Ada hal menarik
mengenai bahasan koperasi, yang masing-masing ditulis oleh Mohammat Hatta dan
DN Aidit. Bila dicermati, ada kesamaan dan perbedaan dari kedua tokoh nasional
tersebut dalam memandang persoalan koperasi. Kesamaannya adalah melihat
koperasi sebagai “alat pertahanan ekonomi rakyat miskin” dalam
gempuran kapitalisme. Dengan koperasi, rakyat dapat menyatukan dan
mengorganisasikan potensi-potensinya sehingga lebih mampu bertahan. Sementara
perbedaannya adalah tentang peran strategis koperasi ketika dihubungkan dengan
situasi penghisapan oleh imperialisme. Berbeda dari Hatta, menurut DN Aidit,
koperasi tidak dapat dijadikan “satu-satunya sandaran untuk memakmurkan rakyat”
tanpa melikuidasi terhadap monopoli imperialisme.
Terlepas sementara
dari pendapat kedua tokoh tersebut, hari ini kita melihat dan mengalami
realitas ekonomi yang semakin menghimpit rakyat miskin. Harga barang-barang
kebutuhan melambung tanpa mampu diatasi pemerintah, akibat penguasaaan pasar
oleh kaum kapitalis-monopolis. Produksi-produksi skala kecil dihancurkan oleh
persaingan bebas yang tidak mengenal belas kasihan. Sementara rakyat dengan perekonomian
menengah ke bawah, begitu sulit mengakses kredit dari perbankan. Program Kredit
Usaha Rakyat (KUR) yang coba diperkenalkan terbukti tidak efektif dan hanya
menjangkau sejumlah kecil masyarakat. Pemerintahan neoliberal cenderung
menempatkan bank semata sebagai alat yang membantu monopoli (perampasan)
ekonomi oleh kapitalisme industri maupun kapitalisme dagang.
Di sisi lain,
keberadaan koperasi yang telah diangkat tinggi dalam konstitusi negara,
ternyata dijalankan secara sembarangan sehingga menimbulkan banyak persoalan.
Fungsi dan jenis koperasi seharusnya mampu memfasilitasi anggota-anggotanya
untuk mengakses kredit yang mudah dan berbunga rendah (koperasi kredit),
memperoleh barang-barang kebutuhan juga secara mudah dan murah (koperasi
distribusi), serta mengorganisir produksi yang efisien (koperasi produksi).
Namun sering kita temui kasus perkembangan koperasi yang mandeg, tidak dapat
berkembang maju untuk menjawab persoalan-persoalan ekonomi anggotanya. Bahkan
tidak sedikit kasus koperasi papan nama yang sekadar menjadi sasaran korupsi
oleh pengurusnya. Situasi seperti di atas tentu berdampak negatif terhadap
kepercayaan rakyat terhadap koperasi. Persoalan ini, mungkin, dapat ditarik
asal-usulnya pada orde baru, yang menjadikan koperasi sebagai pemanis
berpenampilan kerakyatan dalam perampokan besar-besaran atas ekonomi nasional
oleh segelintir kroni pejabat dan kaum imperialis.
Namun, tentu saja,
persoalan-persoalan ini tidak berlaku mutlak di semua tempat, karena ada juga
koperasi-koperasi yang tetap dapat berkembang dan berperan positif sesuai
kebutuhan anggotanya. Koperasi sebagai usaha bersama, seperti disebutkan dalam
pasal 33 UUD 1945, sebenarnya telah memberikan ciri sosialistik, dalam
pengertian membentuk relasi ekonomi yang setara di antara anggotanya; atau,
adanya kepemilikan dan pengelolaan secara bersama. Selain itu, tidak seperti
usaha ekonomi lainnya, tekanan fungsi koperasi juga bukan untuk mengakumulasi
keuntungan, sehingga bisa terlepas dari beban keharusan berkompetisi. Meski demikian,
tantangan untuk berkompetisi senantiasa hadir dalam masyarakat kapitalis
terlebih dalam wujud kapitalisme-neoliberal yang berlaku saat ini.
Dalam wujud
kapitalisme liberal, yang terjadi sebenarnya bukanlah kompetisi ekonomi,
melainkan pencaplokan modal besar terhadap modal kecil, dan pemerintah justru
memfasilitasi terjadinya pencaplokan-pencaplokan tersebut melalui berbagai
kebijakan ataupun pembiaran. Oleh karena itu, pembangunan koperasi perlu
ditekankan kembali sebagai “senjata pertahanan” ekonomi rakyat
miskin, dalam perjuangan melawan monopoli imperialisme sekarang. Tantangan yang
dihadapi tentunya tidak ringan. Disamping membutuhkan keuletan dan kedisiplinan
para anggota, koperasi juga haruslah cerdik menghindarkan diri dari usaha
pencaplokan oleh modal swasta besar yang senantiasa mengintai. Selain itu,
strategi bertahan ini harus disertai strategi menyerang imperialisme di
lapangan politik.
0 komentar:
Post a Comment