Kesejahteraan Rakyat, Antara Cita dan Realitas

Friday, April 13, 2012

GOTONG ROYONG, MASIHKAH MENJADI BUDAYA BANGSA INDONESIA?

Gotong royong adalah karakteristik asli Bangsa Indonesia. Sejak jaman dahulu, bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang sangat mencintai kedamainan dan kebersamaan dalam berkehidupan. Hal ini tercermin dalam berbagai kegiatan pembangunan maupun pola-pola bercocok tanam bahkan dalam hal menerima sebuah kebiasaan/budaya bangsa lain yang datang ke wilayahnya. Sayangnya karakter ini semakin hari semakin terkikis oleh faham dan budaya bangsa asing yang sebenarnya sangat tidak cocok bagi Bangsa Indonesia.
       Karakter baru tersebut adalah Neo-kapitalis, yang sama sekali tidak pernah berpihak pada rakyat kecil Indonesia. Bung Karno sebagai Founding Father Bangsa Indonesia sebenarnya pernah mengingatkan pada awal era 60-an, sayangnya hal ini diabaikan oleh banyak pihak bahkan oleh rezim pengganti (rezim Orde Baru) yang kebijakan-kebijakanya lebih berpihak pada kelompok pemodal terutama pemodal asing, maka tergadailah negeri ini dan rakyat hidup miskin di negeri sendiri yang kaya makmur, bagai tikus mati di lumbung padi.
       Sebenarnya bangsa kita memiliki karakter bangsa yang sangat mulia, yaitu Gotong Royong, semua dilakukan bersama untuk kesejahteraan individu dan bersama. Individu disini bukanlah berdasarkan keserakahan pribadi tetapi karena kebersamaan, dimana prinsip dasarnya jika setiap individu mampu hidup sejahtera secara merata dengan individu lainnya maka tercapailah cita-cita kesejahteraan yang merata bagi setiap individu.
       Jika kita cermati kembali, sebenarnya semangat “arisan” adalah salah satu dari semangat gotong royong tersebut, dimana secara bergotong royong dimana setiap individu mengumpulkan uang untuk diberikan kepada salah satu individu pada kelompoknya dan begitulah yang dilakukan dari waktu ke waktu. Tetapi sangat disayangkan bahwa semangat gotong royong pada arisan telah sirna berganti dengan semangat kapitalis. Tidak percaya? Tenggoklah, pada acara arisan yang ada adalah pameran kekayaan, perdagangan produk-produk asing, tiada lagi semangat gotong royong.
       Semangat “Sego sak jumput” atau di Cirebon atau disebagian daerah Sunda/Jawa disebut dengan“Beras Perelek” juga telah musnah di banyak wilayah di bumi nusantara ini. Semangat ini adalah, setiap kali kita memasak nasi maka sisihkan sedikit beras untuk di taruh disuatu tempat dan secara periodik akan ada yang mengambilnya untuk dikumpulkan bersama jumputan individu lainnya dan akan dibagikan kepada individu yang tidak mampu. Alangkah mulia dan agungnya semangat ini tetapi kembali sangat disayangkan ini telah musnah ditelan semangat kapitalis.
       Mengapa bangsa kita menjadi malu untuk melakukan budayanya sendiri dan menjadi sangat bangga jika mampu melakukan budaya asing. Sementara bangsa asing mulai tertarik mempelajari dan mengamalkan budaya Indonesia.
       Dan saat ini banyak terjadi demo menolak “barat dengan antek-anteknya”. Mengapa harus begitu, tolak “asing” ya seharusnya tolak semua budaya asing dan tegakkan budaya kita sendiri, itu baru benar. Menolak “barat” sementara yang mereka kenakan adalah produk barat, yang mereka banggakan “makanan sampah dari barat”. Beranikah bangsa ini menolak dan mencoba untuk berdiri di kakinya sendiri.
       Mari kita mulai berdiri di atas kaki kita sendiri, tolak semua budaya, produk dan tenaga asing dengan sistem proteksi disemua bidang dan pilih yang memang kita belum mampu. Mengapa kita lebih bangga makan di “KFC, CFC, Texas Fried Chicken dll” sementara kita punya “Ayam Goreng Ny Soeharti atau Ayam Goreng Pramuka”. Mengapa lebih bangga memakai sepatu merek “Kickers”, sementara kita punya sepatu buatan rumahan (home industri) “Boogie”, “Cibaduyut” dan “Ciomas”. Mengapa harus“Salsa”, sementara kita punya “Kecak”, “Jaipong”, “Tari Pendet” dll. Dan masih beribu mengapa yang menggelayut.
       Sebenarnya kita sebagai Bangsa Indonesia, mampu untuk melakukannya tetapi terlalu lama kita dibuai oleh kemudahan semu yang memabukkan dan pemerintah tak pernah melakukan proteksi terhadap budaya dan produk-produk bangsa kita sendiri. Ironisnya lagi, bangsa dan negara lain malah mengakui budaya dan produk asli Bangsa Indonesia. Kita ambil contoh, Wayang Kulit diakui sebagai budaya Malaysia, dan Batik serta Jamu pun diakui sebagai produk Negara Malaysia. Alasannya sangat sederhana, yaitu “globalisasi” dan meningkatkan nilai investasi asing sementara produk lokal tidak terlindungi sama sekali. Semangat gotong royong terkesampingkan oleh neo-kapitalisme.
       Kebijakan Negara cenderung hanya berpihak kepada kaum kapitalis, tanpa pernah memikirkan dampak jangka panjang dan pendek bagi kehidupan perekonomian rakyat kecil secara mikro. Rakyat yang berusaha (berdagang) baik dibidang jasa dan non-jasa, yang di kenal dengan sebutan pengusaha sektor informal, seperti pedagang makanan (warung dan gerobakan), jasa transport (ojek, becak, angkot), jasa tenaga kerja (buruh pabrik dan TKI), kerap tidak terjangkau oleh kebijakan makro pemerintah. Akibatnya kehidupan perekonomian rakyat dari waktu ke waktu semakin sulit dan berat. Sebut saja kebijakan di sektor migas, wara-laba dan pertokoan, import sembako dan yang terparah diijinkannya import bahan limbah, semua tampak ketidak-siapan dan ketidak-berpihakan.
       Semua kebijakan sangat tampak jelas bahwa yang diuntungkan adalah mereka pemilik usaha dengan modal besar (kongklomerat) yang dekat dengan kekuasaan serta mereka yang berasal dari luar negeri. Sedangkan pedagang di pasar tradisional, yang merupakan kaum pedagang modal lemah dan merupakan pedagang bangsa sendiri tidak dilindungi (meski peraturannya sangat jelas), yang seharusnya mendapatkan perlindungan usaha tetapi kenyataan di lapangan dapat berdiri super market dengan pemilik orang asing dengan jarak tempat usaha sangat dekat.
       Sebenarnya pada presiden Soekarno pernah dilakukan tindakan nasionalisasi semua perusahaan asing, yang dikenal dengan nama “Deppering”, semua asset Usaha perusahaan asing diambil alih negara dan seluruh tenaga asing dipersilahkan hengkang dari Indonesia. Kita dapat melakukan hal ini kembali atau setidaknya dapat kita terapkan pada perusahaan- perusahaan asing dengan kepemilikan saham sedikitnya 50% + 1 adalah milik negara (wajib) atau mereka harus hengkang dan bagi mereka yang tidak memberikan kesejahteraan bagi buruh Indonesia harus hengkang dari bumi Indonesia. Kita pasti bisa, kalau kita mau!
       Sebagai Kaum Marhaen dan Wong Cilik, mari kita bersama-sama menuju kemandirian bangsa untuk meraih kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan semangat kemerdekaan yang dilandasi oleh budaya kegotong-royongan, karakter asli bangsa Indonesia. Bahwa seluruh tanah dan air serta udara di seluruh wilayah teritorial hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah milik rakyat Indonesia yang pengelolaannya di serahkan kepada negara untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Apapun yang ada dan terkandung dalam bumi nusantara ini adalah milik bersama rakyat Indonesia tapi bukan untuk dimiliki secara individual atau golongan. Inilah semangat budaya kita, gotong royong. Inilah yang dalam tulisan saya selanjutnya akan saya sebut sebagai “sosio nasionalisme”.

GOTONG ROYONG, MASIHKAH MENJADI BUDAYA BANGSA INDONESIA? Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Realitas Sosial

0 komentar:

Post a Comment