Indonesia sedang
memasuki krisis multidimensi. Artinya, terdapat gejala-gejala kemunduran,
bahkan mungkin kehancuran, yang terjadi di hampir semua aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara. Tetapi, yang paling pokok dari semua kemunduruan itu
adalah menjauhnya kita dari cita-cita nasional: masyarakat adil dan makmur.
Kehidupan rakyat
kecil makin memburuk: orang miskin harus susah payah banting tulang untuk
sekedar makan sehari, harga-harga kebutuhan pokok terus melonjak naik, lapangan
pekerjaan sulit didapatkan, layanan publik telah diswastakan, dan lain
sebagainya.
Dari kondisi
carut-marut itu, muncullah berbagai pandangan tentang akar dari berbagai
persoalan itu. Lalu, sebagai upaya untuk menjawab persoalan itu, ada sebagian
orang yang berkesimpulan bahwa korupsi-lah akar dari semua persoalan itu.
Mereka pun berkampanye sangat gencar untuk melawan korupsi.
Bagi kami,
korupsi memang merupakan masalah besar bangsa ini. Tetapi, meletakkan soal
korupsi sebagai masalah paling pokok, atau penyebab utama, dari berbagai
persoalan bangsa itu adalah sebuah kesalahan.
Para pendukung
liberalisasi berpendapat bahwa pengurangan peran negara dan reformasi ekonomi
akan mengurangi korupsi. Dengan begitu, kalau mau disederhanakan, negara
sebagai organisasi politik dianggap sebagai biang kerok korupsi.
Pada masa lalu,
negara pernah memainkan peranan yang tidak kecil dalam mengelola ekonomi dan
menggunakannya untuk kemakmuran rakyat. Tidak bisa dipungkiri bahwa
negara telah memainkan peranan penting dalam menjamin kebutuhan-kebutuhan dasar
rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, layanan publik, dan lain-lain.
Tidak bisa
dipungkiri, bahwa peranan besar yang dimainkan oleh negara dalam lapangan
perekonomian, termasuk oleh perusahaan-perusahaan milik negara, telah
melahirkan praktek-praktek korupsi. Tetapi, lahirnya korupsi itu tidak terlepas
dari keburukan persoalan manajamen, bukan karena watak negara yang memang
korup. Dan, sekorup-korupnya Orde Baru, mereka konsisten menganggarkan 40-45%
anggaran di APBN untuk pembangunan. Itu tertinggi di Asia Tenggara pada
jamannya.
Dan, tidak bisa
disangkal pula, keterlibatan negara dalam mengelola ekonomi dan memobilisasi
sumber daya untuk kesejahteraan rakyat dianggap kurang menguntungkan kelompok
swasta atau pemilik modal.
Mereka pun
beranggapan bahwa berbagai intervensi negara dalam perekonomian, seperti
subsidi dan proteksi, sebagai sesuatu yang negatif dan tidak efisien.
Padahal, bagi mayoritas rakyat, kehadiran subsidi dan proteksi sangat
membantu mereka keluar dari keterbatasan.
Dari penjelasan
di atas dapat disimpulkan, neoliberalisme memukul “negara” dalam
kepentingan menghentikan proses akumulasi keuntungan yang ditujukan
kepada kepentingan rakyat banyak. Yang hendak dipangkas dari peran negara
adalah “fungsinya melindungi kesejahteraan rakyat”.
Lalu, di bawah
rejim neoliberal, seluruh proses keuntungan mengarah pada kemakmuran segelintir
swasta nasional dan perusahaan asing. Merekalah yang menikmati subsidi dan
menggunakannya untuk mengakumulasi keuntungan pribadi.
Neo-liberalisme
bertujuan menghancurkan pengertian negara sebagai kolektif atau penjamin
kesejahteraan, demi menerapkan tipe ideologi korporat yang menyerukan
pengambil-alihan dan penjarahan kekayaan kolektif yang diakumulasikan
berkali-kali oleh dua, tiga, empat, atau lima generasi.
Dengan
sendirinya, karena motifnya kepada kepentingan segelintir korporasi, maka
negara neoliberal sebetulnya jauh lebih korup. Ketika penyelenggaraan ekonomi
tidak lagi dirumuskan sebagai “usaha bersama”, tetapi diputuskan oleh
segelintir elit bisnis dan kekuatan politik, maka disitulah praktek korupsi
akan tumbuh subur bak jamur di musim hujan.
Dan, ketika
tujuan penyelenggaran ekonomi murni untuk akumulasi profit di tangan segelintir
orang, bukan lagi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka disitulah
praktek korupsi juga akan tumbuh subur.
Dalam hal ini,
jika mau serius memberantas korupsi, maka perlu menegakkan kembali fondasi
perekonomian Indonesia yang diwariskan oleh pendiri bangsa, yaitu pasal 33 UUD
1945.
Sebagai misal,
pasal 33 UUD 1945 menghendaki agar perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar asas kekeluargaan. Jika mengacu pada ayat itu, maka kegiatan
perekonomian mesti diselenggarakan secara demokratis, kerjasama, dan
solidaritas, sehingga tidak memungkinkan adanya segelintir tangan yang
mengakumulasi kemakmuran.
Pasal 33 secara
terang-terangan menjadikan “kemakmuran rakyat” sebagai muara atau
tujuan akhir dari kegiatan perekonomian.
0 komentar:
Post a Comment