan-gerakan anti-korupsi, terutama dalam penjatuhan kepala desa, camat, dan bupati/kepala daerah yang korupsi.
Ini adalah sebuah kemajuan, tinggal bagaimana ditingkatkan lebih maju lagi; dari sekedar kritisisme menjadi gerakan. Hanya dengan gerakan dari bawah (rakyat), struktur sosial yang menjadi lahan subur korupsi ini, dapat kita hancurkan!

Hukuman Bagi Para Koruptor, Hanya Sebuah Retorika Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment