Gotong royong
adalah karakteristik asli Bangsa Indonesia. Sejak jaman dahulu, bangsa ini
dikenal sebagai bangsa yang sangat mencintai kedamainan dan kebersamaan dalam
berkehidupan. Hal ini tercermin dalam berbagai kegiatan pembangunan maupun
pola-pola bercocok tanam bahkan dalam hal menerima sebuah kebiasaan/budaya
bangsa lain yang datang ke wilayahnya. Sayangnya karakter ini semakin hari
semakin terkikis oleh faham dan budaya bangsa asing yang sebenarnya sangat
tidak cocok bagi Bangsa Indonesia.
Karakter baru tersebut adalah Neo-kapitalis, yang sama sekali tidak pernah
berpihak pada rakyat kecil Indonesia. Bung Karno sebagai Founding
Father Bangsa Indonesia sebenarnya pernah mengingatkan pada awal era
60-an, sayangnya hal ini diabaikan oleh banyak pihak bahkan oleh rezim
pengganti (rezim Orde Baru) yang kebijakan-kebijakanya lebih berpihak
pada kelompok pemodal terutama pemodal asing, maka tergadailah negeri ini dan
rakyat hidup miskin di negeri sendiri yang kaya makmur, bagai tikus mati di
lumbung padi.
Sebenarnya bangsa kita memiliki karakter bangsa yang sangat mulia, yaitu Gotong
Royong, semua dilakukan bersama untuk kesejahteraan individu dan bersama.
Individu disini bukanlah berdasarkan keserakahan pribadi tetapi karena
kebersamaan, dimana prinsip dasarnya jika setiap individu mampu hidup sejahtera
secara merata dengan individu lainnya maka tercapailah cita-cita kesejahteraan
yang merata bagi setiap individu.
Jika kita cermati kembali, sebenarnya semangat “arisan” adalah salah
satu dari semangat gotong royong tersebut, dimana secara bergotong royong
dimana setiap individu mengumpulkan uang untuk diberikan kepada salah satu
individu pada kelompoknya dan begitulah yang dilakukan dari waktu ke waktu.
Tetapi sangat disayangkan bahwa semangat gotong royong pada arisan telah sirna
berganti dengan semangat kapitalis. Tidak percaya? Tenggoklah, pada acara
arisan yang ada adalah pameran kekayaan, perdagangan produk-produk asing, tiada
lagi semangat gotong royong.
Semangat “Sego sak jumput” atau di Cirebon atau disebagian daerah
Sunda/Jawa disebut dengan“Beras Perelek” juga telah musnah di banyak
wilayah di bumi nusantara ini. Semangat ini adalah, setiap kali kita memasak
nasi maka sisihkan sedikit beras untuk di taruh disuatu tempat dan secara
periodik akan ada yang mengambilnya untuk dikumpulkan bersama jumputan individu
lainnya dan akan dibagikan kepada individu yang tidak mampu. Alangkah mulia dan
agungnya semangat ini tetapi kembali sangat disayangkan ini telah musnah
ditelan semangat kapitalis.
Mengapa bangsa kita menjadi malu untuk melakukan budayanya sendiri dan menjadi
sangat bangga jika mampu melakukan budaya asing. Sementara bangsa asing mulai
tertarik mempelajari dan mengamalkan budaya Indonesia.
Dan saat ini banyak terjadi demo menolak “barat dengan antek-anteknya”.
Mengapa harus begitu, tolak “asing” ya seharusnya tolak semua budaya
asing dan tegakkan budaya kita sendiri, itu baru benar. Menolak “barat” sementara
yang mereka kenakan adalah produk barat, yang mereka banggakan “makanan
sampah dari barat”. Beranikah bangsa ini menolak dan mencoba untuk berdiri di
kakinya sendiri.
Mari kita mulai berdiri di atas kaki kita sendiri, tolak semua budaya, produk
dan tenaga asing dengan sistem proteksi disemua bidang dan pilih yang memang
kita belum mampu. Mengapa kita lebih bangga makan di “KFC, CFC, Texas
Fried Chicken dll” sementara kita punya “Ayam Goreng Ny Soeharti atau
Ayam Goreng Pramuka”. Mengapa lebih bangga memakai sepatu merek “Kickers”, sementara
kita punya sepatu buatan rumahan (home industri) “Boogie”, “Cibaduyut” dan “Ciomas”.
Mengapa harus“Salsa”, sementara kita punya “Kecak”, “Jaipong”, “Tari
Pendet” dll. Dan masih beribu mengapa yang menggelayut.
Sebenarnya kita sebagai Bangsa Indonesia, mampu untuk melakukannya tetapi
terlalu lama kita dibuai oleh kemudahan semu yang memabukkan dan pemerintah tak
pernah melakukan proteksi terhadap budaya dan produk-produk bangsa kita
sendiri. Ironisnya lagi, bangsa dan negara lain malah mengakui budaya dan
produk asli Bangsa Indonesia. Kita ambil contoh, Wayang Kulit diakui sebagai
budaya Malaysia, dan Batik serta Jamu pun diakui sebagai produk Negara
Malaysia. Alasannya sangat sederhana, yaitu “globalisasi” dan
meningkatkan nilai investasi asing sementara produk lokal tidak terlindungi
sama sekali. Semangat gotong royong terkesampingkan oleh neo-kapitalisme.
Kebijakan Negara cenderung hanya berpihak kepada kaum kapitalis, tanpa pernah
memikirkan dampak jangka panjang dan pendek bagi kehidupan perekonomian rakyat
kecil secara mikro. Rakyat yang berusaha (berdagang) baik dibidang jasa dan
non-jasa, yang di kenal dengan sebutan pengusaha sektor informal, seperti
pedagang makanan (warung dan gerobakan), jasa transport (ojek, becak,
angkot), jasa tenaga kerja (buruh pabrik dan TKI), kerap tidak terjangkau
oleh kebijakan makro pemerintah. Akibatnya kehidupan perekonomian rakyat dari
waktu ke waktu semakin sulit dan berat. Sebut saja kebijakan di sektor migas,
wara-laba dan pertokoan, import sembako dan yang terparah diijinkannya import
bahan limbah, semua tampak ketidak-siapan dan ketidak-berpihakan.
Semua kebijakan sangat tampak jelas bahwa yang diuntungkan adalah mereka
pemilik usaha dengan modal besar (kongklomerat) yang dekat dengan
kekuasaan serta mereka yang berasal dari luar negeri. Sedangkan pedagang di
pasar tradisional, yang merupakan kaum pedagang modal lemah dan merupakan
pedagang bangsa sendiri tidak dilindungi (meski peraturannya sangat jelas),
yang seharusnya mendapatkan perlindungan usaha tetapi kenyataan di lapangan
dapat berdiri super market dengan pemilik orang asing dengan jarak tempat usaha
sangat dekat.
Sebenarnya pada presiden Soekarno pernah dilakukan tindakan nasionalisasi semua
perusahaan asing, yang dikenal dengan nama “Deppering”, semua asset Usaha
perusahaan asing diambil alih negara dan seluruh tenaga asing dipersilahkan
hengkang dari Indonesia. Kita dapat melakukan hal ini kembali atau setidaknya
dapat kita terapkan pada perusahaan- perusahaan asing dengan kepemilikan saham
sedikitnya 50% + 1 adalah milik negara (wajib) atau mereka harus
hengkang dan bagi mereka yang tidak memberikan kesejahteraan bagi buruh
Indonesia harus hengkang dari bumi Indonesia. Kita pasti bisa, kalau kita mau!
Sebagai Kaum Marhaen dan Wong Cilik, mari kita bersama-sama menuju kemandirian
bangsa untuk meraih kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan
semangat kemerdekaan yang dilandasi oleh budaya kegotong-royongan, karakter
asli bangsa Indonesia. Bahwa seluruh tanah dan air serta udara di seluruh
wilayah teritorial hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah milik
rakyat Indonesia yang pengelolaannya di serahkan kepada negara untuk
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Apapun yang ada dan terkandung dalam
bumi nusantara ini adalah milik bersama rakyat Indonesia tapi bukan untuk
dimiliki secara individual atau golongan. Inilah semangat budaya kita, gotong
royong. Inilah yang dalam tulisan saya selanjutnya akan saya sebut sebagai “sosio
nasionalisme”.
0 komentar:
Post a Comment